Di sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman kota, hiduplah seorang anak bernama Anwar. Yaitu, seorang anak dari keluarga yang perekonomiannya menengah kebawah. Sebelumnya dia bertempat tinggal di desa yang aman, damai, dan tentram, bahkan seolah-olah desa tersebut menjadi idaman orang se Nusantara karena ketentramanya.
"Desaku harum bak bunga seribu taman, indah bak awan dan bintang berjejeran". Ujar Anwar sambal berpuisi di sore hari
 Tetapi beberapa tahun kemudian desa itu dikuasai oleh sekelompok tentara penjajah dari bangsa barat yang menghancurkan kehidupan penduduknya. Melihat hal tersebut para penduduk mengalami ketakutan dengan para penjajah. Namun berbeda dengan Anwar, dia satu-satunya orang yang berani membangkang atas perintah bahkan berani melawan para penjajah tersebut. Karena Anwar tersebut seorang anak yang dididik dari keluarga yang disiplin, semenjak kecil dia diajarkan memperjuangkan hak, melawan penindasan dan membela kebenaran.
"Hai Anwar, jangan sok berani membangkang kepada para penjajah. Ikutlah kemauan dia agar kita selamat". Ucap salah satu penduduk lainya
Anwar menjawab. "Ini wilayah kita, kita harus keluar dari penjajahan ini".
Selain itu, Anwar adalah anak yang keras kepala dan teguh dalam pendiriannya. Meskipun masih muda, ia memiliki pemahaman yang kuat tentang keadilan dan kebebasan. Dia telah menyaksikan penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajah di desanya, dan dia bersumpah untuk melawan mereka dengan segala yang dia miliki. Karena penderitaan yang dia rasakan selama ini begitu dalam dan menyakitkan.
"Saudaraku, keluargaku kau aniaya. Akan ku bunuh kau dengan tangan ku sendiri". Ucap Anwar dalam hatinyaÂ
***
Suatu hari, para penjajah mencoba merayu Anwar dengan iming-iming hadiah dan janji palsu. Mereka berusaha memengaruhi dan mengintimidasi anak tersebut agar tunduk pada kehendak mereka. Namun, bukanya mengikuti kemauan penjajah tersebut Anwar justru menolak rayuan dan ancaman mereka dengan tegas.
"Ayo nak jadi pengikut ku, masa depan mu aku jamin jadi orang sukses". ucap penjajah
Anwar menjawab. "Sampai mati pun aku tidak mau jadi pengikut mu". sambil memalingkan wajah.
 Berkali-kali penjajah mencoba terus merayu Anwar, karena dia tau Anwar adalah seorang anak yang pemberani jika dibiarkan akan menjadi Ancaman.
"Kalua kamu ikut aku kamu akan kuberi apapun permintaaanmu nak". Rayu penjajah lagi
"Cuihhh, lebih baik aku hilang kepala dari pada jadi pengikut kalian". Pungkas Anwar sambil membuang ludah Â
Marah oleh penolakan Anwar, para penjajah menggunakan kekerasan sebagai upaya terakhir untuk memaksanya patuh. Mereka menembak Anwar dengan peluru menembus kulit perut bagian kirinya. Namun, meski terluka, Anwar tetap tegar dan kuat dalam pendiriannya. Beberapa tembakan terus dilakukan, tapi Anwar malah semakin kuat dan tegar dalam menghadapi dan melawan penjajah tersebut.
"Dasar Bajingan, tidak tau untung, dikasih hati malah minta jantung". ucap penjajah
"DUARRR, DUAR, DUAR, DUAR". suara tembakan yang berkali kaliÂ
Rasa sakit yang menusuk tubuhnya tidak mampu menghancurkan semangat perlawanan Anwar. Dengan tekad yang kuat, dia melawan rasa sakit sambil berlari sekuat tenaga. Dia terus berperang melawan penjajah, menggunakan luka dan penderitaannya sebagai motivasi untuk memberikan perlawanan terakhirnya. Walaupun darah bercucuran, tapi semua itu tidak menjadi masalah bagi Anwar.
"Bagaimanapun kondisinya aku harus kuat untuk melawan penjajah" ucap anwar
***
Dalam pertempuran yang berlangsung, nyawa Anwar seolah dipertaruhkan setiap saat. Tetapi semangatnya yang tak tergoyahkan dan keberanian yang membara memimpin dirinya melewati setiap rintangan yang dihadapi. Meskipun terluka dan lelah, dia tidak menyerah, justru bertahan dan melawan dengan setiap hembusan napas yang tersisa. Terasa nyawa sudah diujung tombak, bukanya menyerah Anwar makin menggila dengan mengobarkan semangat kemerdekaan dan kebebasan.
"Jikalau nyawa harus ku jual untuk memenangkan ini, maka akan kulakukan". Ujar Anwar
Berita tentang perjuangan Anwar menyebar dengan cepat di antara penduduk desa. Mereka terinspirasi oleh keteguhan dan keberanian anak itu. Semua orang mulai bangkit dan bersatu untuk melawan penjajah. Anwar telah menjadi simbol perlawanan dan semangat yang tak tergoyahkan dalam menghadapi penjajah. Ternyata semuanya hanya butuh sumbu yang menyala untuk menyalakan api perjuangan. Anwar lah seorang anak yang berani menyalakan api perjuangan tersebut.
***
Akhirnya, setelah pertempuran yang berkecamuk, penduduk desa berhasil mengusir para penjajah dari tanah mereka. Kemerdekaan akhirnya diraih berkat semangat perjuangan Anwar dan keberaniannya yang tak kenal lelah. Desa itu menjadi simbol keberhasilan perlawanan terhadap penjajah.
Anwar, dengan luka-lukanya yang terus diobati, melihat desanya kembali pulih. Perjuangannya dan pengorbanannya tidak pernah dilupakan. Dia tetap menjadi pahlawan bagi penduduk desa dan inspirasi bagi generasi yang akan datang.
"Anwar, Anwar, Anwar, Anwar, Anwar'. Sorak sorak para penduduk
Dalam hati Anwar, dia tahu bahwa penderitaan dan luka-lukanya tidak sia-sia. Perjuangannya telah memberikan kebebasan bagi dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Dia belajar bahwa walaupun nyawa taruhannya, tak ada yang bisa mengalahkan tekad yang kuat dan semangat yang tulus untuk memperjuangkan kebenaran dan kebebasan.
"Rasa sakit itu hanya ilusi, yang sakit hanya badan saya bukan jiwa saya". pangkas Anwar sambil orasi di depan masyarakat
Cerita Anwar mengilhami orang-orang selama bertahun-tahun. Nama Anwar tetap dikenang sebagai simbol perlawanan dan keteguhan hati. Dia membuktikan bahwa anak-anak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memengaruhi perubahan yang nyata. Anwar adalah bukti hidup bahwa walaupun terluka, kita masih bisa berperang sambil berlari menuju kebebasan yang hakiki. Menyerah dan tunduk dalam penjajahan bukanlah pilihan, tetapi rela berjuang atau mati dengan kehormatan adalah pilihan.
***
Alih Wahana Puisi "Aku" karya Chairil Anwar.
Arif Setyawan, M. Dinullah Ersya , Ahmad Hidayat, Ahmad Fadoli, Amarfarras Padma Sri Kresna, Hendi Elfian, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.Â