Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Skandal eFishery, Pelajaran Apa yang Bisa Diambil Darinya?

31 Januari 2025   05:04 Diperbarui: 31 Januari 2025   05:04 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
eFishery sedang diselidiki karena skandal manipulasi laporan keuangan (Sumber foto: Bloomberg via The Straits Times)

Budaya Timur yang masih saya yakini sampai hari ini adalah kemampuannya untuk belajar dari kesalahan dan kecepatannya dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah. Untuk kemudian memperbaikinya demi kemajuan kolektif.

Sikap semacam itulah yang membedakan, setidaknya saya, dengan budaya barat yang lebih menekankan pada individualisme dan pencapaian pribadi belaka.

Kita semua sudah mafhum bahwa skandal keuangan eFishery yang melibatkan penggelembungan pendapatan hingga USD600 juta telah menciptakan dampak sistemik yang luas, tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tetapi juga bagi investor dan industri startup secara keseluruhan.

Namun, setiap kesalahan bahkan yang berujung pada kejatuhan sekalipun adalah kesempatan untuk memulai evaluasi-menyeluruh dan perbaikan secara kolektif baik melalui diskusi, refleksi, maupun tindakan Bersama.

Ini menggambarkan nilai kesatuan dan pembelajaran kolektif yang lebih menekankan pada kerjasama daripada kompetisi individu.

Apakah kita hanya bisa memaki dan menangisi eFishery? Jawabannya: Tidak!

Artikel ini berupaya untuk sebanyak-banyaknya menarik pelajaran dari kasus eFishery, sambil tetap mendorong dan menghormati jalannya proses investigasi dan tindakan hukum yang menyertainya.

eFishery dan pengalaman pribadi

Di artikel sebelumnya, saya memandang bahwa keberhasilan jangka panjang dalam dunia startup tidak hanya bergantung pada pertumbuhan cepat atau inovasi teknologi, tetapi juga pada integritas, tata kelola yang kuat, dan komitmen terhadap transparansi.

Kompasianer dapat berkunjung ke tautan di bawah ini:

https://www.kompasiana.com/rahardian76/67975d96ed641578e3180e92/skandal-efishery-saya-dan-perilaku-amatiran-di-perusahaan-rintisan

Saya bersama beberapa kolega pernah mempunyai mimpi untuk membangun sebuah startup yang menyediakan ekosistem terintegrasi meliputi marketplace penjualan produk-produk segar dari pasar tradisional secara business to business (B2B).

Ide sederhananya adalah mempertemukan penjual dan pembeli melalui sebuah platform digital. Mitra kami adalah para pedagang kecil di pasar tradisional. Sehingga pembeli tidak perlu repot datang ke pasar untuk membeli kebutuhan sembako, ayam potong, sayuran, dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman itulah, saya sangat memahami betapa sulitnya mengerjakan startup yang melibatkan kompleksitas transformasi teknologi di tengah rendahnya literasi mitra dan inkonsistensi pimpinan perusahaan.

Sementara, ekspektasi investor yang tinggi membawa sebuah persoalan tersendiri yang tidak kalah rumit dari sekadar membuka gerai-gerai baru di pasar-pasar tradisional yang menjadi target.

Meski saya bukan seorang CEO, terkait tahapan transformasi teknologi dan ragam model manajemen yang mengikutinya (seperti: Unfreeze-Change-Refreeze ala Lewin, 8-step model menurut Kotter, hingga technology acceptance model (TAM) milik Fred Davis) sudah cukup paham.

Ujung dari semuanya adalah Kepemimpinan. Saya ulangi...Kepemimpinan!

Founder & CEO eFishery, Gibran Huzaifah (Sumber foto: teknologi.bisnis.com)
Founder & CEO eFishery, Gibran Huzaifah (Sumber foto: teknologi.bisnis.com)

e-Fishery dan Transformasi Teknologi

Sejak medio 2010, perkembangan startup di Indonesia telah mencatatkan banyak prestasi yang signifikan, mencerminkan dinamika sektor teknologi yang terus berkembang di Asia Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjadi rumah bagi banyak perusahaan rintisan unicorn dan decacorn yang dikenal tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga di dunia internasional.

Transformasi ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk digitalisasi, kemajuan infrastruktur teknologi, serta peningkatan daya beli konsumen.

Meskipun teknologi yang ditawarkan oleh eFishery sangat bermanfaat bagi efisiensi operasional, adopsi teknologi oleh pembudidaya dan petambak ikan, terutama di daerah perdesaan dan daerah perikanan tradisional, menghadapi sejumlah hambatan.

Beberapa faktor utama yang menghambat adopsi teknologi ini adalah:

1. Resistensi terhadap Perubahan

Salah satu faktor utama dalam adopsi teknologi adalah sikap individu terhadap perubahan (Ajzen, 1991).

Banyak pembudidaya dan petambak yang sudah terbiasa dengan metode konvensional merasa ragu atau enggan untuk beralih ke sistem otomatis yang mereka anggap rumit atau tidak dapat diandalkan.

Senada dengan pandangan itu, adopsi teknologi juga dipengaruhi oleh dua faktor: persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) dan persepsi kegunaan (perceived usefulness).

Meskipun eFishery dapat mengatasi masalah penggunaan pakan secara manual, petani mungkin merasa bahwa teknologi ini sulit untuk digunakan atau tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan.

Akibatnya, teknologi ini tidak diadopsi secara luas, meskipun ada potensi yang besar untuk peningkatan produktivitas.

Perceived ease of use (PEOU) dan perceived usefulness (PU) yang rendah terhadap teknologi baru dapat menghambat proses adopsi ini (Davis, 1989).

2. Keterbatasan Pengetahuan dan Keahlian Teknologi

Adopsi teknologi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan keterampilan pengguna terhadap teknologi tersebut.

Banyak pembudidaya ikan di Indonesia, terutama yang berada di daerah terpencil, tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan teknologi yang cukup untuk mengoperasikan sistem seperti eFishery.

Hal ini diperparah dengan adanya digital divide, yaitu kesenjangan antara mereka yang memiliki akses ke teknologi dan mereka yang tidak (Van Dijk, 2020).

3. Biaya dan Aksesibilitas

Meskipun eFishery dapat menawarkan efisiensi dalam jangka panjang, biaya investasi awal untuk mengadopsi teknologi ini bisa menjadi hambatan besar, terutama bagi petani kecil atau yang berada di wilayah dengan akses keuangan terbatas.

Meski diklaim lebih efisien, diketahui bahwa eFeeder versi terbaru dibanderol seharga Rp8.688.900/unit (Termasuk pajak). Jika menggunakan sistem sewa, harganya Rp150.000/unit/bulan (untuk ikan) dan Rp715.000/unit/bulan (untuk udang).

Sebuah penelitian membuktikan bahwa faktor keuangan seringkali menjadi penghalang utama dalam penerimaan teknologi baru, terutama ketika pembudidaya dan petambak ikan tidak yakin dengan keuntungan yang akan diperoleh (Lpez-Nicols et al., 2008).

eFishery Bantu Pembudidaya Milenial Asal Cirebon Raup Untung Hingga 3 Kali Lipat. (Sumber: eFishery via kompas.com) 
eFishery Bantu Pembudidaya Milenial Asal Cirebon Raup Untung Hingga 3 Kali Lipat. (Sumber: eFishery via kompas.com) 

4. Keterbatasan Infrastruktur

Masalah infrastruktur juga menjadi faktor penting dalam kesulitan adopsi teknologi di sektor perikanan.

Beberapa daerah di Indonesia mungkin tidak memiliki jaringan internet yang stabil atau tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung sistem berbasis IoT.

Tanpa infrastruktur yang mendukung, adopsi teknologi di masyarakat sulit untuk berkembang (Venkatesh et al., 2003).

5. Dukungan yang luas dan komitmen pada perubahan

Perubahan dalam cara kerja yang diterapkan oleh eFishery membutuhkan adaptasi yang signifikan dari para pembudidaya dan petambak.

Setiap implementasi teknologi memerlukan komunikasi yang baik, pelatihan, dan penyuluhan agar perubahan dapat diterima dengan baik.

Banyak petani ikan yang enggan beralih dari metode tradisional ke teknologi baru, terutama jika mereka merasa tidak mendapat dukungan yang cukup dari perusahaan atau pemerintah.

Setiap perubahan membutuhkan dukungan seluas-luasnya, baik dari petani itu sendiri, perusahaan, maupun pemerintah sebagai regulator.

Secara konsep, eFishery sebagai sebuah startup teknologi akuakultur pertama di Asia sudah tidak diragukan lagi. Cukup banyak testimoni positif di selasar laman resmi miliknya.

Jenis produk dan layanan eFishery juga sangat menarik: eFeeder (Alat Pemberi Pakan Otomatis); eFisheryKu (Aplikasi untuk Pembudidaya Ikan); eFarm (Aplikasi untuk Pembudidaya Udang); eFresh (Aplikasi untuk Pembeli Ikan dalam Jumlah Besar); dan Kabayan (Layanan Penyediaan Akses ke Pendanaan).

Bahkan sudah memiliki rencana ekspansi ke luar negeri, seperti Vietnam, Thailand, China, India, Bangladesh, Malaysia, Jepang, Filipina dan Korea Selatan.

Namun, dari sekian banyak capaian tersebut ada beberapa hal penting untuk dipelajari Bersama:

1. Pentingnya Tata Kelola Perusahaan

Salah satu pelajaran utama dari kasus skandal keuangan eFishery ini adalah pentingnya tata kelola perusahaan yang baik.

eFishery menunjukkan bahwa mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan integritas dan transparansi dapat berujung pada kehancuran.

Menurut ahli-ahli bisnis, integritas harus menjadi prioritas utama dalam setiap strategi pertumbuhan. Perusahaan harus dikelola dengan cara yang transparan dan akuntabel untuk menjaga kepercayaan stakeholder.

2. Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelaporan Keuangan

Skandal ini menyoroti kebutuhan untuk akuntabilitas dan transparansi dalam pelaporan keuangan.

eFishery dilaporkan memiliki dua versi laporan keuangan---satu untuk internal dan satu lagi untuk eksternal---yang menunjukkan perbedaan signifikan dalam angka pendapatan dan laba.

Ini menciptakan keraguan tentang keandalan informasi keuangan yang disajikan kepada investor. Perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak terkait, termasuk investor, dalam pengambilan keputusan mereka.

3. Dampak Sistemik pada Ekosistem Startup

Dampak dari skandal ini tidak hanya dirasakan oleh eFishery tetapi juga oleh ekosistem startup secara keseluruhan.

Banyak venture capital (VC) kini menjadi lebih selektif dalam memberikan pendanaan, mengingat kekhawatiran akan terulangnya permasalahan serupa.

Ini menunjukkan bahwa reputasi perusahaan dapat mempengaruhi keputusan investasi di seluruh sektor. Risiko di satu entitas dapat menyebar dan mempengaruhi seluruh sistem.

4. Etika dan Kepemimpinan dalam Startup

Kasus eFishery juga menyoroti pentingnya etika dan kepemimpinan dalam sebuah perusahaan rintisan. Pendiri dan tim manajemen harus mematuhi standar etika tinggi dan menghindari praktik-praktik curang untuk mencapai target. 

Pemimpin harus menjadi teladan dalam perilaku etis, yang pada gilirannya akan membentuk budaya organisasi yang positif.

5. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Startup

Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) sering kali terlupakan dalam dinamika startup yang berfokus pada pertumbuhan cepat dan pencapaian keuntungan.

Namun, tanggung jawab sosial yang baik dapat membangun reputasi yang positif, memperkuat loyalitas pelanggan, dan menjaga keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang.

Ketika sebuah perusahaan gagal memenuhi tanggung jawab sosialnya, hal itu dapat berimbas pada dampak negatif yang luas, termasuk kerugian bagi pegawai yang tidak terlibat langsung dalam skandal.

Pada kasus eFishery, ada pelajaran penting bahwa perusahaan harus memiliki kebijakan yang melibatkan seluruh karyawan dan stakeholder dalam upaya CSR, serta melindungi mereka dari dampak buruk yang terjadi akibat tindakan perusahaan yang tidak etis.

Alat eFeeder (Sumber foto: eFishery Impact Report 2023)
Alat eFeeder (Sumber foto: eFishery Impact Report 2023)

Kesimpulan

Skandal keuangan eFishery merupakan pengingat bahwa keberhasilan jangka panjang dalam dunia startup tidak hanya bergantung pada pertumbuhan cepat atau inovasi teknologi, tetapi juga pada integritas, tata kelola yang kuat, dan komitmen terhadap transparansi.

Perusahaan startup perlu menjaga keseimbangan antara perburuan keuntungan dengan keberlanjutan yang berbasis pada nilai-nilai etika.

Dengan memahami pelajaran-pelajaran ini, diharapkan para pemimpin startup dapat membangun fondasi yang lebih kuat untuk masa depan industri teknologi di Indonesia. Semoga.*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun