C. Fragmentasi Realitas Sosial (Jean-Franois Lyotard)
Lyotard mengemukakan bahwa dalam masyarakat postmodern, tidak ada satu narasi besar yang dapat menjelaskan seluruh realitas. Alih-alih, kita hidup dalam "narasi kecil" yang lebih plural dan beragam. Dalam konteks kemiskinan, ini berarti bahwa konsep kemiskinan tidak dapat lagi disatukan dalam satu definisi tunggal yang berlaku untuk semua orang di seluruh Indonesia.
Analisis
1. Keragaman Pengalaman Sosial
Konsep kemiskinan yang hanya mengandalkan angka pengeluaran per kapita tidak dapat menangkap keragaman pengalaman sosial masyarakat di Indonesia. Indonesia memiliki banyak daerah dengan tingkat kemiskinan yang sangat beragam, dan setiap daerah memiliki tantangan sosial ekonomi yang berbeda-beda. Misalnya, angka Rp21.250 mungkin cukup untuk bertahan hidup di daerah-daerah tertentu di luar Jawa, namun di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, angka tersebut jelas tidak mencukupi.
2. Pluralitas Standar Hidup
Dalam masyarakat postmodern, setiap individu atau kelompok memiliki pengalaman yang berbeda mengenai kemiskinan. Satu keluarga mungkin merasa miskin meskipun pengeluaran mereka melebihi Rp21.250 per hari karena mereka hidup di daerah dengan biaya hidup tinggi atau karena mereka memiliki lebih banyak tanggungan keluarga. Oleh karena itu, kebijakan kemiskinan yang hanya mengandalkan satu garis batas tidak akan mencerminkan kompleksitas dan pluralitas realitas sosial.
3. Kritik Terhadap Pengukuran Ekonomi yang Sederhana (Teori Poststrukturalis)
Teori poststrukturalis mengkritik cara-cara tradisional dalam mengukur fenomena sosial, termasuk kemiskinan. Penggunaan angka seperti Rp21.250 sebagai ukuran tunggal pengeluaran yang memadai untuk hidup, menurut teori ini, terlalu menyederhanakan kompleksitas pengalaman kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena multidimensional yang melibatkan lebih dari sekadar pengeluaran untuk kebutuhan dasar.
Analisis Kompleksitas Kemiskinan Menuju Kemiskinan tidak hanya soal jumlah uang yang dimiliki, tetapi juga melibatkan akses terhadap pendidikan, pekerjaan yang layak, kesehatan, dan jaminan sosial. Oleh karena itu, menggunakan satu angka untuk mengukur kemiskinan adalah pendekatan yang sangat terbatas. Kemiskinan juga bisa mencakup aspek psikologis dan sosial, yang tidak tercermin dalam angka semata.
Pengaruh Ekonomi Global: Pengukuran kemiskinan yang terlalu sederhana ini juga tidak mempertimbangkan faktor eksternal seperti inflasi, ketidakstabilan ekonomi, atau perubahan global lainnya yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.
Data dan Sumber
Badan Pusat Statistik (BPS) Data garis kemiskinan 2023 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia berada di angka 9,22% dari total populasi. Namun, angka ini sering dianggap tidak mencerminkan kenyataan sosial karena tidak mengakomodasi faktor-faktor lain seperti kualitas hidup dan akses terhadap layanan sosial (BPS, 2023).
Smeru Research Institute: Laporan Smeru tentang kemiskinan di Indonesia menekankan bahwa garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS terlalu fokus pada pengeluaran makanan dan tidak memperhitungkan berbagai kebutuhan hidup lainnya (Smeru, 2023).
Kesimpulan
Penggunaan angka Rp21.250 per hari sebagai batas kemiskinan oleh BPS jelas mengundang kritik dari perspektif sosiologi postmodern. Kebijakan ini mengabaikan keragaman pengalaman sosial masyarakat, serta peran penting dari kekuasaan dalam membentuk pengukuran kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena kompleks yang tidak dapat disederhanakan hanya dengan angka, melainkan harus dilihat secara multidimensional, memperhitungkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI