Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memetik Ilmu dan Menyebarkan Manfaat dari Akademi PLN-Kompasiana

1 Mei 2016   12:55 Diperbarui: 1 Mei 2016   14:04 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penjurian Akademi PLN-Kompasiana (foto: Rahayu)

Bagi seorang yang haus ilmu, kegiatan Penjurian Akademi PLN-Kompasiana adalah sarana pembelajaran yang tidak boleh saya lewatkan sama sekali. Saya tidak sabar menunggu datangnya hari Senin, sampai-sampai meng-update status Facebook yang mencurahkan isi hati betapa saya ingin 25 April 2016 segera tiba.

Seperti kata sebuah pepatah: Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. Artinya, hendaklah menuntut ilmu dengan sepenuh hati agar memperoleh hasil yang terbaik. Saya percaya, ilmu ibarat sebuah penunjuk jalan dan penerang bagi jiwa. Apalagi ilmu yang saya dapatkan langsung berasal dari karyawan PLN dan para pakar di Kompasiana. Adakah alasan untuk melewatkan pengalaman yang luar biasa ini?

Sebelum mengisahkan pengalaman luar biasa mengikuti penjurian Akademi PLN-Kompasiana, saya hendak menceritakan sekelumit kisah yang pernah saya alami di tahun 2007 silam yang cukup berkaitan dengan pembelajaran yang saya peroleh dari Akademi PLN-Kompasiana.

Dulu sewaktu masih baru bekerja sebagai sales KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dan KTA (Kredit Tanpa Agunan) di sebuah bank BUMN, saya ditolak mentah-mentah seorang nasabah prioritas yang ingin mengajukan KPR. Anggaplah nama nasabah tersebut Pak Dob. Sejenak mengamati saya dari kejauhan, beliau langsung menarik kesimpulan kalau saya adalah seorang sales baru yang tidak berpengalaman. Melalui seseorang yang merekomendasikan saya kepada beliau, Pak Dob mengatakan tidak sudi KPR-nya diurus oleh saya karena takut pengajuan kreditnya ditolak bank akibat diproses oleh seorang sales yang tidak meyakinkan.

Ingin rasanya menghampiri dan memohon kepada beliau untuk memberikan saya kesempatan pertama sebagai sales. Apalagi pengajuan KPR beliau senilai 2M. Tahun 2007, nilai tersebut sangat fantastis. Memang pandangan Pak Dob tepat sekali. Saya sales yang baru bekerja seminggu dan belum memiliki pengalaman, namun saya ini pekerja keras yang siap ‘babak belur’ demi memperjuangkan KPR nasabah asalkan saya tidak melanggar peraturan bank. Namun permohonan itu urung saya lakukan, Pak Dob sudah ogah menemui saya padahal kami belum pernah berkomunikasi sama sekali.

Penolakan tersebut menyadarkan saya tentang sesuatu, tidak peduli setangguh apa pun perjuangan saya mengerjakan tanggung jawab sebagai sales, namun bila citra yang ditampilkan tidak begitu positif, maka orang lain sulit percaya kepada saya. Sudah kecenderungan banyak orang untuk suka menilai seseorang dari apa yang ditampilkan di luar.

Sadarlah saya kalau penampilan saya tidak mencerminkan seorang sales profesional. Sangat berbeda dengan penampilan senior sales berprestasi lain. Sejak itulah saya bertekad mengubah citra menjadi lebih positif dengan mengubah penampilan dan teknik berkomunikasi layaknya sales profesional. Ketika saya sudah memiliki citra positif di depan nasabah, mudah sekali bagi saya untuk mencapai target perusahaan yang diberikan kepada saya karena nasabah percaya kepada saya. Citra positif jualah yang mengantarkan saya meraih prestasi sebagai sales terbaik.

Saya keliru karena awalnya berpikir untuk menjadi sales itu cukup menjadi seorang yang apa adanya. Namun, pengalaman ditolak nasabah mentereng membuat saya paham ternyata perlu menciptakan citra positif untuk meraih tujuan dan prestasi membangggakan.

Acara Pembukaan Akademi PLN-Kompasiana yang Mengantarkan Pada Sepotong Memori

Pengenalan saya terhadap PLN masih sangat minim. Mungkin seperti Pak Dob yang masih mengetahui sedikit sekali tentang saya. Rasa penasaran tentang bagaimana PLN yang sesungguhnya inilah mengantarkan saya mendaftar sebagai peserta kegiatan Penjurian Akademi PLN-Kompasiana.

Para peserta yang hadir semuanya adalah 20 orang humas PLN dari berbagai pelosok Nusantara. Bila diperhatikan mereka rata-rata sudah berpengalaman cukup lama di PLN dan memiliki jabatan managerial. Kata sambutan yang disampaikan oleh GM Pusdiklat PLN Bapak Wisnu Satrijono membuat saya terhentak karena teringat pengalaman membentuk citra positif yang pernah saya lakukan saat menjadi sales di bank dulu.

Bapak Wisnu Satrijono berkata di hadapan semua peserta akademi PLN dan kompasianer, “Selama ini, PLN begitu fokus kerja dan kerja serta hanya memperhatikan hal-hal teknis demi meningkatkan layanan namun melupakan komunikasi kepada masyarakat sehingga citra PLN kurang terbangun secara positif” Bapak Wisnu Satrijono mengajak semua karyawan PLN bukan hanya bagian humas untuk menjadi ambasador dalam membangun citra PLN yang lebih baik melalui kesungguhan berkarya dan juga aktif menyampaikan berita foto, video, dan tulisan berisikan informasi yang berimbang mengenai PLN di berbagai media. Tentu saja termasuk media online seperti Kompasiana yang dibaca jutaan orang setiap bulannya. Saya pun sadar bukan hanya seorang sales yang perlu menjaga dan membangun citra positif namun juga sebuah perusahaan besar seperti PLN.

gamabr-2-13096066-10208365711396146-2584825724887495306-n-572591c92a7a6151052fff4d.jpg
gamabr-2-13096066-10208365711396146-2584825724887495306-n-572591c92a7a6151052fff4d.jpg
Acara pembukaan Akademi PLN-Kompasiana (foto: Rahayu)

Sekarang ini, tidak diragukan lagi betapa dahsyatnya peran media online seperti Kompasiana dalam menyebarkan berita kepada khalayak banyak karena adanya karekteristik yang tidak dimiliki oleh media mainstream yaitu audiens control yang membuat pembaca lebih leluasa memilih informasi sesuka hati.

Keunggulan berita online yang tidak mampu disangkal oleh siapa pun adalah proses penyebaran informasinya yang memberikan efek viral berkat adanya fitur share yang memungkinkan berita bisa disebarkan ke mana saja termasuk ke berbagai media sosial. Kompasiana sungguh sebuah tempat belajar yang luar biasa para bagi karyawan PLN demi upaya membangun jembatan komunikasi yang harmonis dengan para pelanggan PLN.

Acara Check Point yang Menginspirasi

Saya pun semakin antusias mengikuti check point yang dibagi menjadi tiga kelas. Semua peserta akademi PLN dan kompasianer sebagai pemberi tanggapan dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari ruangan Diponegoro, Teuku Umar, dan Imam Bonjol. Saya beserta lima orang kompasianer lain mendapat ruang di Teuku Umar. Ada tiga juri yang menilai para apprentice di ruangan kami yaitu Pak Made dari PLN, Mas Isjet dari Kompasiana, dan Mas Tegar dari Kompas. Ada juga mbak Widha yang berperan sebagai moderator sekalian bertugas untuk mengoperasikan slide presentan PLN.

Satu hal yang menegangkan adalah karena para peserta PLN yang masuk ke dalam ruangan hanya satu per satu. Apprentice yang belum mendapat giliran presentasi harus menunggu di luar ruangan. Sudah terbayang bagaimana tegangnya karena semua mata para juri dan kompasianer terpusat hanya pada satu orang presentan.

Saya saja sebagai kompasianer cukup tegang apalagi para peserta akademi, pastilah merasakan dag dig dug ser yang tidak biasa. Waktu yang diberikan untuk presentasi pun hanya 10 menit dan 40 menit dipakai presentan untuk menjawab pertanyaan dari para juri dan kompasianer. Waktu yang cukup singkat untuk mempresentasikan ilmu yang sudah didapatkan selama empat hari belajar di Kompasiana. Saya pikir ini sesuatu yang menantang para akademi PLN untuk bisa menyampaikan pesan menarik tanpa mengabaikan managemen waktu presentasi.

juri-13100720-10208365724956485-3434736573781215910-n-57259255959373ce0685a148.jpg
juri-13100720-10208365724956485-3434736573781215910-n-57259255959373ce0685a148.jpg
Para Juri di ruang Teuku Umar (foto: Rahayu)

Peserta apprentice pertama adalah Ibu Rosmalina seorang karyawati PLN Wilayah Sumsel. Benar saja, beliau begitu tegang sampai mic basah oleh keringat tangan beliau. Ibu Rosma berencana akan membangun komunikasi yang lebih baik dengan media lokal, media nasional, dan media online mengenai kegiatan-kegiatan PLN. Walau materi presentasi terbilang cukup sederhana, namun saya terkesan dengan apa yang sudah Ibu Rosma sudah lakukan dalam membangun komunikasi antara PLN dengan mayarakat.

Ternyata sudah banyak hal yang beliau lakukan selama menjadi humas PLN. Pak Made sebagai salah satu juri dari PLN mendorong Ibu Rosma untuk mengemas materi dengan lebih baik sehingga memancing keingintahuan pembaca.  

Hal demikian saya maklumi karena belajar empat hari tidaklah cukup untuk mempertajam kemampuan berkomunikasi sekalipun Ibu Rosma selama ini bergelut di bidang humas PLN. Kelebihan Ibu Rosma yang saya lihat adalah kemampuan beliau dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh para dewan juri dan kompasianer.

Sejujurnya, saya memiliki satu kelemahan yaitu menjawab pertanyaan secara langsung bila dalam keadaan gugup. Itulah sebabnya saya lebih suka menjawab pertanyaan tanpa tatap muka seperti menjawab pembaca dalam kolom komentar sebuah tulisan. Memberikan jawaban melalui media online memberikan saya kesempatan yang lebih banyak untuk berpikir dan mengedit kalimat. Berbeda dengan Ibu Rosma yang tetap piawai menjawab pertanyaan dari semua penanya dalam keadaan gugup sekalipun.

Salah satu tulisan bu Rosma di Kompasiana yang mengesankan saya adalah tulisan yang berjudul, “Firdaus Tidak akan Pulang Sebelum Listrik Menyala”. Saya menangkap kisah kegigihan seorang karyawan terbaik PLN bernama Firdaus Setiawan yang setiap hari harus memanjat dari satu tiang ke tiang listrik lainnya demi menjaga listrik tetap menyala di Sumsel.

Saya terperangah saat membaca tulisan ibu Rosma yang mengatakan bila listrik padam, Firdaus Setiawan dipastikan tidak akan pulang sebelum listrik menyala kembali. Padahal setahu saya, listrik mati tidak kenal waktu atau jadwal. Bisa saat pagi atau bahkan malam hari di luar jam kerja. Artinya, Firdaus harus selalu siaga dan stand by waktu serta tenaga. Ternyata selama ini PLN benar-benar berusaha keras agar lampu di rumah-rumah bisa terus menyala dan saya bisa menjalankan keseharian dengan baik. Terbersit rasa bersalah karena saat listrik padam hanya bisa menyalahkan dan menggerutu tanpa melihat bagaimana kerasnya perjuangan mereka di lapangan.

Apprentice kedua yang mempresentasikan pengalaman magang adalah Bapak Bayu Aswenda yang sudah berlatar belakang pendidikan Ilmu Komunikasi. Tidak heran beliau cukup terampil dalam menampilkan slide yang menarik serta memberikan 4 hasil tulisan yang cukup memukau di Kompasiana.

Bapak Bayu Aswenda berencana akan membentuk change agent khususnya di bidang komunikasi di setiap unit pelaksana sehingga bisa mengubah PLN menjadi perusahaan yang lebih komunikatif. Selain itu, Pak Bayu akan menampilkan berita positif seputar PLN di berbagai media seperti Kompasiana.

Tulisan Pak Bayu yang mengesankan saya adalah artikel yang berjudul “Kepulan Asap Penggerak Roda Ekonomi”. Membaca tulisan bergaya story telling itu membuat saya serasa sudah berkunjung PLTU Asam-asam karena gaya penulisan yang ramah namun juga terang benderang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dan keadaan pembangkit.

Melalui sebuah tulisan, saya diajak mengenal lebih dekat PLTU Asam-asam yang merupakan pemasok utama listrik dengan bahan bakar batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sudah lama saya penasaran melihat langsung bagaimana sebenarnya sebenarnya PLTU itu dan kini saya bisa mengenali wujud PLTU meskipun melalui sebuah berita dan foto. Ada perasaan turut memiliki (sense of belonging) dan kebanggan atas PLTU yang timbul di dalam hati saya.

pak-bayu-13076804-10208365723516449-2753147520199129818-n-572592af6723bd8b171cc76d.jpg
pak-bayu-13076804-10208365723516449-2753147520199129818-n-572592af6723bd8b171cc76d.jpg
Pak Bayu Aswenda salah satu apprentice ruang Teuku Umar (foto: Rahayu)

Apprentice ketiga yang presentasi adalah Bapak Mustafrizal yang merupakan humas PLN Medan dan Nias. Uban yang mulai menghiasi kepala beliau menjadi saksi bisu akan keteguhan pengabdian seorang pekerja PLN. Tampak sekali kepiawaian beliau sebagai humas khususnya saat beliau mempresentasikan upaya yang dilakukan ketika mengatasi krisis listrik di Nias pada 1 April 2016.

Saya melihat kehandalan beliau di mana terus berupaya membangun komunikasi dengan masyarakat Nias saat pemadaman 12 hari di sana. Pak Mustafrizal selalu meng-update berita sehingga masyarakat Nias mengetahui PLN saat ini sedang berupaya keras agar Nias bisa dialirin listrik kembali. Membangun komunikasi terbuka seperti itu tentu mampu meredam kemarahan masyarakat Nias yang hampir tidak terelakkan.

Melalui tulisan Pak Mustafrizal di Kompasiana yang berjudul “Demi Nias Benderang Operator PLN Rela Tidur di Mesjid” saya menangkap kesan kerja keras yang luar biasa dari para petugas PLN yang bahu-membahu mengatasi padamnya lampu di 75% wilayah Nias. Luar biasanya, para karyawan PLN tersebut bahkan rela tidak libur di hari Sabtu dan Minggu.

Sejumlah 95 karyawan PLN yang jauh-jauh datang dari berbagai wilayah di Sumatera Utara demi menerangi Nias kembali. Banyak juga yang rela tidur di mesjid kantor demi mempercepat mobilisasi genset ke lokasi sebagai sumber daya tambahan. Saya terkesan dengan tulisan ini karena menurut informasi Pak Mustafrizal, pemadaman listrik tersebut bukanlah karena kesalahan PLN namun karena penyedia jasa sewa PLTD di Nias melakukan pemutusan sepihak secara tiba-tiba padahal seharusnya pemberitahuan pemutusan kerjasama dengan PLN harus dilakukan dua bulan sebelum jatuh tempo berakhir.

Berhentinya operasi PLTD inilah yang memaksa PLN melakukan pemadaman bergilir sekaligus harus mampu memberikan solusi. Memang kinerja PLN sampai saat ini belum optimal namun teryata di balik itu semua, banyak sekali orang-orang yang siap ‘babak belur’ demi PLN yang lebih baik. Hal ini sungguh menyentuh hati kecil saya untuk berupaya mendukung demi PLN yang lebih baik.

Tulisan Pak Mustafrizal yang berjudul “Demi Nias Benderang Operator PLN Rela Tidur di Mesjid” tersebut memancing sebuah tanggapan dari seorang kompasianer yang mengatakan tulisan beliau tersebut adalah sebuah pencitraan karena memang yang ditulis sudah merupakan tugas PLN.

Tiba-tiba teringatlah saya pada masa lalu saat sebagai sales dimana semenjak berhasil membangun citra positif, saya mudah sekali mencapai target penjualan. Tidaklah salah membangun citra yang positif di mata pelanggan asalkan dibarengi dengan kerja keras terus menerus dalam memenuhi kebutuhan listrik. Citra positif akan mempermudah perusahaan membangun komunikasi dan mencapai tujuan secara efektif.

Bila PLN memiliki citra yang negatif, ada kesalahan sedikit saja masyarakat gampang sekali mengeluh. Kemudian jika PLN mengeluarkan produk listrik pintar misalnya khalayak banyak pasti kurang responsif. Pun demikian masalah pembebasan lahan. Siapa yang sudi bekerja sama dan memberikan dukungan bagi perusahaan yang memiliki citra yang buruk? Saya percaya sebuah keberhasilan perusahaan tidak hanya tergantung kepada kualitas produk dan jasa yang dihasilkan namun juga dipengaruhi oleh kehandalan para pekerjanya dalam membangun citra positif perusahaan.

Pak Asep Irman apprentice keempat menghirup nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan secara perlahan tanda beliau sudah siap mempresentasikan materi. Saya sempat menangkap beliau sedang mencuri waktu jam istirahat untuk latihan di ruangan Teuku Umar. Sebuah antusiasme pembelajar yang sangat luar biasa.

Pak Asep juga ternyata berlatar belakang pendidikan komunikasi sehingga sangat wajar tampilan slide beliau cukup eye catching. Materi presentasi yang menarik perhatian saya adalah terkait pembebasan lahan seorang warga demi proyek PLN. Judul tulisan beliau itu adalah “Mengantar Harun ke Kehidupan yang Lebih Baik”. Tulisan ini membuka mata saya betapa PLN memberikan perhatian kepada Pak Harun yang lokasi bertaninya akan dibangun bendungan untuk PLTA Cisokan. Bentuk perhatian yang diberikan kepada Pak Harun bukan hanya berupa biaya ganti rugi untuk tanah sawah tetapi juga turut memperhatikan dan mendukung kegiatan ekonomi dan mata pencaharian Pak Harun pasca relokasi. Pak Harun diberikan berbagai pelatihan sehingga memiliki kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Kini Pak Harun bisa membeli tanah sawah, membangun rumah lagi, dan mendapatkan pengetahuan tambahan untuk meningkatkan pendapatan. Sungguh luar biasa.

Apprentice terakhir di ruangan Teuku Umar tidak kalah menginspirasi saya. Beliau bernama Pak Suargina yang dua tahun lagi akan menghadapi masa pensiun. Usia ternyata bukanlah penghalang Pak Suargina untuk terus belajar. Hal ini mengingatkan saya untuk jangan berhenti belajar karena tidak ada alasan untuk berhenti belajar termasuk usia yang sudah tidak muda lagi.

Pak Suargina yang selama ini belum pernah menulis di blog dan sama sekali belum memiliki account Facebook, kini setelah memahami betapa pentingnya media online langsung membuat account Facebook dan berhasil membuat empat tulisan di Kompasiana. Beliau bahkan membeli gadget terbaru demi belajar membuat rekaman video yang menarik untuk mempublikasikan kegiatan di PLN. Keterbatasan beliau dalam teknologi ternyata tidak dijadikan alasan untuk membatasi diri. Terbukti beliau berhasil menghasilkan karya berupa artikel, video, dan foto.

Tulisan beliau yang paling menarik perhatian saya adalah “7 Hari Tak Pulang Demi Kampung Manis”. Tulisan ini mengisahkan kejadian longsor di Kampung Manis Kecamatan Cikalong Kulon Jawa Tengah. Longsor mengakibatkan beberapa rumah tertimbun, termasuk satu gardu listrik sehingga mengakibatkan pemadaman. Pemulihan listrik menjadi sangat sulit karena terpaksa melewati sungai yang sedang banjir.

