KOMIK ASTERIX DI MATA PEMBACANYA
Monsieur Albert Uderzo,
C'est avec une grande tristesse que j'ai appris votre dcs soudain, en sommeil. Je vous promis de prier pour vous du fond de mon coeur.
Dengan rasa sedih yang tak terlukiskan, saya mendengar Anda meninggal mendadak, pada saat tidur. Saya berjanji akan berdoa untuk Anda dari lubuk hati saya terdalam.
Barangkali Anda sudah tahu, pembaca Astrix di Indonesia sangat fanatik. Mereka bahkan membuat sebuah forum khusus Astrix Indonesia, dengan pengikut yang tak terhitung jumlahnya.Â
Setiap kali saya mengirim artikel ke facebook -- biasanya berkaitan dengan Astrix -- maka komen yang saya terima cukup banyak, di samping mereka yang sekadar mengirim jempol serta ikon-ikon lainnya.Â
Di antara para penggemar Astrix, hubungan di antara saya dan mereka cukup dekat, bahkan beberapa yang sekarang menjadi 'sahabat' saya, meskipun lewat dunia maya.
Seorang dari mereka adalah Hera Diani, pemimpin redaksi Magdalene. Kami bertemu pada 29 Januari 2017 dalam suatu acara Bahasa Comics, Â yang diselenggarakan oleh Uwi Mathovani, mantan redaksi majalah terjemahan di Gramedia, Â dan saya diundang sebagai pembicaranya.
Dua bulan kemudian Hera Diani mengirimkan video di bawah ini dalam facebook.
Sambutan facebooker mengejutkan. Dalam beberapa hari tercatat 24 ribu views, dan 476 shares. Sebagian besar menyampaikan, Astrix memberikan warna dalam kehidupan masa kecil mereka. Saya kutip beberapa di antaranya:
Wien Yuni Elisabeth: Woooooowwwww ibuuu makasiiiiihhh banyaaaaaakkkkk , komik ini memberi warna tersendiri di masa2 kecilku. Sehat sehat bu.
Innayah Umnihanie: Ibu Maria Antonia Rahartati Bambang terimakasih sudah menterjemahkan Asterix dan Obelix menjadi bacaan komik yg begitu menyegarkan..
Saya jadi ingin kenalan lebih dekat dengan ibu...
Asterix dan Obelix adalah komik idola saya sejak saya remaja.. ...
Anindita Rahardjo Ibu Maria ... saya penggemar berat ibu . Makasih yaa buat terjemahannya yang sangat menghibur, original dan jenaka . Gbu ibu!
Yulia Darmawan Komik paling lucu yg pernah aku baca waktu masih sekolah....dan sampai saat ini masih ingat kata2 lucunya
Bukan hanya menyampaikan terima kasih, karena terjemahan saya disebut menghidupkan masa kecil mereka, Monsieur Uderzo, Â berikut ini sejumlah komentar dengan nada berbeda-beda.Â
Marcalais Fransisca shared Opini.id's video. 080317/08:20
Komik favorit. Baca yang bahasa Inggris aja gak selucu versi Indonesianya. Ini adalah masterpiece dunia penerjemahan buku di Indonesia.
- Terima kasih, Marcalais Fransisca, Anda menyukai terjemahan saya. Tetapi jauh lebih baik jika Marcalais tidak membandingkannya dengan kerja keras penerjemah dalam bahasa lain, ya.
Dipo Nugroho Paling inget sama si licixmunafix
- Saya yakin mengapa nama Licixmunafix membuat Dipo Nugroho terkesan, karena sikap dan sifat sang tokoh memang licik dan munafik. Dan karena dia warga Galia, maka saya tambahkan--ix di belakangnya. Licixmunafix.
Thio Agustinus Fafi hufan
- Pembaca menirukan kecedalan salah seorang tokoh. Mudah ditebak, si tokoh bicara tentang babi hutan.
Boston Henry komix lucunix sedunianix....
thanx tux ibux Maria Antonia Rahartati Bambang..ix....you are awesomix...
- Penambahan --ix ternyata menjangkiti pembaca Boston Henry. Semangat yang meluap-luap bahkan memunculkan akhiran yang tidak dikenal dalam terjemahan saya, -ux. Hehe.
Amelia Stefani Halim "Nina bobo, oh nina bobo... Kalau tidak bobo disruduk kebo."
- Monsieur Uderzo, nyanyian pengantar tidur anak-anak Indonesia yang bunyinya, Nina bobo, oh, Nina bobo ... Kalau tidak bobo, digigit nyamuk .... Dalam salah satu komik, saya mengubah lirik Nina bobo, agar lebih berima.
Peter Dave "Sekarang, untuk memeriahkan suasana ini.... saya akan menyanyikan sebuah lagu..."
- Assurancetourix, tipe tokoh ciptaan dua sekawan Goscinny dan Uderzo mampu memeriahkan suasana. Bahkan nama tersebut digunakan untuk menyebut mereka yang bersuara sumbang.
Dyah Pitaloka Grahadiningtyas Desa belah tengah lucu banget, Â jijay n jayji. Ibu keren bgt. Nerjemahinnya lebih lucu dari aslinya.
- Saya mengagumi ketelitian yang bersangkutan. Dia ingat sekali, dalam Desa Belah Tengah, warga dari dua pemimpin yang berbeda saling mencaci. Saya gunakan kata yang pada tahun itu sangat populer. Jijay; menjijikan. Ketika di sebelah kiri sungai berteriak, "Jijay," sebagai balasan, saya hanya membalikkan kata makian menjadi, "Jayji!" bagi warga di seberangnya.
Susanna Rizki Salah satu karakter yang namanya bikin saya terpingkal2 : mukajelekus Makasih ya bu..
- Nama tokoh dalam bahasa Prancis jika diterjemahkan secara harafiah tidak akan menimbulkan reaksi yang sama dengan pembaca bahasa sumber. Melihat raut wajah legioner Romawi yang jauh dari menarik, muncul satu nama yang cukup mewakili sosoknya, Mukajelekus.
Agung Prabowo Saya pecinta komix asterix...anak saya yang pertama saya namakan Asterixa krn saya penggemar berat komix asterix...
- Agung Prabowo adalah pembaca fanatik nomor wahid. Bahkan putri pertamanya diberi nama Astrixa. Sayang Monsieur Uderzo tidak sempat mendengar cerita tentang kefanatikan pembaca komik hasil karyanya.
Alfredo Iganz Loupatty Demi toutatis, terima kasih ibu Rahartatix.
- Demi toutatis, Alfredo Iganz Loupatty, saya orang Indonesia, bukan warga Galia.
Dewi Kurnia Salwa terima kasikus ibus, komikus asterikus lucus beratus...
- Saya yakin Dewi Kurnia Salwa mengagumi sosok para legioner, dilihat dari akhiran --us yang dia gunakan. Pembaca yang lebih menyukai Astrix dan warga Galia, pasti akan menambahkan akhiran --ix.
Saya tidak menduga, terjemahan komik Astrix dalam bahasa Indonesia ternyata juga diminati oleh seorang pembaca Prancis. Sebut saja namanya Chantal, seorang pengacara, yang mengaku belajar bahasa Prancis dari komik Astrix terjemahan saya.
Saat berada di Indonesia, dia khusus mencari saya, dengan menghubungi Fakultas FIB UI. Maka bertemulah kami berdua, pembicaraan pun berlangsung sangat seru dalam dua bahasa, karena Chantal memaksa untuk memanfaatkan kemampuannya berbahasa Indonesia.
Chantal sempat menanyakan berapa honor yang saya terima. Saya sebutkan angka. Dia meradang. "Kalau kau tidak menghargai hasil kerjamu sendiri, jangan berharap orang lain menghargainya."
Tanpa sepengetahuan saya, Chantal menggunakan profesinya untuk membantu saya, entah apa yang dilakukan, karena pada suatu saat, ketika saya kembali mendapat beasiswa ke Prancis, terjemahan La Galre d'Oblix  - Oblix yang malang -- ternyata berada di tangan kenalan saya, Carla Rampen, seorang staf lokal di kedutaan besar Indonesia di Prancis. "Kenapa saya disuruh edit terjemahanmu, Tati?" -- "Mana saya tahu ...?!" jawab saya.
Senyampang di Paris, saya menelepon Chantal. Saya diminta menunggu di caf tak jauh dari kantornya, dan persis di depan Mtro Saint Michel. Sekitar pukul 2 sore, saya melihat sosoknya, dari jauh dengan senyum lebar dia melambaikan tangan sambil menyeberang bersama pejalan kaki lainnya.
"Apa kabar, Tati ... Jangan ngomong Prancis, ya. Hanya bahasa Indonesia ..." Begitu katanya sambil tertawa.
Singkat kata, dia mengajak saya ke rumahnya di bilangan Versailles. Sambil berjalan menuju stasiun metro, sambil terkekeh dia berbisik ke telinga saya. "Nanti di dalam mtro, perhatikan orang-orang yang mendengar kita berbahasa Indonesia, ya." Nakal sekali gagasannya. Tetapi saya suka.Â
 Begitu mtro yang kami tunggu masuk ke stasiun, Chantal menggandeng tangan saya, barangkali dia khawatir saya akan terpisah dan tidak tahu jalan. Lalu menyilakan saya duduk di depannya, agar kami bisa bicara sambil bertatap muka.
"Kapan datang ke Paris?" katanya sambil tersenyum penuh arti, karena orang di sebelah menyebelah langsung memandang ke arah kami, tertegun melihat seorang kulit putih mengajak bicara perempuan kulit coklat dalam bahasa antah berantah.
"Seminggu yang lalu ..."Â
Penumpang di sebelah saya tersenyum. Dan serta merta bertanya kepada Chantal -- sepertinya dia tidak bisa lagi menahan diri, sebuah sikap luarbiasa, yang tak pernah saya jumpai selama berada di Prancis --, bahasa apa yang kami gunakan.Â
"Nous parlons indonsien ... Kami bicara bahasa Indonesia ..."
"Indonsien ..." ulang yang bersangkutan sambil menganggukkan kepalanya.
Setiba di rumahnya, saya melihat kerumunan orang telah menunggu di teras rumahnya, baru saya tahu mereka khusus diundang  Chantal untuk diperkenalkan kepada si kulit coklat penerjemah Astrix.
Mereka tidak kenal Indonesia, dan tidak pernah membayangkan keberadaannya di planet bumi. Tetapi tiba-tiba ada seorang penduduknya yang mengaku sebagai penerjamah komik Astrix. Keluarbiasaan yang layak disambut dengan minuman berbotol-botol.
Singkat kata, sepulang dari Prancis saya diundang ke kantor Pustaka Sinar Harapan. Rupanya Chantal yang merasa gusar karena menganggap saya tidak menghargai diri sendiri, membujuk pimpinan PSH untuk menaikkan imbalan yang diberikan kepada saya.Â
Usaha Chantal berhasil. Meskipun tahun 1985 kurs dolar masih di seputar seribu rupiah, meskipun kenaikannya tidak sebanding dengan melonjaknya kurs dolar, tetapi saya bersyukur seorang Chantal menggugah pikiran saya untuk memiliki harga diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H