Mohon tunggu...
Rahadi W. Pandoyo
Rahadi W. Pandoyo Mohon Tunggu... -

Dokter Spesialis Paru di RSUD Dr. HM Rabain, Muara Enim, Sumatera Selatan. Penulis Novel Profesi "The Doctor" (Mazola, Januari 2015)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Setelah Judicial Review Ditolak di Mahkamah Konstitusi, Apa yang Sebaiknya Dilakukan Para Dokter?

9 Desember 2015   13:48 Diperbarui: 9 Desember 2015   20:25 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) telah mengajukan Judicial Review terhadap UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan hasilnya kita ketahui bersama pada hari Senin 7 Desember 2015 kemarin: DITOLAK SELURUHNYA oleh Mahkamah Konstitusi.

Kalau berminat membaca secara lengkap amar putusannya ada di sini: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/122_PUU-XII_2014.pdf

[caption caption="Screenshot dari ilustrasi berita di www.mahkamahkonstitusi.go.id"][/caption]

Iya, ditolak. Dan ini yang kedua kalinya gugatan dokter ditolak oleh MK. Sebelumnya, pada tanggal 20 April 2015 yang lalu, judicial review yang diajukan oleh Dokter Indonesia Bersatu (DIB) berkaitan dengan pasal 66 ayat 3 UU Praktik Kedokteran juga ditolak oleh MK. Betul-betul tahun 2015 ini menjadi tahun kelabu bagi perjuangan dokter di Mahkamah Konstitusi.

Note:  http://health.kompas.com/read/2015/04/22/081500823/IDI.Menyayangkan.Putusan.Mahkamah.Konstitusi

Dokter pernah sekaliii... saja berhasil menggolkan gugatan di MK. Tahun 2007, judicial review yang diajukan oleh dr. Anny Isfandyarie, dkk terhadap sebagian pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 diterima MK dengan menghapuskan pasal ancaman penjara bagi dokter terkait SIP dan STR.

Note (lagi):  http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol16974/pasal-ancaman-penjara-bagi-dokter-dihapuskan-mk

Walaupun (lucunya) beberapa tahun kemudian masih ada hakim Mahkamah Agung menggunakan pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh MK tersebut sebagai pertimbangan keputusannya.

Jadi, patutlah ini dijadikan pelajaran, bahwa Mahkamah Konstitusi tidaklah selalu menjadi tempat yang tepat untuk memperjuangkan kepentingan dokter.
Sebenarnya itu bukanlah hal yang aneh. Tentang Mahkamah Konstitusi, kita harus menyadari satu hal pokok:
Bahwa suatu UU baru akan dibatalkan oleh MK bila nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UUD. Nah, kelihatannya dalam UU Pendidikan Kedokteran memang tidak ada pasal UUD yang dilanggar.

MK tidak bisa mengadili kebijakan (policy) pemerintah. Bila pemerintah bisa menjelaskan bahwa kebijakannya sesuai kepentingan rakyat (sesuai amanat UUD) maka MK tidak bisa membatalkannya, walaupun kebijakan itu dirasa tidak bijak bagi dokter.

Sudut 'kepentingan dokter' tidak akan pernah menjadi poin keprihatinan hakim MK. Itu perlu dicamkan betul sebelum mengajukan judicial review ke MK.

Tapi UU bukanlah kitab suci, dan MK bukanlah tuhan. UU Pendidikan Kedokteran masih memungkinkan untuk direvisi. Yang berwenang merevisi adalah pemerintah dan DPR. Para dokter sekalian (bersama IDI, DIB, dan siapa saja) masih bisa menyampaikan aspirasi pada pemerintah dan DPR, syukur-syukur suatu saat pemerintah bisa berbaik hati mengajak kita duduk bersama membicarakan hal ini.

TERUS APA YANG HARUS KITA LAKUKAN SEKARANG?

Tentang uji kompetensi dokter, ke depannya masih akan dilaksanakan oleh fakultas kedokteran. Baiklah, itu harus dijalani oleh adik-adik mahasiswa calon dokter.

Walaupun demikian, UU mengamanatkan fakultas kedokteran untuk berkoordinasi dengan organisasi profesi. IDI dan semua perhimpunan di bawahnya harus menggunakan kesempatan ini untuk memberikan masukan sebaik-baiknya terhadap penyelenggara UKDI, dan pihak penyelenggara hendaklah bersikap terbuka, serta tidak bersikap seperti 'menara gading' yang tidak peduli terhadap kondisi dunia kedokteran di lapangan sehari-hari.

Tentang Dokter Layanan Primer (DLP), nah ini yang masih bakalan alot.

Muktamar IDI sudah jelas-jelas menolak rencana keberadaan DLP. Artinya, jelas bahwa 'sebagian besar' dokter menolaknya. Masalahnya, ada 'sebagian kecil' dokter di Indonesia menerima keberadaan DLP, bahkan menjadi pemrakarsanya. Masalahnya lagi, yang 'sebagian kecil' ini adalah dokter-dokter yang menduduki jabatan penting di pemerintahan (c.q. Kemenkes RI) serta pejabat-pejabat di fakultas kedokteran.

Masalah selalu akan muncul ketika 'sebagian kecil' orang (TAPI BERKUASA) berhadapan dengan 'sebagian besar' orang yang tidak punya kekuasaan apa-apa, ditambah lagi yang jumlahnya besar ini juga tidak kompak dan tidak terorganisasi dengan baik.

Bisa kita lihat akan ke mana arahnya.

Walaupun ada penolakan dari 'sebagian besar' dokter, pemerintah tidak akan menyerah begitu saja. Kegiatan SOSIALISASI terkait DLP akan terus digalakkan pemerintah, dengan sasaran langsung ke individu-individu dokternya, bila perlu dengan meloncati IDI sebagai organisasi profesinya.
Rencana SOSIALISASI yang akan diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya hari Senin kemarin (yang kemudian dibatalkan) adalah salah satu contohnya.

Note: mengenai rencana kehadiran perwakilan IDI seperti tertulis dalam undangan, dr. Daeng M Faqih, saya juga menerima kabar bahwa beliau menolak menghadiri acara sosialisasi tersebut.

Seperti angin-puting beliung, atau bahkan gelombang tsunami, keberadaan DLP yang diprakarsai dan didukung oleh pemerintah yang punya dana dan kekuasaan yang besar ini tidak akan mampu kita bendung.

Kita bisa apa?

Demo (lagi)? Turun ke jalan? Bisa dicoba. Tapi jangan berharap banyak.

Sebelum turun ke jalan, mari kita cermati dulu, bagaimana 'isi kepala' pemerintah yang memrakarsai DLP ini.

Kalau boleh saya merangkumnya dari keterangan para ahli yang diajukan pemerintah dalam persidangan, ada 2 poin penting, yang sepertinya membuat pemerintah memenangkan hati para hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu:

(1) Bahwa program ini ditujukan untuk meningkatkan kompetensi dokter serta kualitas layanan kesehatan bagi rakyat.

(2) Program ini akan meningkatkan 'pride' dan kesejahteraan dokter umum karena disetarakan dengan dokter spesialis.

Jelaslah, kedua poin itu hampir tak mungkin ditolak oleh hakim. Keberatan yang disampaikan pemohon judicial review dari PDUI gagal mementahkan 2 poin tersebut. Tentu saja, karena 'kepentingan dokter' semata tidak akan menjadi keprihatinan hakim MK.

Kalau para dokter saat ini merasa didzolimi oleh adanya program DLP yang diprakarsai pemerintah, marilah kita berangkat dari kedua poin tersebut.

Kedua poin itu adalah KEKUATAN tapi sekaligus juga KELEMAHAN dari pihak pemerintah dalam memprakarsai Dokter Layanan Primer ini.

Mari kita kupas.

Poin 1. Ini adalah tujuan yang mulia. Jelas.

Tidak satupun dokter akan menolak poin ini. Meningkatkan kualitas layanan kesehatan, itu harus. Meningkatkan kompetensi? Tentu semua dokter mau.

Nah, sekarang, mari kita 'menagih' pada pemerintah. Bila tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas layanan kepada rakyat, artinya itu untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat berarti adalah KEPENTINGAN NEGARA. Betul, tidak?!

Kalau program ini adalah kepentingan negara, bukan kepentingan dokter semata, maka semuanya HARUS DIBIAYAI NEGARA.

Ini penting dicamkan oleh teman-teman dokter umum yang berminat untuk mengikuti pendidikan spesialis DLP ini. Melihat komentar-komentar di media sosial, saya lihat yang mendukung adanya DLP bukan hanya pejabat pemerintah dan fakultas kedokteran, tapi juga sebagian teman-teman dokter umum, walaupun tahu bahwa IDI dan PDUI menolaknya.

Baiklah, silakan saja. Tidak ada jeleknya menambah ilmu dan meningkatkan kompetensi. Itu baik. Bahkan tujuannya boleh dikata sangat mulia.

Tapi, bila teman-teman kemudian disodori kewajiban membayar sekian dan sekian. Kalau biayanya sampai merobohkan anggaran belanja rumah tangga, pikir lagi baik-baik. Kalau teman-teman memang punya cukup uang untuk melanjutkan pendidikan, pertimbangkan sebaik-baiknya, apakah layak menghabiskan waktu sekian tahun untuk menempuh pendidikan DLP, atau sekalian saja ikut program pendidikan dokter spesialis yang sudah established sejak lama.

