Raut Wajah Berseri Dikalbu!
Sayang, aku rindu ceritamu tentang malam yang penuh dengan bintang.
Aku juga tergila-gila senda gurau dan cerita masa kecilmu.Â
Saung di tengah sawah tempat angin tak bisa menyapu jejakmu.Â
Ronce melati yang kamu buat saat menunggu ayah ibumu pulang.
Hamparan sawah hijau berlatar gunung atau bocah-bocah bermain bola berlumpur.
Kubayangkan waktu yang terus mengaliri tubuhmu sederas peluh tiap kamu berlari sepanjang pematang.
Sayang, saat itu kamu pastilah gadis kecil yang gampang meradang.
Undangan merah muda yang kaubawa kemarin, adalah nyeri punggung yang abadi.
Kesedihanku mengaram di balik dada berlapis keramik dingin.
Bisikkan namamu yang gerimis pada tiupan angin kering.
Karena ketiadaanmu.
Karena pernikahanmu.
Karena cintaku yang terlambat datang.
Dulu kita bertemu disaat yang teramat tepat.
Kamu lagi sendiri, begitu juga aku.
Tapi entah kenapa kita selalu memberi jarak.
Meski jarak hanya setipis uang koin bermuka dua: terbuat dari kepercayaan dan keraguan yang ditajamkan kata-kata.
Sebagai sahabat kita teramat dekat.
Membuatku ragu, antara cinta atau sekedar sayang.
Dan ketika ada laki-laki lain yang mendekatimu.
Aku malah memberi semangat kepadamu.
Meski nampak jelas kamu kecewa dengan kata-kataku.
Sejak itu hidupmu tidak melulu tentang aku dan kamu.
Ada rajutan harapan bersamanya, meski kamu sering nampak tertatih menjalaninya.
Seharusnya aku paham keadaan.
Mengambil tanggung jawab besar bersamamu.
Tapi selalu saja aku ragu, apakah ini cinta atau sekedar sayang.
Maafkan aku, Sayang.
Cintaku terlambat datang.
Pada akhirnya aku hanyalah kekal yang tak bakal hadir bagi hidupmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H