Mohon tunggu...
Rahma Fardiana
Rahma Fardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Pelita Harapan

Hai ~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dehumanisme terhadap Pengungsi Rohingya di Indonesia

4 Mei 2024   17:03 Diperbarui: 5 Mei 2024   22:14 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : AP/Rahmat Mirza

Ditulis oleh : Jemmima Rachmadita, Rahma Fardiana, Viccy Saputri

Selain tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar, tindakan diskriminatif juga banyak dilakukan oleh Pemerintah Myanmar. Mereka menutup akses layanan kesehatan, pendidikan, tidak memperbolehkan mereka bekerja dan aktif melakukan ancaman kekerasan terhadap masyarakat Rohingya.[i] Oleh karenanya, kelompok etnis Rohingya terpaksa mengungsi ke berbagai negara termasuk Indonesia.

 

Kejadian yang sangat disayangkan pada akhir Desember 2023 dilakukan oleh para mahasiswa di Aceh. Mereka melakukan pengusiran pengungsi etnis Rohingya. Mereka mengepung dan mengusir paksa 137 pengungsi Rohingya.[ii] Kemungkinan besar kejadian ini disebabkan oleh narasi kebencian dan disinformasi yang tersebar di media sosial dan tersebar dari mulut ke mulut.  Konten-konten berisi narasi kebencian ini dibuat oleh para influencer yang mengedepankan perhatian ketimbang kebenaran informasi. Lambannya pihak pemerintah dan UNHCR dalam memberikan klarifikasi memperparah efek negatif dari penyebaran konten-konten menyudutkan pengungsi etnis Rohingya. [iii]

 

Isu ini perlu dibahas sebab sudah mengarah pada sikap rasisme dan anti-imigran. Mereka telag mengalami diskriminasi dan penolakan di negara asalnya, tentu di Indonesia seharusnya hal serupa tidak terjadi sebab tujuan mereka datang ke Indonesia adalah untuk mendapatkan perlindungan dan kedatangan mereka tidak mengancam keberadaan warga setempat. Apa yang ditunjukkan oknum mahasiswa di Aceh telah melanggar nilai kemanusiaan yang juga terkandung dalam UUD 1945. Sebagai sesama manusia, seharusnya masyarakat Indonesia senantiasa menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak main hakim sendiri dan bertindak rasis.

 

Sebelumnya keberadaan pengungsi Rohingya di Indonesia kurang mendapat sorotan dari publik. Setelah munculnya berita pengusiran pengungsi Rohingya, masyarakat Indonesia melakukan cross-check informasi dengan menelusuri informasi valid mengenai jejak etnis Rohingya di Myanmar dan kisah mereka dalam pengungsian. Akhirnya, fakta-fakta yang didapatkan menegaskan bahwa pengungsi etnis Rohingya tidak bertindak buruk sebagaimana dikatakan para influencer. Sebagai pengungsi, mereka memiliki itikad baik untuk dapat berkontribusi di masyarakat tempat mereka berada. Selain itu, kondisi tempat penampungan mereka saat ini sudah tidak layak karena melebihi kapasitas karena sudah mencapai sekitar 1.400-an orang.

 

Fakta-fakta yang tersaji berdampak positif dengan banyaknya pemerhati kemanusiaan yang membuka ruang-ruang diskusi atas berbagai solusi alternatif yang harus segera dipikirkan UNHCR bersama Indonesia sebagai mitra kerja dalam menanggulangi permasalahan kemanusiaan ini. Kalangan akademisi ramai memberikan saran mengenai penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia seperti salah satunya pemerintah dan UNHCR perlu mencari penampungan terpisah khusus untuk pengungsi Rohingya sebagai alternatif mengingat jumlah pengungsi yang terus bertambah.[iv]

 

Lebih dari itu, dengan adanya kejadian ini, masyarakat Indonesia dapat membangun solidaritas antar saudara dengan pengungsi Rohingya atas rumitnya kondisi mereka dengan memberikan kontribusi pemikiran berupa saran bagi UNHCR dan Indonesia atas penanganan pengungsi, membela penegakan hak asasi manusia warga Rohingya dengan menjunjung kebebasan berpendapat lewat aksi di jalanan, membuka ruang diskusi, donasi, dan lain sebagainya.

 

Pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat sejalan dengan karya Sartre yang berjudul "Existentialism is a Humanism". Manusia sebagai individu memiliki kebebasan untuk bertindak atas sesuatu dengan memastikan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Selanjutnya menurut Sartre, konsep eksistensialisme mendorong manusia sebagai individu untuk terlibat dalam kehidupan sosial, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dengan peduli terhadap sesama, dan mampu berempati. Sebagai manusia kita memiliki nilai-nilai kehidupan tertentu yang kita pegang, sebagai warga bernegara, kita harus menegakkan pentingnya keberadaan hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah bentuk tanggung jawab negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi seluruh orang dari mana pun asalnya. Dalam konteks ini, warga etnis Rohingya memiliki hak untuk hidup dengan layak. Sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia, kita seharusnya memberikan ruang yang layak bagi mereka dengan mengupayakan yang terbaik yang dapat kita lakukan. Sebagai elemen masyarakat dukungan moriil perlu kita berikan kepada mereka.

 

Polemik pengungsi Rohingya memunculkan isu-isu negatif yang masih terjadi di tengah masyarakat. Pertama, kurangnya pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan budaya, agama, dan etnis merupakan salah satu penyebab mendasar dari diskriminasi terhadap pengungsi Rohingya. Di tengah masyarakat yang belum terbiasa atau tidak memahami keberagaman, terjadi ketakutan akan hal yang berbeda dan cenderung muncul sikap diskriminatif. Pendidikan yang kurang mengenai toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman juga menjadi faktor penting dalam memperkuat sikap diskriminatif ini.

 

Kedua, kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Myanmar terhadap Rohingya telah menciptakan kondisi yang memaksa mereka untuk melarikan diri ke negara lain. Penganiayaan sistematis, pembatasan hak-hak dasar, dan kebijakan yang mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial di wilayah tempat tinggal mereka merupakan faktor utama yang memicu gelombang pengungsi Rohingya. Dalam konteks kritik terhadap penanganan masalah ini, fokus seharusnya ditempatkan pada solusi yang mengatasi akar masalah, yaitu perlakuan diskriminatif terhadap pengungsi Rohingya di Myanmar. Namun, yang sering terjadi adalah penyalahgunaan perhatian untuk menyerang personal pengungsi Rohingya atau menyalahkan mereka atas kondisi mereka sendiri, tanpa memperhatikan konteks politik dan sosial yang menyebabkan mereka menjadi pengungsi. Misalnya, terkadang media atau politisi menggunakan isu pengungsi Rohingya sebagai alat untuk memperkuat narasi anti-imigran atau kepentingan politik tertentu, tanpa memberikan solusi yang konstruktif.

 

Tindakan oknum yang cenderung merendahkan pengungsi etnis Rohingya ini dipengaruhi oleh kekuatan dan kepentingan mereka yang merasa lebih superior, sebagaimana dalam kritik filsuf Nietzsche bahwa pandangan manusia dibentuk oleh interpretasi-subyektif dan tidak ada pandangan yang sepenuhnya objektif. Mereka tidak berfokus pada sudut pandang masyarakat etnis Rohingya tetapi kepada ketakutan mereka sendiri terhadap eksistensi masyarakat Rohingya terhadap kehidupan mereka, timbul rasa tidak percaya diri dan was-was berlebihan yang disebabkan oleh asumsi-asumsi yang tidak terbukti benar. Dampak dari hal ini adalah semakin memperburuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh pengungsi Rohingya, serta mengalihkan perhatian dari upaya penyelesaian masalah yang lebih substansial.Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak yang terlibat, baik pemerintah, media, masyarakat sipil, maupun organisasi internasional, untuk berfokus pada upaya-upaya konkret dalam menyelesaikan akar masalah diskriminasi dan penganiayaan terhadap pengungsi Rohingya, sambil tetap memperhatikan hak asasi manusia dan kebutuhan kemanusiaan mereka.

 

Pengungsi Rohingya merupakan manusia-manusia yang mengalami penderitaan luar biasa, dalam hal ini kekerasan, pengusiran secara paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia. Polemik pengungsi Rohingya merupakan permasalahan kompleks yang melibatkan beberapa faktor, diantaranya politik, ekonomi, dan agama. Dalam konteks agama, pandangan dalam menyikapi pengungsi Rohingnya dapat bermacam-macam tergantung pada keyakinan dan interpretasi keagamaan. Misalnya bagi umat Muslim ada kewajiban memberikan perlindungan kepada sesama Muslim yang teraniaya (Q.S. An-Nisa 4:75). Dalam agama Kristen juga diajarkan tentang kasih, baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia (Matius 22:37-39). Nilai-nilai saling mengasihi merupakan prinsip utama banyak agama termasuk Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan agama lain, sehingga nilai tersebut dapat menjadi pedoman dalam membela hak-hak Rohingya dan menuntut perlindungan secara internasional. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia untuk saling menyayangi dan menolong sesama dari musibah atau kesulitan, sehingga orang yang beragama merespon secara empatik sebagai panggilan moral terhadap penderitaan Rohingya.

 

Beberapa individu dan masyarakat mungkin merasa memiliki tanggung jawab moral untuk bertindak demi kebaikan bersama, termasuk melindungi hak-hak pengungsi dan mencari solusi yang berkelanjutan terhadap konflik tersebut. Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat multikultural dan multireligius, nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan dan keadilan dapat menjadi landasan yang kuat bagi upaya bersama merespon dan menangani polemik pengungsi Rohingya. Kolaborasi antaragama dan lintas budaya dapat memperkuat solidaritas, keadilan, dan upaya mengasihi sesama manusia yang membutuhkan.

Upaya yang dilakukan dalam menegakkan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan keadilan seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya kuratif saja. Penyelesaian permasalahan diskriminasi hak asasi manusia yang dialami Rohingya sudah sepatutnya menjadi fokus dunia, pasalnya sudah bertahun-tahun permasalahan ini terjadi namun belum juga terselesaikan. Pihak-pihak yang terlibat, baik pemerintah, media, masyarakat sipil, maupun organisasi internasional, agar berfokus pada upaya-upaya konkret dalam menyelesaikan akar masalah diskriminasi dan penganiayaan terhadap pengungsi Rohingya, sembari tetap memperhatikan hak asasi manusia dan kebutuhan kemanusiaan Rohingya. Munculnya rasisme dan anti-imigran di beberapa kalangan masyarakat Indonesia menjadi salah satu dampak belum teratasinya penanganan Rohingya secara umum, hingga beberapa media menyajikan disinformasi dan ujaran kebencian. Apabila terus menerus dibiarkan, permasalahan baru dalam sisi lingkungan, ekonomi, agama, dan sebagainya akan muncul seiring dengan bertambahnya pengungsi Rohingya. Selain itu, respon pro-kontra di masyarakat akan menimbulkan perselisihan dan muncul pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memiliki tujuan politik tertentu dengan memanfaatkan polemik Rohingya. 

[i] UNHCR. (2023). 14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya – UNHCR Indonesia. UNCHR. https://www.unhcr.org/id/54329-14-fakta-mengenai-pengungsi-rohingya.html

[ii] Hidayatullah. (2023). Kasus Rohingya di Aceh: ‘Kami kira akan mati di sini,’ pengungsi Rohingya alami trauma setelah diusir mahasiswa - BBC News Indonesia. BBC News. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cyr3ykvjxp0o

[iii] Aditya, B. (2024). Rohingya di Indonesia: bagaimana dehumanisasi terhadap pengungsi terjadi di media sosial. The Conversation. https://theconversation.com/rohingya-di-indonesia-bagaimana-dehumanisasi-terhadap-pengungsi-terjadi-di-media-sosial-220777

[iv] Susetyo, H. (2023). Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya. Hukum Online. https://www.hukumonline.com/berita/a/solusi-penanganan-pengungsi-etnis-rohingya-lt6573e77374480/?page=4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun