Sekarang ini, penolakan IDI (sebagai organisasi) tidaklah terlalu berarti. Bola justru ada di tangan anggota-anggotanya. Bila setelah usainya judicial review di MK ini kemudian berbondong-bondong dokter umum kita memasuki program pendidikan DLP yang digelar fakultas-fakultas kedokteran... yaaa sudah. Kalau anggotanya sendiri saja memang suka, untuk apa IDI merepotkan diri.
Tapi ya itu, kalau kelak ada kericuhan, kalau teman-teman lulusan DLP ini merasa kecewa, merasa didzolimi, merasa kesetaraannya dengan spesialis tidak tercapai, dll dll... ya jangan mengadu ke IDI. Itu pilihan sendiri, tanggung sendiri.
Di samping itu, bila sebagian besar anggota IDI memang menolak, dan semuanya enggan mengikuti program DLP (kecuali dibiayai penuh oleh negara), maka pemerintah akan kerepotan sendiri, dan UU Dikdok yang dipertahankan MK dan pemerintah itu tidak akan berarti apa-apa lagi.
Program DLP (seperti banyak program lain yang pernah dicanangkan oleh pemerintah) akan melempem, lalu lenyap terhembus angin waktu.
Tergantung pada kita sendiri.
IDI HARUS BAGAIMANA?
Menurut saya, yang bukan siapa-siapa ini, IDI harus mencermati kedua poin di atas yang membuat pemerintah menang di MK.
Terhadap poin 1, IDI harus mampu membuktikan bahwa peningkatan kompetensi dokter dan kualitas layanan kesehatan tidak semata-mata tergantung pada program DLP pemerintah.
IDi harus membuktikan, bahwa organisasi profesi bisa berperan besar dalam meningkatkan kompetensi dokter. IDI harus bisa membuktikan bahwa kata-kata para AHLI pemerintah dalam persidangan MK yang menyatakan bahwa peningkatan kompetensi DLP tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme P2KB di organisasi profesi, melainkan harus melalui pendidikan yang terstruktur di fakultas kedokteran, itu SALAH.
IDI, kalau mau, bisa memprakarsai pendidikan berkelanjutan bagi anggotanya, dalam bentuk kegiatan yang mudah diakses semua anggota dan BIAYANYA TERJANGKAU.
Bila IDI, dalam kegiatan peningkatan kompetensi tersebut harus mengutip biaya besar dari anggota, maka sejatinya IDI tidak berbeda dengan pemerintah dan pejabat fakultas kedokteran, dan kata-kata 'penolakan terhadap DLP' di muktamar kemarin akan jadi omong kosong belaka.