Mohon tunggu...
Rahma Hairunnisa Regita Putri
Rahma Hairunnisa Regita Putri Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya, Rahma Hairunnisa Regita Putri, adalah seorang penulis dan pembisnis yang aktif menyoroti isu-isu pendidikan, ekonomi, dan politik. Saat ini, saya menulis untuk Bernas dan Kompasiana sebagai wadah berbagi gagasan serta analisis. Saya percaya bahwa tulisan dapat membuka wawasan, menginspirasi perubahan, dan menjadi alat refleksi bagi masyarakat. â € Saya berasal dari Universitas Citra Mandiri Indonesia (UNICIMI) dengan program studi Manajemen. Ketertarikan saya mencakup kepemimpinan strategis, kebijakan publik, serta tantangan ekonomi global. Selain itu, saya juga memiliki minat dalam riset dan pengembangan literasi, khususnya dalam mendorong generasi muda untuk lebih kritis dan inovatif dalam berpikir. Mari berdiskusi dan bertukar ide bersama!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kecerdasan Plus Karakter Sebagai Tujuan Akhir Pendidikan

1 Februari 2025   22:45 Diperbarui: 1 Februari 2025   22:45 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Oleh

Ben Senang Galus, penulis buku "Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta

Banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan nilai. Nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku. Seseorang yang menghayati nilai kejujuran akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai kejujuran untuk mengukir akhal melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan penghargaan (respect) terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam perilaku kehidupan sehari-hari.  Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu "deviant behavior", atau "delinquent", misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresivitas (aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive).  Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika  individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial (antisocial behavior), dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba.  Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum  ini dikenal sebagai suatu kejahatan (crime).

Kejahatan dan keborokan manusia juga telah didokumentasikan  misalnya Dante atau C.S. Lewis yang menggolongkannya sebagai the capital of sin atau the seven deadly sin.  Dosa-dosa manusia ini meskipun dalam Kitab Suci terserak dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh jenis yaitu sloth (malas), pride (membanggakan diri), gluttony (rakus), greed (ketamakan) , envy (iri), lust (nafsu, birahi) dan wrath (amarah).  Sementara itu kebajikan (virtue) sebagai perlambang dari lawan the seven sin masing-masing adalah zeal (semangat), humility (kerendahan hati), faith and temperance (kepercayaan, kesederhanaan, pantang minuman keras), generosity (dermawan), love (cinta), self control (kontrol diri), dan kindness (kebaikan, kelembutan) 

Dalam pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah.   Sementara itu  Thomas Hobes (1588-1679), mengatakan bahwa manusia itu mempunyai  sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus)

Bapak Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar ("unconscious mind"), sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya.  Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual ("sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing.  Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super ego-nya lebih dominan.  Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.

Pendidikan  Moral

Secara spiritual  maka  kejahatan merupakan suatu bukti  atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu (desires atau nafs), motif (motives) dan alam bawah sadar (unconscious mind) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia.  Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience) dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia.  Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan (the basic goodness) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia.  Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah apakah yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan berikutnya adalah apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya ataukah merupakan kesalahan dari  sistem dimana individu itu berada ?

Sementara itu tinjauan agama melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivism -dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993): "Why has moral discourse become unfashionable or merely partisan?  I believe it is because we have learned, either firsthand from intellectuals or secondhand from the pronouncements of people influenced by intellectuals, that morality has no basis in scince or logic.  To defend morality is to defend the indefensible".

Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat modern, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan.  Misalnya Brooks dan Goble (1997) dalam bukunya :"The Case for Character Education", yang menyebutkan bahwa gelombang kejahatan tersebut berhubungan erat dengan kurangnya standar moral dalam masyarakat: "that the root cause of crime, violence, drug addiction, and other symptoms of irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate or inaccurate ethical instruction"

Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda  atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people).   Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.

Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut.  Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran.  Begitulah apa yang telah dilakukan oleh agama manapun dalam membentuk karakter umatnya, yaitu dengan janji pemberian hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan  pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.

Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk membentuk moral yang baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992): "As Aristoteles taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise.  They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort".

Di samping itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional.  Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya.  Pada prinsipnya 'you are what you are when nobody's arround'.  Esensi perbuatan yang tanpa pamrih (Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang.

Pendidikan Karakter di Sekolah

Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan  penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti dikatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:"the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.  The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers "(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).

Oleh sebab itu Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah   haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas.  Dengan demikian menurut Mann,  tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).

Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah.  Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini.  Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. 

Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terrjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.

Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah.  Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. 

Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah.  Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah.  Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik  dan mau melakukannya  (domein psikomotor).   Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan "habit" atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.

Akar kata "karakter" dari kata Latin: Moribus, dalam bahasa Yunani, "kharassein", dan "kharas", yang bermakna  "alat untuk menandai" (tools for marking), "mengukir atau memahat" (to engrave) atau "tongkat penunjuk" (pointed stake). Kata ini banyak digunakan dalam bahasa Perancis, "caractere", di Abad 14, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi "character", sebelum menjadi bahasa Indonesia "karakter" (Andrias Harefa, 2003). Jadi dapat dikatakan bahwa, membangun insan yang berkarakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet, "karakter", yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain. 

Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing).  Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu.  Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri.  Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi).  Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut "desiring the good" atau keinginan utnuk berbuat kebaikan.  Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek "knowing the good" (moral knowing), tetapi juga "desiring the good"  atau "loving the good" (moral feeling) dan "acting the good" (moral action).  Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. 

Menurut Dorothy Rich (1997) terdapat  nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa mendatang.  Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi : 1) percaya diri (confidence); 2) motivasi (motivation); 3) usaha (effort); 4) tanggungjawab (responsibility), 5) inisiatif (initiative), 6) kemauan kuat (perseverence), 7) kasih sayang (caring), 8) kerjasama (team work), 9) berpikir logis (common sense), 10) kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta 11) berkonsentrasi  pada tujuan (focus).

Karena itu dalam pendididikan karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan buruk sangat diperlukan.  Namun sejalan dengan perkembangan usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik.  Sekali lagi perlu difahami benar oleh para pendidik, bahwa pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti "social animal".  Untuk itu maka tugas para pendidik dan sekolah-lah untuk menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur, seperti dikatakan Lickona :"Moral education is not a new idea.  It is in fact, as old as education itself.  Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good".

Diperlukannya pendidikan karakter, karena adanya kecemasan akan hilangnya karakter bangsa yang adiluhung, ramah, suka menolong, jujur dan nilai-nilai keutamaan lainnya. Kecemasan itu dengan tepatnya digambarkan oleh A.D. Pirous, seniman terkemuka dan Guru Besar Emeritus ITB, dalam lukisan karyanya, The Nightmare of Losing, dengan sisipan sesanti : " You lose wealth, you lose nothing. You lose health, you lose something. You lose character, you lose everything. Tampaknya ini ada kesesuaian dengan pepatah Jawa: " Kelangan sakehe raja-brana ateges ora kelangan apa-apa. Kelangan nyawa iku tegese mung kelangan separo. Kelangan kepercayan iku tegese kelangan sakabehe".

Pirous, dalam membentuk generasi pilihan sangat mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu emosional, spritual, dan intelektul. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan, di mana banyak dilahirkan pejuang hebat seperti Nelson Mandela, Soekarno. Ada beberapa prinsip strategis pembentukan karakter menurut Pirous.

Oleh karena itu Kecerdasan Plus Karakter Sebagai Tujuan Akhir Pendidikan, adalah sebuah keniscacayaan dan menjadi kata kunci pencerdasann kehidupan bangsa. Artinya kita hendak berupaya agar terbangun lapisan generasi Indonesia cerdas yang kompetitif, komprehensif, berkarakter dan bermartabat yang identik dengan insan kamil yang paripurna, sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 45.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun