Mohon tunggu...
Rahmad Romadlon
Rahmad Romadlon Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

Menulis Puisi, Artikel, Kata-kata Bijak, dan Motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosiologi Dalam Memandang Simbolisasi Kemiskinan Oleh BPS

20 Januari 2025   07:10 Diperbarui: 19 Januari 2025   21:21 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Standar Miskin

Analisis terhadap kebijakan pengeluaran di atas Rp21.250 per hari yang tidak mengategorikan individu sebagai miskin, meskipun jelas tampak tidak relevan dengan kenyataan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, dapat dipandang melalui berbagai perspektif sosiologi, termasuk teori postmodern. Teori ini, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Jean Baudrillard, Michel Foucault, dan Lyotard, menekankan keragaman, dekonstruksi makna dominan, serta kritik terhadap pandangan yang normatif dan universal dalam melihat realitas sosial.

A. Dekonstruksi Konsep Kemiskinan (Jean Baudrillard)
Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat postmodern, makna dan nilai seringkali dibentuk oleh simbol-simbol dan representasi yang tidak lagi mencerminkan kenyataan sosial yang objektif. Dengan demikian, penetapan garis kemiskinan sebesar Rp21.250 per hari oleh BPS, dalam perspektif postmodern, dapat dianggap sebagai konstruksi sosial yang tidak mencerminkan realitas kehidupan masyarakat.

Analisis
1. Simbolisasi Kemiskinan

Penggunaan angka Rp21.250 sebagai batasan kemiskinan, pada dasarnya, lebih berfokus pada representasi atau simbol yang dihasilkan oleh lembaga negara (BPS), bukan kenyataan sosial yang dialami oleh masyarakat. Angka ini menjadi sebuah simbol untuk menunjukkan status ekonomi, tetapi tidak mencerminkan kondisi nyata kehidupan individu. Hal ini menyiratkan bahwa kemiskinan bukan lagi sesuatu yang bersifat objektif dan dapat diukur, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi sosial yang bisa dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan politik dan kebijakan pemerintah.

2. Alih Fokus dari Realitas Sosial

Dengan hanya mengukur pengeluaran berdasarkan angka yang ditetapkan, BPS mengabaikan aspek-aspek penting dari kehidupan yang mungkin lebih mencerminkan kesulitan yang dihadapi masyarakat, seperti ketidakmampuan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, atau ketimpangan sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, kebijakan ini menunjukkan bagaimana sistem statistik yang diterima secara umum bisa mengaburkan realitas sosial.

B. Kritis terhadap Narasi Dominan (Michel Foucault)
Foucault menekankan pentingnya kekuasaan dalam membentuk pengetahuan dan struktur sosial. Dalam konteks pengeluaran Rp21.250, kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan yang diterapkan oleh negara melalui lembaga statistik. Foucault berpendapat bahwa pengetahuan yang diterima oleh masyarakat, dalam hal ini data statistik dan definisi kemiskinan, merupakan hasil dari konstruksi kekuasaan yang mengarahkan pemahaman kita terhadap realitas.

Analisis
1. Pembuatan Kebenaran dan Kekuasaan

BPS, sebagai lembaga negara, mengendalikan definisi kemiskinan dengan menggunakan angka-angka yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik, namun angka tersebut tidak mencerminkan kondisi sosial yang lebih kompleks. Dalam hal ini, negara memiliki kuasa untuk mendefinisikan siapa yang miskin dan siapa yang tidak, padahal kehidupan masyarakat lebih beragam dan kompleks. Angka-angka ini menciptakan narasi dominan yang mengabaikan pengalaman orang-orang yang hidup di bawah tekanan kemiskinan yang lebih dalam.
2. Pemerintahan Melalui Statistik

Foucault juga berbicara tentang bagaimana statistik dan data digunakan untuk mengatur masyarakat. Dalam hal ini, BPS, dengan garis kemiskinan yang ditetapkan, secara tidak langsung mendefinisikan siapa yang mendapatkan bantuan sosial dan siapa yang tidak, serta membentuk kebijakan sosial berdasarkan data yang mungkin tidak mencerminkan kenyataan. Ini menunjukkan bagaimana data statistik menjadi alat pemerintahan yang mengatur kehidupan orang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun