Analisis terhadap kebijakan pengeluaran di atas Rp21.250 per hari yang tidak mengategorikan individu sebagai miskin, meskipun jelas tampak tidak relevan dengan kenyataan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, dapat dipandang melalui berbagai perspektif sosiologi, termasuk teori postmodern. Teori ini, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Jean Baudrillard, Michel Foucault, dan Lyotard, menekankan keragaman, dekonstruksi makna dominan, serta kritik terhadap pandangan yang normatif dan universal dalam melihat realitas sosial.
A. Dekonstruksi Konsep Kemiskinan (Jean Baudrillard)
Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat postmodern, makna dan nilai seringkali dibentuk oleh simbol-simbol dan representasi yang tidak lagi mencerminkan kenyataan sosial yang objektif. Dengan demikian, penetapan garis kemiskinan sebesar Rp21.250 per hari oleh BPS, dalam perspektif postmodern, dapat dianggap sebagai konstruksi sosial yang tidak mencerminkan realitas kehidupan masyarakat.
Analisis
1. Simbolisasi Kemiskinan
Penggunaan angka Rp21.250 sebagai batasan kemiskinan, pada dasarnya, lebih berfokus pada representasi atau simbol yang dihasilkan oleh lembaga negara (BPS), bukan kenyataan sosial yang dialami oleh masyarakat. Angka ini menjadi sebuah simbol untuk menunjukkan status ekonomi, tetapi tidak mencerminkan kondisi nyata kehidupan individu. Hal ini menyiratkan bahwa kemiskinan bukan lagi sesuatu yang bersifat objektif dan dapat diukur, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi sosial yang bisa dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan politik dan kebijakan pemerintah.
2. Alih Fokus dari Realitas Sosial
Dengan hanya mengukur pengeluaran berdasarkan angka yang ditetapkan, BPS mengabaikan aspek-aspek penting dari kehidupan yang mungkin lebih mencerminkan kesulitan yang dihadapi masyarakat, seperti ketidakmampuan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, atau ketimpangan sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, kebijakan ini menunjukkan bagaimana sistem statistik yang diterima secara umum bisa mengaburkan realitas sosial.
B. Kritis terhadap Narasi Dominan (Michel Foucault)
Foucault menekankan pentingnya kekuasaan dalam membentuk pengetahuan dan struktur sosial. Dalam konteks pengeluaran Rp21.250, kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan yang diterapkan oleh negara melalui lembaga statistik. Foucault berpendapat bahwa pengetahuan yang diterima oleh masyarakat, dalam hal ini data statistik dan definisi kemiskinan, merupakan hasil dari konstruksi kekuasaan yang mengarahkan pemahaman kita terhadap realitas.
Analisis
1. Pembuatan Kebenaran dan Kekuasaan
BPS, sebagai lembaga negara, mengendalikan definisi kemiskinan dengan menggunakan angka-angka yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik, namun angka tersebut tidak mencerminkan kondisi sosial yang lebih kompleks. Dalam hal ini, negara memiliki kuasa untuk mendefinisikan siapa yang miskin dan siapa yang tidak, padahal kehidupan masyarakat lebih beragam dan kompleks. Angka-angka ini menciptakan narasi dominan yang mengabaikan pengalaman orang-orang yang hidup di bawah tekanan kemiskinan yang lebih dalam.
2. Pemerintahan Melalui Statistik
Foucault juga berbicara tentang bagaimana statistik dan data digunakan untuk mengatur masyarakat. Dalam hal ini, BPS, dengan garis kemiskinan yang ditetapkan, secara tidak langsung mendefinisikan siapa yang mendapatkan bantuan sosial dan siapa yang tidak, serta membentuk kebijakan sosial berdasarkan data yang mungkin tidak mencerminkan kenyataan. Ini menunjukkan bagaimana data statistik menjadi alat pemerintahan yang mengatur kehidupan orang banyak.
C. Fragmentasi Realitas Sosial (Jean-Franois Lyotard)
Lyotard mengemukakan bahwa dalam masyarakat postmodern, tidak ada satu narasi besar yang dapat menjelaskan seluruh realitas. Alih-alih, kita hidup dalam "narasi kecil" yang lebih plural dan beragam. Dalam konteks kemiskinan, ini berarti bahwa konsep kemiskinan tidak dapat lagi disatukan dalam satu definisi tunggal yang berlaku untuk semua orang di seluruh Indonesia.
Analisis
1. Keragaman Pengalaman Sosial
Konsep kemiskinan yang hanya mengandalkan angka pengeluaran per kapita tidak dapat menangkap keragaman pengalaman sosial masyarakat di Indonesia. Indonesia memiliki banyak daerah dengan tingkat kemiskinan yang sangat beragam, dan setiap daerah memiliki tantangan sosial ekonomi yang berbeda-beda. Misalnya, angka Rp21.250 mungkin cukup untuk bertahan hidup di daerah-daerah tertentu di luar Jawa, namun di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, angka tersebut jelas tidak mencukupi.
2. Pluralitas Standar Hidup
Dalam masyarakat postmodern, setiap individu atau kelompok memiliki pengalaman yang berbeda mengenai kemiskinan. Satu keluarga mungkin merasa miskin meskipun pengeluaran mereka melebihi Rp21.250 per hari karena mereka hidup di daerah dengan biaya hidup tinggi atau karena mereka memiliki lebih banyak tanggungan keluarga. Oleh karena itu, kebijakan kemiskinan yang hanya mengandalkan satu garis batas tidak akan mencerminkan kompleksitas dan pluralitas realitas sosial.
3. Kritik Terhadap Pengukuran Ekonomi yang Sederhana (Teori Poststrukturalis)
Teori poststrukturalis mengkritik cara-cara tradisional dalam mengukur fenomena sosial, termasuk kemiskinan. Penggunaan angka seperti Rp21.250 sebagai ukuran tunggal pengeluaran yang memadai untuk hidup, menurut teori ini, terlalu menyederhanakan kompleksitas pengalaman kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena multidimensional yang melibatkan lebih dari sekadar pengeluaran untuk kebutuhan dasar.
Analisis Kompleksitas Kemiskinan Menuju Kemiskinan tidak hanya soal jumlah uang yang dimiliki, tetapi juga melibatkan akses terhadap pendidikan, pekerjaan yang layak, kesehatan, dan jaminan sosial. Oleh karena itu, menggunakan satu angka untuk mengukur kemiskinan adalah pendekatan yang sangat terbatas. Kemiskinan juga bisa mencakup aspek psikologis dan sosial, yang tidak tercermin dalam angka semata.
Pengaruh Ekonomi Global: Pengukuran kemiskinan yang terlalu sederhana ini juga tidak mempertimbangkan faktor eksternal seperti inflasi, ketidakstabilan ekonomi, atau perubahan global lainnya yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.
Data dan Sumber
Badan Pusat Statistik (BPS) Data garis kemiskinan 2023 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia berada di angka 9,22% dari total populasi. Namun, angka ini sering dianggap tidak mencerminkan kenyataan sosial karena tidak mengakomodasi faktor-faktor lain seperti kualitas hidup dan akses terhadap layanan sosial (BPS, 2023).
Smeru Research Institute: Laporan Smeru tentang kemiskinan di Indonesia menekankan bahwa garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS terlalu fokus pada pengeluaran makanan dan tidak memperhitungkan berbagai kebutuhan hidup lainnya (Smeru, 2023).
Kesimpulan
Penggunaan angka Rp21.250 per hari sebagai batas kemiskinan oleh BPS jelas mengundang kritik dari perspektif sosiologi postmodern. Kebijakan ini mengabaikan keragaman pengalaman sosial masyarakat, serta peran penting dari kekuasaan dalam membentuk pengukuran kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena kompleks yang tidak dapat disederhanakan hanya dengan angka, melainkan harus dilihat secara multidimensional, memperhitungkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI