Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Â Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.Â
Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Â Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Â Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik  dan mau melakukannya  (domein psikomotor).  Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan "habit" atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Akar kata "karakter" dari kata Latin: Moribus, dalam bahasa Yunani, "kharassein", dan "kharas", yang bermakna  "alat untuk menandai" (tools for marking), "mengukir atau memahat" (to engrave) atau "tongkat penunjuk" (pointed stake). Kata ini banyak digunakan dalam bahasa Perancis, "caractere", di Abad 14, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi "character", sebelum menjadi bahasa Indonesia "karakter" (Andrias Harefa, 2003). Jadi dapat dikatakan bahwa, membangun insan yang berkarakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet, "karakter", yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain.Â
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Â Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Â Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Â Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Â Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut "desiring the good" atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Â Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek "knowing the good" (moral knowing), tetapi juga "desiring the good" Â atau "loving the good" (moral feeling) dan "acting the good" (moral action). Â Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.Â
Menurut Dorothy Rich (1997) terdapat  nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa mendatang.  Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi : 1) percaya diri (confidence); 2) motivasi (motivation); 3) usaha (effort); 4) tanggungjawab (responsibility), 5) inisiatif (initiative), 6) kemauan kuat (perseverence), 7) kasih sayang (caring), 8) kerjasama (team work), 9) berpikir logis (common sense), 10) kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta 11) berkonsentrasi  pada tujuan (focus).
Karena itu dalam pendididikan karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan buruk sangat diperlukan. Â Namun sejalan dengan perkembangan usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik. Â Sekali lagi perlu difahami benar oleh para pendidik, bahwa pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti "social animal". Â Untuk itu maka tugas para pendidik dan sekolah-lah untuk menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur, seperti dikatakan Lickona :"Moral education is not a new idea. Â It is in fact, as old as education itself. Â Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good".
Diperlukannya pendidikan karakter, karena adanya kecemasan akan hilangnya karakter bangsa yang adiluhung, ramah, suka menolong, jujur dan nilai-nilai keutamaan lainnya. Kecemasan itu dengan tepatnya digambarkan oleh A.D. Pirous, seniman terkemuka dan Guru Besar Emeritus ITB, dalam lukisan karyanya, The Nightmare of Losing, dengan sisipan sesanti : " You lose wealth, you lose nothing. You lose health, you lose something. You lose character, you lose everything. Tampaknya ini ada kesesuaian dengan pepatah Jawa: " Kelangan sakehe raja-brana ateges ora kelangan apa-apa. Kelangan nyawa iku tegese mung kelangan separo. Kelangan kepercayan iku tegese kelangan sakabehe".
Pirous, dalam membentuk generasi pilihan sangat mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu emosional, spritual, dan intelektul. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan, di mana banyak dilahirkan pejuang hebat seperti Nelson Mandela, Soekarno. Ada beberapa prinsip strategis pembentukan karakter menurut Pirous.
Oleh karena itu Kecerdasan Plus Karakter Sebagai Tujuan Akhir Pendidikan, adalah sebuah keniscacayaan dan menjadi kata kunci pencerdasann kehidupan bangsa. Artinya kita hendak berupaya agar terbangun lapisan generasi Indonesia cerdas yang kompetitif, komprehensif, berkarakter dan bermartabat yang identik dengan insan kamil yang paripurna, sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 45.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI