Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Seabad Pramoedya: Saya (Masih) Hidup di Dalam 'Rumah Kaca'

2 Februari 2025   07:00 Diperbarui: 2 Februari 2025   04:28 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah Kaca (1988) memperkenalkan pada masa pascakemerdekaan yang penuh dengan disillusionment. Di dalamnya, Pramoedya menyoroti fragmen-fragmen kehidupan politik yang kacau, terutama mengenai birokrasi dan otoritarianisme yang melanda Indonesia pascakolonial.

Rumah Kaca menggambarkan sebuah dunia yang terus berputar di dalam lingkaran kekuasaan, di mana tiap refleksi tentang diri dan negara terperangkap dalam sebuah 'rumah terbuat dari kaca.'

Sebenarnya, buku ini bisa dibaca sebagai kritik tajam terhadap kemunduran ideologi revolusi, di mana cita-cita kemerdekaan mulai dikhianati oleh kepentingan pribadi dan kekuasaan yang semakin menindas. 

Dengan pendekatan strukturalis, kita dapat menganalisis bagaimana Pramoedya menunjukkan ketegangan antara idealisme revolusi dengan realitas pascarevolusi yang penuh kekecewaan. 

Melalui tokoh-tokohnya yang mengalami konflik batin, Pramoedya menggambarkan ketidakmampuan banyak individu dalam merespons ketidakadilan baru yang muncul setelah kemerdekaan.

Saya, merayakan seabad Pramoedya dari balik 'Rumah Kaca'

Ini merupakan refleksi dari kegelisahan 'kolonialisme gaya baru', kekuasaan, dan manusia yang terjebak dalam labirin sejarah.

Di manapun, genetika kekuasaan adalah membangun 'rumah kaca' pengawasan, di mana setiap gerak-gerik rakyat selalu diawasi, dicatat, dan dikendalikan.

Rumah kaca ini bukan hanya metafora fisik, tetapi juga psikologis---sebuah sistem yang menciptakan ketakutan, kepatuhan, dan kehilangan identitas.

Protes seorang bocah sekolah dasar soal menu makanan gratis, langsung dibalas dengan sumpah serapah tanpa ampun.

Daniel Frits, ditangkap 7 Desember 2023 dan divonis 7 bulan penjara gegara unggahan di media sosial yang mengkritik kerusakan lingkungan akibat tambak udang.

Dhandy Dwi Laksono, jurnalis dan aktivis HAM ditangkap 2019 dengan tuduhan mengada-ada: Menyebarkan kebencian berbau SARA.

Kata SAFENet, sepanjang 2013 sampai 2021 terdapat 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE. Tak hanya itu, situs registrasi MA sepanjang 2011-2018 mencatat 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE.

Perkara-perkara tersebut mayoritas berkaitan dengan pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan 28 ayat (2) mengenai ujaran kebencian.

Teranyar, kasus pagar laut 'misterius' yang sudah tidak misterius. Bertemunya oligarki dan pejabat korup. Melibas siapa saja yang coba-coba berani kritis.

Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.(KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)
Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.(KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)

Rumah Kaca sebagai cermin kejatuhan ideologi

Rumah Kaca merupakan penutup dari Tetralogi Buru, namun secara tematis, buku ini melampaui sekadar cerita sejarah atau fiksi.

Dalam karya ini, Pramoedya menggambarkan bagaimana ideologi yang dahulu digadang-gadang sebagai pilar perjuangan bangsa, yakni revolusi, kini berubah menjadi sebuah sistem penindasan baru.

Setiap tokoh di dalamnya---dari para birokrat hingga pemimpin---terperangkap dalam 'rumah kaca' yang mencerminkan ketidakmampuan mereka untuk melihat atau memahami realitas secara jernih.

Mereka terperangkap dalam citra ideal yang diciptakan oleh negara, namun tak mampu keluar untuk memahami kompleksitas dunia di luar struktur kekuasaan.

Melalui Rumah Kaca, Pramoedya mengkritik keras bagaimana pemerintahan baru yang muncul setelah kemerdekaan justru membawa beban yang lebih berat, yaitu korupsi, ketidakadilan, dan kekuasaan yang berputar di sekitar pemeliharaan status quo.

Hal ini menggugah kita untuk mempertanyakan apakah perjuangan revolusi benar-benar mencapai tujuannya, atau justru menjadi alat bagi elit untuk mempertahankan dominasi mereka atas rakyat.

Memahami Rumah Kaca dengan lensa teori sosial dan politik

Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menjelaskan bagaimana kekuasaan modern beroperasi melalui mekanisme pengawasan yang halus namun efektif.

Meminjam kalimat Gramsci (1971) bahwa kekuasaan tidak hanya dilaksanakan dengan cara-cara represif (seperti militer atau hukum), tetapi juga melalui kontrol terhadap ideologi, cara berpikir, dan keyakinan sosial yang diterima oleh masyarakat.

Pramoedya, melalui Rumah Kaca, tidak hanya mengkritik kolonialisme, tetapi juga menggugat cara kekuasaan bekerja dalam bentuk apa pun.

Novel ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang represif tidak hanya menindas yang terjajah, tetapi juga merusak jiwa sang penindas.

Seperti kata pepatah tua, "Menang jadi arang, kalah jadi abu".

Selaras dengan itu, Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution (1972), kolonialisme adalah sistem yang merusak semua pihak---baik yang dijajah maupun yang menjajah.

Salah satu kekuatan utama dalam karya-karya Pramoedya adalah kemampuannya untuk menyusun narasi sejarah dengan cara yang mendalam dan humanistik. Dia melawan narasi penguasa yang menyesatkan. Mengontruksikan ulang sejarah melalui sastra kerakyatan. 

Seperti kata Hayden White (1987) bahwa sejarah bukan hanya sekadar kumpulan fakta, melainkan sebuah narasi yang dibentuk oleh pilihan bahasa, struktur, dan sudut pandang.

Pramoedya, dengan kepiawaiannya dalam menyusun plot dan karakter, menghadirkan sejarah dalam bentuk yang lebih hidup dan manusiawi, bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai proses berkelanjutan yang menghidupkan memori dan pengalaman.

Rumah kelahiran Pram merangkap Perpustakaan Pataba (PAT Anak Semua Bangsa) kini dikelola Soesilo Toer, adik Pram (Foto: jeo.kompas.com)
Rumah kelahiran Pram merangkap Perpustakaan Pataba (PAT Anak Semua Bangsa) kini dikelola Soesilo Toer, adik Pram (Foto: jeo.kompas.com)

Saya (masih) hidup di dalam Rumah Kaca modern

Di luar konteks Indonesia pascakemerdekaan, Rumah Kaca juga dapat dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial dan politik yang lebih luas.

Di dunia yang semakin terhubung ini, kita menyaksikan fenomena di mana kekuasaan dan ideologi kembali mengendalikan pemikiran individu melalui media, teknologi, dan struktur sosial yang kompleks.

Seperti orde baru yang menyelewengkan fungsi-fungsi strategis tempur komando-komando teritorial dari tingkat kodam, korem, kodim, hingga koramil, hanya untuk sekadar mengawasi tingkah-polah rakyatnya sendiri. Begitu juga dengan UU ITE. Sebelas-duabelas.

Tentang orde baru, Stuart Hall (1997) menggambarkannya secara bernas, bahwa kekuasaan dapat mengontrol representasi budaya hingga narasi sejarah.

Melalui rumah yang terbuat kaca, semua dapat dilihat, diawasi, dan dikendalikan. Freedom of speech ternyata juga masih harus menghadapi ancaman penjara.

Saya, Anda, kita semua sesungguhnya sedang terperangkap dalam ilusi kebebasan yang diciptakan oleh kekuasaan, kita juga terjebak dalam citra dunia yang dibentuk oleh narasi besar yang dikendalikan oleh kepentingan segelintir elit, oligark.

Dalam hal ini, Rumah Kaca menjadi relevan untuk dibaca kembali oleh generasi yang menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan teknologi, dan sistem politik yang seringkali lebih memperlihatkan wajah canggih daripada memperlihatkan kebenaran.

Pramoedya mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati tidak akan datang dari luar, tetapi harus dimulai dari kesadaran individu yang berani menembus kaca tersebut, untuk melihat dunia dan diri mereka dengan jujur.

Relevansi Rumah Kaca di era modern tak bisa diabaikan. Di tengah maraknya pengawasan digital dan kontrol negara atas kebebasan individu, karya Pramoedya menjadi semacam peringatan.

Apakah kita, seperti Jacques Pangemanann, telah menjadi bagian dari sistem yang kita kritik? Apakah kita terjebak dalam rumah kaca modern, di mana kebebasan hanya ilusi, dan pengawasan menjadi norma?

Melihat dunia melalui kaca yang buram dan retak

Rumah Kaca sesungguhnya adalah ajakan untuk bertanya: Apakah kita, sebagai individu dan sebagai bangsa, masih terperangkap dalam kaca yang memburamkan pandangan kita terhadap realitas sosial?

Seabad Pramoedya, bukan sekadar merayakan kata-kata dan epos kepahlawanan, tetapi juga keberanian untuk menembus dan melihat dunia dari dalam rumah kaca, yang mungkin sudah buram dan retak.

Di dalamnya, kita menemukan tidak hanya kebijakan dan sejarah, tetapi juga sebuah cermin bagi setiap kita untuk merenungkan kembali identitas, kebebasan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang tak pernah surut.

Selamat ulang tahun Mas Pram. Karyamu tetap hidup, menginspirasi, membangunkan kesadaran kolektif bangsa, dan mengingatkan kita kepada pembebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Terima kasih.

N.B.: O Iya, mas! Adikmu, Soesilo, masih setia merawat Perpustakaan Patab.

 

Referensi:

Alifah, Nabilah Nur. (27 September 2022). Safenet: Aktivis rawan jadi korban kriminalisasi UU ITE. Iip M. Aditya, Ed. Goodstats.id. https://goodstats.id/article/safenet-aktivis-rawan-jadi-korban-kriminalisasi-uu-ite-8ScxE, diakses 2 Februari 2025.

Gramsci, Antonio. (1971). Prison Notebooks. International Publishers.

Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications.

Lacan, Jacques. (1977). crits: A Selection. Norton & Company.

White, Hayden. (1987). The Content of the Form: Narrative Discourse and Historical Representation. Johns Hopkins University Press.

Zuhdi, Ibrahim. (2022) "Kritik Sosial dan Ideologi dalam Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer." Jurnal Sosial Politika, Vol. 15, No. 3.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun