Dyah Pitaloka Grahadiningtyas Desa belah tengah lucu banget, Â jijay n jayji. Ibu keren bgt. Nerjemahinnya lebih lucu dari aslinya.
- Saya mengagumi ketelitian yang bersangkutan. Dia ingat sekali, dalam Desa Belah Tengah, warga dari dua pemimpin yang berbeda saling mencaci. Saya gunakan kata yang pada tahun itu sangat populer. Jijay; menjijikan. Ketika di sebelah kiri sungai berteriak, "Jijay," sebagai balasan, saya hanya membalikkan kata makian menjadi, "Jayji!" bagi warga di seberangnya.
Susanna Rizki Salah satu karakter yang namanya bikin saya terpingkal2 : mukajelekus Makasih ya bu..
- Nama tokoh dalam bahasa Prancis jika diterjemahkan secara harafiah tidak akan menimbulkan reaksi yang sama dengan pembaca bahasa sumber. Melihat raut wajah legioner Romawi yang jauh dari menarik, muncul satu nama yang cukup mewakili sosoknya, Mukajelekus.
Agung Prabowo Saya pecinta komix asterix...anak saya yang pertama saya namakan Asterixa krn saya penggemar berat komix asterix...
- Agung Prabowo adalah pembaca fanatik nomor wahid. Bahkan putri pertamanya diberi nama Astrixa. Sayang Monsieur Uderzo tidak sempat mendengar cerita tentang kefanatikan pembaca komik hasil karyanya.
Alfredo Iganz Loupatty Demi toutatis, terima kasih ibu Rahartatix.
- Demi toutatis, Alfredo Iganz Loupatty, saya orang Indonesia, bukan warga Galia.
Dewi Kurnia Salwa terima kasikus ibus, komikus asterikus lucus beratus...
- Saya yakin Dewi Kurnia Salwa mengagumi sosok para legioner, dilihat dari akhiran --us yang dia gunakan. Pembaca yang lebih menyukai Astrix dan warga Galia, pasti akan menambahkan akhiran --ix.
Saya tidak menduga, terjemahan komik Astrix dalam bahasa Indonesia ternyata juga diminati oleh seorang pembaca Prancis. Sebut saja namanya Chantal, seorang pengacara, yang mengaku belajar bahasa Prancis dari komik Astrix terjemahan saya.
Saat berada di Indonesia, dia khusus mencari saya, dengan menghubungi Fakultas FIB UI. Maka bertemulah kami berdua, pembicaraan pun berlangsung sangat seru dalam dua bahasa, karena Chantal memaksa untuk memanfaatkan kemampuannya berbahasa Indonesia.
Chantal sempat menanyakan berapa honor yang saya terima. Saya sebutkan angka. Dia meradang. "Kalau kau tidak menghargai hasil kerjamu sendiri, jangan berharap orang lain menghargainya."
Tanpa sepengetahuan saya, Chantal menggunakan profesinya untuk membantu saya, entah apa yang dilakukan, karena pada suatu saat, ketika saya kembali mendapat beasiswa ke Prancis, terjemahan La Galre d'Oblix  - Oblix yang malang -- ternyata berada di tangan kenalan saya, Carla Rampen, seorang staf lokal di kedutaan besar Indonesia di Prancis. "Kenapa saya disuruh edit terjemahanmu, Tati?" -- "Mana saya tahu ...?!" jawab saya.
Senyampang di Paris, saya menelepon Chantal. Saya diminta menunggu di caf tak jauh dari kantornya, dan persis di depan Mtro Saint Michel. Sekitar pukul 2 sore, saya melihat sosoknya, dari jauh dengan senyum lebar dia melambaikan tangan sambil menyeberang bersama pejalan kaki lainnya.
"Apa kabar, Tati ... Jangan ngomong Prancis, ya. Hanya bahasa Indonesia ..." Begitu katanya sambil tertawa.