Perbaikan lisrik yang ditangani tim PLN membutuhkan waktu cukup lama karena untuk menjangkau lokasi bencana memerlukan waktu dua hari dengan melewati sungai. Mobil tim PLN yang hendak melintas harus berjuang keras melawan derasnya arus sungai di area bebatuan yang tajam dan medan yang terjal. Upaya itu juga harus disertai usaha mengangkut trafo dengan berat 1 ton dari gudang PLN Cianjur ke lokasi longsor. Sungguh dibutuhkan usaha yang keras dan kerja sama warga untuk mengangkat trafo baru dari bawah bukit ke lokasi longsor yang berada di atas bukit. Akhirnya dalam tujuh hari dengan usaha dan kerja tanpa henti, listrik di kampung Manis bisa hidup kembali.

Memberikan Dukungan Demi PLN yang Lebih Baik

Pengalaman mengikuti Akademi PLN-Kompasiana mengantarkan saya kepada sebuah pengalaman dan cara pandang yang berbeda terhadap PLN. Para pekerja PLN yang ternyata begitu berdedikasi di lapangan menggugah hati saya untuk memberikan sebuah dukungan nyata bagi PLN. Ternyata banyak insan PLN sungguh bisa diandalkan dan siap ‘babak belur’ demi memperjuangkan pasokan listrik; para teknisi, para humas, dan pekerja lain di tubuh PLN.

Bentuk dukungan saya mungkin tidak dalam hal melepas lahan (karena belum ada kabar kalau cluster perumahan saya harus dibangun pembangkit dan alat transmisi listrik), namun saya bisa mendukung PLN dengan beberapa cara. Tidak memberi tip kepada petugas PLN yang memberikan layanan kepada saya, melaporkan bila terjadi pencurian listrik, ikut berhemat listrik, dan turut menggunakan listrik pintar.

Saya pun kini sadar pernah melakukan tindakan yang tidak baik bagi PLN. Sudah tiga kali menerima layanan PLN, saya benar-benar tidak memberikan uang tip sama sekali. Namun, suatu hari saat saya ingin menaikkan daya listrik di sebuah rumah sekaligus tempat usaha yang saya sewa beberapa tahun yang lalu, saya tergoda untuk memberikan tip kepada seorang petugas PLN. Padahal saya sudah diingatkan operator untuk membantu PLN menjadi perusahaan yang bersih dengan tidak tidak memberikan tip atau ucapan terima kasih dalam bentuk apa pun kepada petugas PLN

Rambut petugas PLN yang sudah mulai ditumbuhi uban mengingatkan kepada almarhum Bapak saya sehingga sangat merasa bersalah bila tidak memberikan tip padahal petugas PLN tersebut tidak meminta kepada saya. Saya kini merasa apa yang sudah saya lakukan itu sangat tidak tepat apa pun alasannya. Satu sisi saya ingin terjadi peningkatan kinerja PLN, namun di sisi lain saya tidak memberikan dukungan untuk PLN yang lebih baik.

Syukurlah saya mengikuti kegiatan penjurian akademi PLN-Kompasiana ini sehingga saya bisa mengubah sikap dan memberikan dukungan bagi PLN dengan tidak akan pernah memberikan tip lagi saat menerima layanan. Terakhir, saya sangat berterima kasih mengikuti kegiatan Akademi PLN-Kompasiana apalagi saya juga diberi kesempatan memberikan feedback dan tanggapan yang bisa membangun kelistrikan bagi bangsa tercinta. Semoga nantinya, semua Akademi PLN-Kompasiana lebih terampil memberitakan kegiatan dan informasi layanan PLN melalui Kompasiana dan social media seperti Facebook, Twitter, Youtube, serta yang lainnya. Hal ini akan meminimalisir jumlah keluhan masyarakat akibat kesalahan dan ketidaktahuan informasi. Satu hal dan yang terpenting, keterbukaan komunikasi akan mendekatkan PLN di hati masyarakat.

Demikianlah pengalaman saya dan tidak lupa saya sampaikan juga kalau acara di usdiklat PLN jalan Letjend S. Parman Slipi Jakarta Barat ini pun ditutup dengan pengumuman peserta akademi menulis PLN terbaik yang jatuh ke tangan Ibu Emilia Tobing apprentice dari ruang Diponegoro.

Salam,

Rahayu Damanik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun