Huruf-huruf dalam nama PRASA yang diberikan sang Jendral merupakan titik penunjuk menuju titik terang  asal usul Prasa. Bahkan Sang Jenderal juga sengaja "mengarahkan" Prasa memperoleh pekerjaan yang berkelindan dengan kampung adat tempatnya berasal. Bukankah ini niat baik dari hati baik sang Jenderal?
Menurut Om Yon, ide PRASA : Operasai Tanpa Nama, terpantik saat terjadi perdebatan tentang HAM. Isu pelanggaran HAM dalam novel, mengingatkan pada sekian banyak  pelanggaran HAM yang tak pernah selesai. G 30 S/ PKI, Malari, Penculikan aktivis 98, Tragedi Semanggi, dan lain sebagainya.
Yon Bayu mengajak untuk merenung. Apakah  aksi-aksi kelam itu tak sebaiknya diungkap ataukah didiamkan saja?
Jujurly, aku kesulitan menjawabnya.
Fenomena Trah-trah Rekayasa & Manipulatif
Kita pasti tahu, khususnya di tanah Jawa di sekeliling kita banyak tempat dikeramatkan. Seperti pesarean atau pemakaman. Di dalam novel Kelir, tempat keramat itu diilustrasikan dalam pemakaman Ki Lanang Alas di Gunung Candil, Desa Wangkal. Â
Pesarean itu dibangun oleh Kromo / Ki Andong atas instruksi Jenderal dari Jakarta. Meski Kromo kebingunan, namun dia tak kuasa menolak. Pesarean "tanpa jasad" Ki Lanang Alas  itu pun tercipta dan dikeramatkan.
 Legitimasi ada "orang suci" yang mendapat karomah. Selanjutnya dijadikan tempat "ngalap berkah" banyak orang. Â
Ditengarai fenomena seperti itu banyak terjadi. Dibuatlah cerita-cerita hingga rekayasa "trah" demi nama dan kepentingan kekuasaan. Trah / nasab dimanipulasi sedemikian rupa.Â
 Mudah dilakukan, karena tak ada organisasi pencatat. Semacam  (bukan membandingkan) Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!