Lulus sebagai dokter spesialis sudah jelas, bisa kita ukur cost-benefit-nya berdasarkan dana pendidikan yang kita punya. Sedangkan lulus sebagai dokter DLP? Wallahu a'lam. Teman-teman harus siap menjadi pionir.

Kecuali bila program pendidikan DLP DIBIAYAI SEPENUHNYA oleh negara. Saya kira tidak masalah, silakan mengikuti bila berminat.

Poin 2. Tentang meningkatkan pride dokter umum. Baguslah. Katanya DLP ini bakal SETARA DENGAN SPESIALIS.

Walaupun masih ada pertanyaan mengganjal dalam hati saya. Mengapa dokter umum harus kurang pride-nya dibanding spesialis? Saya sulit mengerti, karena selama menjadi dokter umum saya tidak pernah kekurangan pride. Hal ini baru bisa dijelaskan oleh dokter umum yang pride-nya kurang.

Bagi teman-teman dokter umum yang ingin mengejar pride untuk disetarakan dengan spesialis, silakan saja. Walau kalau boleh saya memberi saran, pikirkan lagi baik-baik. Pride yang akan didapat itu asli atau hanya semu?

Cermati dulu kurikulum pendidikan DLP yang disodorkan pemerintah dan fakultas kedokteran. Bila dengan ilmu yang didapat dari kurikulum itu teman-teman bisa merasa lebih pride, silakan ditempuh. Tapi bila ragu-ragu, sebaiknya ambil pendidikan spesialis yang sudah PASTI akan meningkatkan pride anda.

DISETARAKAN DENGAN SPESIALIS itu maksudnya bagaimana?

Ingat, ini adalah kata-kata yang sama sekali tidak ada jaminannya.

Dalam keanggotaan IDI, dokter umum SUDAH SETARA dengan dokter spesialis. Hak dan kewajibannya sama, hak suaranya dalam muktamar juga sama.

Dari penjelasan para AHLI dari pemerintah selama sidang judicial review, saya meraba, yang bisa dipastikan SETARA antara pendidikan DLP dengan dokter spesialis adalah setara dalam hal LAMA PENDIDIKAN. Dan saya khawatir, setara juga dalam hal BIAYANYA.

Bila Pendidikan DLP harus ditempuh di Fakultas Kedokteran sebagaimana Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), maka program ini akan terjebak juga dalam KOMERSIALISASI PENDIDIKAN, seperti yang dialami PPDS saat ini. Sudah siapkah teman-teman dokter umum menyisihkan dana besar untuk membiayai pendidikan DLP-nya?

Begitulah. Hmm... kembali ke soal KESETARAAN. Saat ini, yang jelas tidak setara antara dokter umum dengan dokter spesialis itu adalah PENGHASILAN-nya. Sudah tahu semua, kan?!

Dokter spesialis bisa diberikan tarif jasa medis yang lebih besar daripada dokter umum, pun seandainya pelayanan medis dan kualitas hasil yang diberikan sama, tetap begitu hukumnya. Di ruang praktek pribadi, dokter spesialis lebih pede untuk mengutip bayaran lebih tinggi, dan itu diterima sebagai hal yang wajar oleh masyarakat. Di beberapa daerah, PNS dokter spesialis juga diberikan tunjangan kinerja di luar gaji yang jauh lebih besar dibanding dokter umum.

So, kesetaraan yang sebenarnya itu hanyalah KESETARAAN PENGHASILAN. Di luar itu, HANYALAH KESETARAAN SEMU. Pemerintah bisa bilang bahwa DLP nanti diberikan penghargaan setara spesialis. Penghargaan apa?

Ingat lho ya, pejabat pemerintah punya sejarah panjang dalam menebar omong kosong.

Jadi bagi teman-teman yang berminat mengikuti pendidikan DLP, silakan wait and see, kesetaraan penghasilan seperti apa yang disediakan pemerintah. Layakkah itu dengan susah-payahnya menempuh pendidikan selama sekian tahun, apalagi kalau dengan biaya sendiri. Apakah di praktek pribadi nantinya DLP juga akan direstui masyarakat bila hendak mengutip bayaran lebih tinggi dari dokter umum biasa. Pikir lagi dan pikir.

Sekarang ini, penolakan IDI (sebagai organisasi) tidaklah terlalu berarti. Bola justru ada di tangan anggota-anggotanya. Bila setelah usainya judicial review di MK ini kemudian berbondong-bondong dokter umum kita memasuki program pendidikan DLP yang digelar fakultas-fakultas kedokteran... yaaa sudah. Kalau anggotanya sendiri saja memang suka, untuk apa IDI merepotkan diri.

Tapi ya itu, kalau kelak ada kericuhan, kalau teman-teman lulusan DLP ini merasa kecewa, merasa didzolimi, merasa kesetaraannya dengan spesialis tidak tercapai, dll dll... ya jangan mengadu ke IDI. Itu pilihan sendiri, tanggung sendiri.

Di samping itu, bila sebagian besar anggota IDI memang menolak, dan semuanya enggan mengikuti program DLP (kecuali dibiayai penuh oleh negara), maka pemerintah akan kerepotan sendiri, dan UU Dikdok yang dipertahankan MK dan pemerintah itu tidak akan berarti apa-apa lagi.

Program DLP (seperti banyak program lain yang pernah dicanangkan oleh pemerintah) akan melempem, lalu lenyap terhembus angin waktu.

Tergantung pada kita sendiri.

IDI HARUS BAGAIMANA?

Menurut saya, yang bukan siapa-siapa ini, IDI harus mencermati kedua poin di atas yang membuat pemerintah menang di MK.

Terhadap poin 1, IDI harus mampu membuktikan bahwa peningkatan kompetensi dokter dan kualitas layanan kesehatan tidak semata-mata tergantung pada program DLP pemerintah.

IDi harus membuktikan, bahwa organisasi profesi bisa berperan besar dalam meningkatkan kompetensi dokter. IDI harus bisa membuktikan bahwa kata-kata para AHLI pemerintah dalam persidangan MK yang menyatakan bahwa peningkatan kompetensi DLP tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme P2KB di organisasi profesi, melainkan harus melalui pendidikan yang terstruktur di fakultas kedokteran, itu SALAH.

IDI, kalau mau, bisa memprakarsai pendidikan berkelanjutan bagi anggotanya, dalam bentuk kegiatan yang mudah diakses semua anggota dan BIAYANYA TERJANGKAU.

Bila IDI, dalam kegiatan peningkatan kompetensi tersebut harus mengutip biaya besar dari anggota, maka sejatinya IDI tidak berbeda dengan pemerintah dan pejabat fakultas kedokteran, dan kata-kata 'penolakan terhadap DLP' di muktamar kemarin akan jadi omong kosong belaka.

Kita semua tahu, kualitas pelayanan primer di Indonesia BUKAN HANYA disebabkan oleh kurangnya kompetensi dokter umum yang bekerja di fasilitas layanan primer (c.q. Puskesmas), tapi juga diakibatkan SANGAT KURANGNYA FASILITAS PENDUKUNG PELAYANAN. Dokter bukan dukun. Dokter tidak bisa bekerja sendiri. Dia perlu alat-alat, obat-obatan, paramedis dan tenaga pendukung lainnya. Dan semuanya itu TIDAK PERNAH DICUKUPI oleh pemerintah, dengan alasan anggaran kesehatan yang sangat minim.

SEMUA DOKTER TAHU ITU. Mungkin, yang tidak tahu hanyalah dokter-dokter yang saat ini menjadi pejabat di Kementerian Kesehatan RI. Jadi, menjadi tugas IDI dan semua dokter untuk mengingatkan dan membuka mata beliau-beliau tersebut.

Poin 2. Tentang 'pride' seorang dokter. Marilah kita bersama-sama membangun pride tanpa harus menjadi dokter spesialis.

Pesan buat dokter spesialis :
- Jangan bersikap arogan terhadap dokter umum
- Jangan mengeluarkan kata-kata melecehkan, meremehkan, dan menjatuhkan mental dokter umum
- Jangan membully
- Jangan serakah dalam pembagian jasa medis
- Bimbinglah dokter umum sehingga bisa meningkatkan kemampuannya
- Dokter umum adalah 'saudara kandung' juga, buatlah mereka 'pride' terhadap profesinya, tidak menjadi rendah diri gara-gara arogansimu

Pesan buat dokter umum :
- Jangan malas belajar, lulus sekolah dokter bukan waktunya berhenti belajar
- Rajin ikuti kegiatan ilmiah yang diadakan organisasi profesi atau institusi tempat bekerja
- Pride-mu terletak pada kemampuanmu menolong orang, bukan pada penghasilanmu
- Jangan rendah diri, kalau kamu rajin belajar, banyak pengalaman, bahkan profesor pun akan kalah pintar denganmu, dan masyarakat akan menghargai kemampuanmu

Pesan buat IDI :
Tolong perjuangkan nasib dan kesejahteraan dokter. Betapa banyak dokter digaji di bawah UMK. Betapa sering dokter disunat dan terlambat dibayar jasa medisnya. Jangan diam saja, Bung!

Akhirnya... ah, sudahlah. Begitu saja.

Selamat berjuang, Sahabat-sahabat.

Dari saya yang bukan siapa-siapa,

Rahadi Widodo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun