Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat modern, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Â Misalnya Brooks dan Goble (1997) dalam bukunya :"The Case for Character Education", yang menyebutkan bahwa gelombang kejahatan tersebut berhubungan erat dengan kurangnya standar moral dalam masyarakat: "that the root cause of crime, violence, drug addiction, and other symptoms of irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate or inaccurate ethical instruction"
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda  atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people).  Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut.  Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran.  Begitulah apa yang telah dilakukan oleh agama manapun dalam membentuk karakter umatnya, yaitu dengan janji pemberian hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan  pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.
Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk membentuk moral yang baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992): "As Aristoteles taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. Â They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort".
Di samping itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional. Â Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya. Â Pada prinsipnya 'you are what you are when nobody's arround'. Â Esensi perbuatan yang tanpa pamrih (Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang.
Pendidikan Karakter di Sekolah
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan  penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti dikatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:"the highest and noblest office of education pertains to our moral nature.  The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers "(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).
Oleh sebab itu Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah  haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas.  Dengan demikian menurut Mann,  tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Â Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Â Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan.Â
Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terrjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.