Kami saling pandang dan mengangkat bahu. Mungkin, hamper setiap siswa berpikir apabila mengikuti lomba yang dimaksud, maka otomatis akan berada dalam bimbingannya. Dan hamper seluruh kelasku tidak mengindahkannya. Ini akan terasa menakutkan.
      "Baik, jika tidak ada yang mau mengajukan diri. Saya yang menunjuk," ujarnya sambil membenahi kerudungnya. "Luthfi, kamu kami utus untuk mengikuti lomba ini, setelah, pelajaran ini saya tunggu di kantor," lanjutnya, sambil menatapku dengan tatapan tajam.
      Aku tersentak, seraya diiringi menunjukkan jari telunjukku kehadapanku, "Saya Bu?" tanyaku tak mengerti.
      Bu Ima menangguk tanpa ragu.Seketika kelas menjadi rame.
      "Cieeee..." soraksemuatemankelasku.Semua rebut meledekku.
      "Ternyata, Luthfi ini anak kesayangan Bu Ima ya.."celetuk seseorang di kelas.
      Pelajaran kembali dilanjutkan, aku masih membenci diriku yang bias terpilih untuk mewakili sekolah ini dengan segala kekurangan yang aku miliki.
      Akhirnya, hari-hariku dipenuhi dengan kesibukan baru, bolak-balik dari perpustakaan hingga kantor guru. Dikemudian hari, aku merasa lebih nyaman dengan Bu Ima, meskipun tegas dan tidak pernah menampakkan candaannya sedikit pun.
      "Kamu ini payah Luthfi," ujar Bu Ima sambil memandang kertas yang telah kukerjakan semalaman suntuk.
      "A..ada yang salah Bu?" tanyaku bingung.
      "Seharusnya, materi ini diperluas lagi. Dan bahkan kamu kurang mendalaminya," jawab Bu Ima. "Begini, sebenarnya saya punya buku yang berhubunagn dengan materi yang tengah kamu kerjakan. Hanya saja, melihat waktu yang begitu mepet, kamu harus kerumah saya."