Mohon tunggu...
Ancha Hardiansya
Ancha Hardiansya Mohon Tunggu... Freelance Journalist -

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu, Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cepu, Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung, kuhasilkan taman, sawah dan kebun...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menunggu Taman Surga di Makassar

30 September 2015   19:04 Diperbarui: 30 September 2015   19:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore, dipertengahan September. Saya dan Wahyu melaju pelan dengan sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Makassar. Sore yang indah harusnya, apalagi langit yang kemerah-merahan terasa nyaman dipandangan. Tapi, debu yang menari bersama polusi membuat dada sesak, ditambah pula kendaraan yang kian merapat, merayap dijalanan.

"Ingin rasanya menghilang dan muncul di sebuah taman, dengan gemercik air dari pancoran," hayal Wahyu yang berbisik dari belakang.

Sore itu, kami berdua menghabiskan waktu dijalanan dengan polusi dan marah-marah kepada kendaraan yang tak memberi jalan. Tak ada taman khayalan dan tak ada gemercik air dari pancoran. Hingga akhirnya Saya dan Wahyu berpisah, tak pernah lagi topik taman dan gemercik air itu jadi pembahasan.

Beberapa minggu kemudian, Saya mendapat tugas mendampingi klien dari Jakarta. Menginapnya di hotel dekat Taman Macan yang tepat berada di belakang Kantor Wali Kota Makassar. Suatu ketika, sang klien bertanya, soal ruang publik yang punya jogging trek ada dimana?. Saya dengan enteng menjawab, "tepat disamping hotel ini".

Taman itu kemudian menjadi lokasi favorit klien saya untuk jogging trek setiap pagi, hingga akhirnya ia kembali ke Jakarta. Sebelum kembali, ia sempat memuji tamannya bagus dan nyaman, cuma sayang, banyak fasilitas yang rusak ditambah air mancurnya yang hanya menjadi hiasan. Bahkan kolamnya dipenuhi banyak sampah.

Satu pernyataan jujur yang menghentak keprihatinan saya.

**

Beberapa hari yang lalu, di warung kopi di bilangan Jalan Boulevar Makassar, saya dan beberapa teman asik duduk menikmati secangkir kopi. Telah banyak topik yang kami bicarakan, hingga akhirnya menggerucut kepersoalan ruang publik yang ada di kota Angin Mammiri ini.

Aries yang juga aktivis lingkungan hidup merasa kecewa dengan minimnya taman kota di Makassar. Dia yang paling getol mengangkat isu ini untuk dibicarakan. Menurutnya, dari total 28 taman kota yang ada di Makassar (Data UPTD Pengelolaan Lapangan dan Taman Kota Makassar) hanya Taman Macan yang paling besar. Luasnya 11.000 meter persegi.

Taman dengan luas demikian belum sebanding dengan jumlah penduduk Makassar yang mencapai 2 juta jiwa. Apalagi tambahnya, 28 taman yang tercatat itu dua telah beralih fungsi yakni Taman Safari yang serakang sudah menjadi jalan ke Metro Tanjung Bunga dan Taman Pualam yang kini disulap jadi hotel berbintang.

Belum lagi reklamasi pantai yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah. "Ini niatnya baik, tapi malah mengorbankan ekosistem laut," kata Aries.

Namun Basri menolak aggapan bahwa reklamasi Pantai Losari hanya merusak ekosistem laut. "Kita juga tak boleh memungkiri bahwa perubahan Pantai Losari telah membawa dampak cukup besar bagi tatanan sosial orang-orang Makassar," katanya mencoba melawan argumentasi Aries.

Basri melihat, kehadiran Pantai Losari dengan wajah baru dan lebih besar menjadi pilihan lain bagi masyarakat untuk berkumpul dan bersosial. Apalagi di Pantai Losari disediakan sarana dan prasarana penunjang seperti Masjid Terapung (Masjid Al Amin Makassar) dan toilet umum. "Ini mempresepsikan bahwa pemerintah peduli dengan ruang terbuka publik dan ingin melihat masyarakat lebih religius," katanya.

"Saya setuju dengan Basri," timpal Udin sambil menyeruput kopi satu tegukan. "Tapi Basri juga harus setuju, bahwa Pantai Losari belum bersahabat dengan pengunjung," tambahnya.

Udin mengangkat data-data empiris yang memperlihatkan belum ramahnya Pantai Losari dengan pendatang. Selain maraknya premanisme di tempat ini, pengunjung juga belum nyawan berlama-lama karena sering dibuntuti oleh pengamen dan pengemis. "Mereka bahkan kadang memaksa dengan nada mengintimidasi," kata Udin.

Udin juga mengutip perkataan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meresmikan pertama kali Anjungan Pantai Losari 12 Desember 2012 silam. Saat itu JK belum menjabat Wakil Presiden setelah duetnya dengan Susilo Bambang Yudiono berakhir di 2009. Kala itu, Kalla menegaskan agar budaya malu juga turut ditumbuhkan oleh pemerintah.

Ada budaya yang berkembang di orang-orang Makassar yang dampaknya cukup buruk. Yakni budaya ingin dilayani. Inilah yang coba diungkapkan oleh Jusuf Kalla, saat itu. Udin menilai, ruang publik yang tersedia tidak akan berumur panjang kalau masyarakat tidak sadar bagaimana merawatnya.

Masih banyak orang-orang yang menggunakan sarana publik dengan enteng membuang sampah sembarangan. Padahal di tempat itu terdapat tempat sampah. Lampu atau sarana lain juga menjadi sasaran pengrusakan, padahal lampu dan lain-lainnya tidak pernah mengganggunya.

"Orang-orang selalu menunggu agar pemerintah melayaninya, tanpa mau menjaga apa yang telah dibuat oleh pemerintah," kata mahasiswa Sosial Politik di Universitas Hasanuddin ini.

Udin mengurai semua itu dengan nada yang mantap. Suaranya membuat saya dan teman-teman lainnya terdiam sejenak memikirkan hal itu.

Tak lama kemudian, Basri juga mengangkat pernyataan bahwa taman-taman di Makassar saat malam tiba berubah menjadi tempat esek-esek. Didukung pula dengan penerangan taman yang minim (karena sering dirusaki), membuat banyak taman semakin nikmat buat muda mudi yang niatnya berbuat mesum.

Aries tiba-tiba mengeluarkan ide brilian yang mungkin sulit dipenuhi oleh Pemerintah Kota Makassar. Pemerintah diminta membuat satu taman syariah. Taman syariah ini bukan berarti harus mengandung unsur islami. Tapi fungsi dan peruntukan taman ini bisa lebih memanusiakan manusia.

Orang-orang yang berkunjung ke taman ini bisa merasa nyaman dan tentram dari aksi premanisme dan pengamen. Ada penjaga yang siap menegur secara baik-baik pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Ada tempat ibadah. Ada toilet umum yang bersih dan nyaman dan ada ruang menyusui untuk ibu-ibu dan ruang merokok khusus untuk perokok.

Dibagian lain taman juga ada sarana bermain anak dengan bunga dan pepohonan yang rindang. Penangkaran burung atau kupu-kupu dengan air mancur yang menyegarkan mata dan saat malam tiba, lampu-lampu dinyalakan agar tidak ada tempat untuk berbuat mesum. Pengunjung juga bisa mendapatkan hiburan gratis di tempat ini.

"Jika semua itu bisa dibuat oleh pemerintah, ditambah lagi dengan perubahan sikap (dilayani menjadi menjaga) oleh masyarakat, saya yakin inilah taman surga yang dirindukan di Makassar," kata Aries sambil sumbringah.

Hari itu, kami menghabiskan waktu berjam-jam mebicarakan ruang publik di Makassar. Kami akhirnya berpisah saat menara-menara masjid menyerukan adzan untuk shalat magrib.

***

Hari ini, Rabu (30/9/15) saya teringat akan rentetan peristiwa diatas. Saya mulai menuliskannya, dimulai dengan khayalan Wahyu yang tiba-tiba hinggap di sebuah taman dengan gemerci air yang segar hingga impian Aries yang ingin punya taman syariah di Makassar.

Mungkin suatu saat saat klien saya dari Jakarta kembali ke Makassar, saya akan dengan bangga memperkenalkan taman kota yang ramah dan nyaman kepada siapa saja. Suatu saat!

"Kepada anak-anak bangsa, jangalah negerimu dimulai dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak memecahkan lampu taman atau buang air di toilet umum dengan sengaja tak menyiramnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun