Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dramaturgi Politik dalam Novel Prasa & Kelir Karya Yon Bayu Wahyono

14 November 2023   08:28 Diperbarui: 14 November 2023   08:54 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel PRASA dan KELIR karya Yon Bayu Wahyono. DOKPRI

"... isu pelanggaran HAM dalam kontek politik hanya sebatas buih yang hilang begitu saja manakala kepentingan politik si 'peniup terompetnya' sudah terpenuhi."  

Satu kalimat yang kukutip dari orasi pertanggungjawaban penulis novel Prasa "Operasi Tanpa Nama" (selanjutnya kusebut Prasa saja), karya Yon Bayu Wahyono di atas menggambarkan tentang perdebatan HAM/ Hak Asasi Manusia, sebagai napas ide terciptanya novel yang diluncurkan pada Minggu 29 Oktober 2023 lalu itu.

Sengaja mengutip bagian isu politik yang diangkat dalam novel, mengingat aku mengenal penulisnya lekat dengan label penulis tema politik pada masa aktif di kompasiana. Kompasiana Award pada tahun 2017 yang diraihnya dari Kompasiana, mengukuhkan 'legitimasi' itu.  

Dua novel karya yang diluncurkan itu, sarat isu. Bukan hanya politik, namun juga isu seperti kemanusiaan, spiritual Jawa dan romansa.

Setelah membaca 2 novelnya Prasa & Kelir, nampaknya sang penulis lekat dengan sisi napas politik dalam karya fiksinya. Dan itulah alasan utama, terciptanya "dongeng politik" yang diresahkannya dan tertuang dalam novel-novel itu.

Isu politik tersebut berkelindan dengan isu lain, yang diangkat seperti spiritual Jawa lekat pada novel Kelir. Dimana banyak bercerita tentang agama asli Jawa, yakni agama Budi, Kapitayan, Kejawen. Bercerita tentang Sabdopalon dan Nayagenggong, panglima masa Kerajaan Majaphit masa Brawijaya V atau Bhre Kertabumi yang menolak memeluk agama Abrahamik atau agama samawi.

Disinggung Sabdopalon dan Nayagenggong sebagai personifikasi Semar,  sosok yang dikenal selama ini sebagai sosok mitologi. Aku pernah baca, di beberapa kalangan, sosok Semar ini dipercaya merupakan "manusia langit", manusia pilihan. Pertanggungjawaban benar/ tidaknya, tentu butuh penelusuran mendalam.  

Betewe bagi yang belum tahu, menulis novel/ fiksi bukan sesuatu yang baru bagi Yon Bayu, karena sudah dilakukan bertahun lampau selepas dari wartawan.

Oleh karenanya, perlulah aku ucapin selamat atas peluncuran 2 novel terbitan Teras Budaya Jakarta ini. Salut! Luar biasa, bagiku yang tak cukup kuat, stabil menjaga energi dalam menulis panjang "berbab-bab" seperti novel. 

Kalau cerpen, puisi seeh ayoo heheee seperti masa 8-10 tahun dulu bikin banyak buku fiksi keroyokan bareng komunitas Fiksiana Community di Kompasiana.

Apresiasi untuk Acara Peluncuran dan Bedah Novel

Momentum peluncuran bedah novel yang mengupas 2 novel sekaligus, Prasa & Kelir karya Yon Bayu digelar di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Sekilas acara peluncuran bisa ditonton di video reels di bawah ini.

Tempat yang tepat bagi karya-karya sastra seperti novel karya Yon Bayu. Maka tak kulewatkan mejeng di mural sang penyair 'Binatang Jalang', Chairil Anwar.

Mejeng di sini aah. DOKPRI
Mejeng di sini aah. DOKPRI

Tak heran, sang penulis terlihat "hepi", 2 karyanya "tembus" mengisi rak-rak koleksi di tempat yang prestisius. Pengakuan penulis, impian lama yang diidamkannya.  Paling tidak sudah memberikan sumbangsih karya di tempat orang-orang membaca karya sastra.

Aku turut senang bisa turut hadir diantara teman-teman penulis, kompasianer, menjadi saksi dalam peluncuran 2 novel Yon Bayu.  Jauh hari, sekitar 2 minggu sebelum acara, saya sempat diundang juga acara pre launching novel itu di sebuah caf kawasan Kota Bogor.

Nyimpang sedikit. TIM salah satu tempat favorit dulu. Aku datang ke TIM versi baru pasca revitalisasi, masih terhitung jari. Ke ruang auditorium, tempat acara peluncuran dan bedah novel Prasa dan Kelir, baru 2 kali.

Kunjungan pertama sekitar bulan Juli 2023, hadir dalam acara pertemuan para penulis cerita. Banyak kenangan di tempat ini, sebelum revitalisasi. Menonton teater dan film, bertemu kawan-kawan lama masa kuliah, sampai sekadar "nongkrong" menikmati suasana sambil jajan "Babad Gongso Semarang" plus segarnya es beras kencur di barisan tengah deretan warung, yang dulu ada di bagian kanan area TIM.

Kembali ke laptop. Selaiknya sebuah acara bedah novel, dihadirkan sosok pembedah, yakni Sunu Wasono dan Isson Khairul. Sunu Wasono mantan pengajar dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Sedangkan Bang Isson Khairul ini sosok yang lama kukenal lewat Kompasiana. Dia jurnalis senior yang lama berkecimpung di dunia jurnalistik sekaligus pemerhati sastra.  

(KIRI) Isson Khairul jurnalis senior dan pemerhati sastra pembedah Novel PRASA. (KANAN) Sunu Wasono pembedah Novel KELIR. Foto FOKPRI
(KIRI) Isson Khairul jurnalis senior dan pemerhati sastra pembedah Novel PRASA. (KANAN) Sunu Wasono pembedah Novel KELIR. Foto FOKPRI

Apresiasi tersendiri buat dihadirkannya pembacaan nukilan kedua novel oleh Retno Budiningsih dan Devie Matahari. Pembacaan nukilan yang ekspresif penuh penjiwaan membawa nuansa dalam novel masuk menjalar ke dalam ruangan acara hinggga sudut-sudut auditorium. "Roh-roh" penceritaan dalam novel merasuk ke "penjiwaan" puluhan peserta acara.

Dari sisi isu, menurutku isu yang diangkat dalam novel boleh dibilang agak berat cenderung mencekam. Berat karena banyak muatannya (politik, spiritual, klenik, roman). Data-data empirik yang terkadang menimbulkan tanya dengan pemahaman yang kita miliki, berpadu dengan sisi fiktif.

Mencekam,karena isu yang termaktub di dalam kedua novel, bagiku sebenarnya adalah serius. Seperti ditumpasnya "genosida" warga kampung adat, tragedi pembabatan hutan untuk lahan, sampai kepiluan akan kenyataan kehilangan "nasab" asal usul keluarga dalam novel Prasa.

Nuansa mistik, spiritual Jawa, padepokan, dukun-dukun Istana yang manipulatif dalam Kelir. Kemasan "dongeng", fiksilah yang membuatku teringat, "Gak usah serius-serius hehehe".

Kemasan bumbu roman membantu kemudahan mencerna dan enjoy kunikmati. Tentu dengan sisi penafsiran dan pemahaman masing-masing pembaca.  Sebuah hal yang Yon Bayu inginkan. Menumbuhkan multi tafsir.

Menyediakan kekosongan konsep sebelum membaca, membantuku lebih mudah memahami alur cerita. Jika ada pro kontra, tinggalin saja dulu.   

Tapi dibaca serius pun oke. Mengingat pesan-pesan kemanusiaan begitu mendalam dalam kedua novel. Bergidik membaca sepenggal bagian biografi Sang Jenderal yang mestinya dibuang. Bab Pengakuan hal 223 dalam Novel Prasa. Beeyyuuh. Bagian ini, touching.

Peserta Bedah Novel PRASA dan KELIR di TIM. Dok Yon Bayu
Peserta Bedah Novel PRASA dan KELIR di TIM. Dok Yon Bayu

Tragedi Lenyapnya Sebuah Kampung Adat

Baru satu kali, aku membaca Novel Prasa: Operasai Tanpa Nama. Novel yang gamblang bersinggungan politik. Khususnya tentang Hak Asasi Manusia yang tercabik oleh "kekuatan" penguasa. 

Sampul novel, sepatu lars mengingatkan pada masa kuliah, zaman orba. Gambar "Sepatu Lars" sering dipakai sebagai ilustrasi dalam selebaran mahasiswa pergerakan "melawan" militer.

Drama-drama politik, dimainkan dalam pengalihan fungsi hutan ke lahan sawit. Entah siapa yang bermain sebenarnya. Mustahil kalau tidak bersinggungan dengan penguasa. Minimal institusi "sepatu lars" tempat Jendral Progo Subagyo bernaung, terlibat. Terlepas dari resmi atau tidak, operasinya. 

"Ambisi" untuk mendapatkan kenaikan pangkat lebih cepat, membuat "bapak angkat" Prasa (tokoh utama novel) terikat pada instruksi untuk melaksanakan "operasi militer" di sebuah kampung adat di hutan. 

Sebuah aksi yang membawa neraka bagi kampung adat terpencil itu. Warganya mayoritas tewas "berpulang" kembali ke Nemu Tau, tempat keabadian suku-suku di Gunung Raya.  

"Korban" lain adalah Prasa. Sosok yang menjadi sentral cerita. Dia kehilangan jejak orang tua kandungnya. Dirawat oleh orang tua angkatnya, Jenderal Progo dan Setyaning. 

Orang tua yang baik hati dan menyayanginya, yang ternyata berkelindan dengan kepiluan asal usulnya. Orang tua kandungnya dan kampung asalnya. Dilema. Apakah dia harus memaafkan? Atau harus melakukan vendetta?

Ada pelanggaran hak asasi manusia atas warga kampung adat. Atas penumpasan "operasi tanpa nama". Fenomena yang lazim terjadi menimpa suku-suku di Nusantara. Meski tak setragis penggambaran kisah dalam Prasa. Dimana "tanah ulayat" tanah leluhur suku adat semakin terjepit dialihfungsikan.

 Aku pernah menonton pementasan tentang nasib pilu suku-suku Nusantara di tempat TIM bertahun silam, sebelum revitalisasi.  

Penulis, mengajak kita merenungi fenomena yang masih "terawatt" terjadi. Mengoyak HAM dengan penyelesaian yang tidak berujung. Tak mudah, karena melibatkan banyak kepentingan, termasuk kepentingan penguasa.

Lepas dari itu, pesan spiritual dalam novel Prasa, menarik. Sepakat dengan komentar Bang Isson, bahwa manusia sesungguhnya terlahir baik. Faktor sekitarlah yang mempengaruhinya.

Dalam novel, jika Jenderal Progo dipandang jahat, dia masih berhati nurani dengan tulus merawat Prasa, dibawah mata curiga istrinya terkait asal usul bayi perempuan berumur 3 bulan.

Huruf-huruf dalam nama PRASA yang diberikan sang Jendral merupakan titik penunjuk menuju titik terang  asal usul Prasa. Bahkan Sang Jenderal juga sengaja "mengarahkan" Prasa memperoleh pekerjaan yang berkelindan dengan kampung adat tempatnya berasal. Bukankah ini niat baik dari hati baik sang Jenderal?

Yon Bayu penulis Novel PRASA & KELIR. Foto FOKPRI
Yon Bayu penulis Novel PRASA & KELIR. Foto FOKPRI

Menurut Om Yon, ide PRASA : Operasai Tanpa Nama, terpantik saat terjadi perdebatan tentang HAM. Isu pelanggaran HAM dalam novel, mengingatkan pada sekian banyak  pelanggaran HAM yang tak pernah selesai. G 30 S/ PKI, Malari, Penculikan aktivis 98, Tragedi Semanggi, dan lain sebagainya.

Yon Bayu mengajak untuk merenung. Apakah  aksi-aksi kelam itu tak sebaiknya diungkap ataukah didiamkan saja?

Jujurly, aku kesulitan menjawabnya.

Fenomena Trah-trah Rekayasa & Manipulatif

Kita pasti tahu, khususnya di tanah Jawa di sekeliling kita banyak tempat dikeramatkan. Seperti pesarean atau pemakaman. Di dalam novel Kelir, tempat keramat itu diilustrasikan dalam pemakaman Ki Lanang Alas di Gunung Candil, Desa Wangkal.  

Pesarean itu dibangun oleh Kromo / Ki Andong atas instruksi Jenderal dari Jakarta. Meski Kromo kebingunan, namun dia tak kuasa menolak. Pesarean "tanpa jasad" Ki Lanang Alas  itu pun tercipta dan dikeramatkan.

 Legitimasi ada "orang suci" yang mendapat karomah. Selanjutnya dijadikan tempat "ngalap berkah" banyak orang.  

Ditengarai fenomena seperti itu banyak terjadi. Dibuatlah cerita-cerita hingga rekayasa "trah" demi nama dan kepentingan kekuasaan. Trah / nasab dimanipulasi sedemikian rupa. 

 Mudah dilakukan, karena tak ada organisasi pencatat. Semacam  (bukan membandingkan) Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW.

Novel Kelir ini, mengajak kita berkaca bagaimana politik bermain dalam keyakinan masyarakat kita. Politik menunggangi kepercayaan masyarakat  untuk melegitamasi kekuasaan. Dalam novel digambarkan melalui tokoh Sastro Reksi mantan Bupati.

Penceritaan dimensi politik dalam novel Kelir tidak banyak. Lebih banyak mengulas tentang Kejawen, Kapitayan, sebagai agama Budi, agama asli Jawa.

Informasi tentang Kejawen maupun Islam Kejawen diceritakan melalui mulut mahasiswi antropologi yang melakukan penelitian untuk tesisnya, Dyah Kusumawardhani kepada seorang pria Jawa. Paksi. Paksi adalah anak dari Hamoroto/ Suroto penerus Padepokan Sabdo Sejati Gunung Candil.

Sebenarnya alasan Hamoroto melakukan itu, agar Paksi memahami alasan dia menjadi penerus padepokan seiring posisi sebagai lelaki Jawa.

Meski Hamoroto sempat dikecewakan "keyakinannya" saat Sabda Palon dan Nayagenggong tidak muncul setelah 500 tahun pasca keruntuhan Majapahit, sesuai sumpah mereka yang dipercaya sebagai personifikasi Semar.

Awalnya Hamoroto adalah sosok yang meyakini ajaran "budi". Dia mencapai kutub orang Jawa yang menjadikan kejawen sebagai aliran kepercayaan, juga mencampuradukkan antara agama samawi dan praktik pemujaan.

Akhirnya Hamoroto berkeyakinan sebagai pemeluk agama samawi yang peduli dengan adat dan budaya Jawa.

Kewajiban orang tua Jawa  mewariskan budaya Jawa pada anaknya, "memaksanya" membuat rencana mengenalkan budaya Jawa ke Paksi. Sesuatu yang dia sendiri merasa tak mampu melakukannya.

Novel ini bagiku yang asli Jawa, menarik. Banyak menggunakan istilah Jawa. Saklek, klangenan, ngelangut, kepaten dan lain-lain. Cuma aku membayangkan kesulitan bagi orang-orang yang tidak tau istilah dalam Jawa. Mungkin bisa ditambahin di halaman terakhir, semacam glosarium.

Sebagai informasi budaya Jawa khususnya bagi orang luar Jawa, bolehlah menambah wawasan. Seperti sangkang paraning dumadi (hal 39), atau pun konsep lima syarat satria Jawa Wisma (rumah), Garwa (istri), Turangga (kuda), Kukila (burung) dan Curiga (pusaka).

 Lembaran Catatan

Secara umum acara peluncuran dan bedah novel cukup menarik dan mampu membuat aku dan (sepertinya) teman-teman lain bertahan hingga jelang maghrib. 

Bukan semata karena penulisnya adalah kawan akrab, namun karena acara tertata dengan menarik. Hangat. Penampilan "crew" muulai dari Mas Nanang, Nuyang, Devie, Retno dan Yon Bayu mengalir saling menunjang.

Bedah Novel PRASA dan KELIR di TIM. DOKPRI
Bedah Novel PRASA dan KELIR di TIM. DOKPRI

Sementara 2 novel diuncurkan sekaligus, bukan perkara simple. Cuma dampaknya ke  sisi durasi waktu. Membedah 2 novel setebal (efektif) 239 dan 160 halaman butuh durasi waktu panjang. Sementara 3 jam durasi yang tersedia, tentu tidak mencukupi, seefektif apapun dalam mengaturnya.   

Berdampak pada pendalaman materi dari sosok pembedah yang kompeten maupun peserta tidak leluasa dilakukan. Meski  para penanya, kebanyakan menyoroti di "depan pintu" novel. Belum ke "dalam rumah" isi novel. Serupa yang kutanyakan saat pre launching di Bogor. Soal latar belakang ide, referensi penulis.

Dimaklumi belum baca. Aku sendiri jelang launching itu baru baca selesai satu, yakni novel Kelir. Kupilih awal kubaca karena isu spiritual Jawa-nya. Namun demikian, sepertinya sosok pembedah bisa mewakili hadirin untuk menguak lebih dalam.

Meski sang penulis, Yon Bayu, tak akan mengupas pesan dan kesan novel lebih jauh karena memberi ruang pembaca  menafsirkan. Jangan harap, "tidak elok", katannya. 

Untuk ini aku sepakat. Pembaca bebas menafsirkan karya. Oleh sebab itu,menurutku, membaca buku, fiksi, novel sekalipun, bisa memberi tafsir berbeda jika dilakukan baca berulang.  

Sementara soal isi novel, novel Prasa adalah novel realis sarat data yang diekspos. Kekayaan data yang disodorkan penulisnya lumayan banyak. Saking beruntunnya, Bang Isson berasa disergap oleh fakta-fakta yang dihadirkan. 

Namun di sisi lain, aku merasa memperoleh fakta baru yang belum diketahui, tentunya butuh wawasan tersendiri dan penelusuran sendiri lebih lanjut, dalam memisahkan realis atau fiksi.   

Saran Bang Isson menghadirkan "vibes" perempuan dalam dialog tokoh Prasa, oke juga. Terus ada tokoh Ibu Bio, calon mertua Prasa yang masih mengganjal. Karena sebegitunya memata-matai melalui wartawan Cakrawira saat  Prasa "operasi tanpa nama" memburu asal usulnya. Kenapakah?

Catatan elementer dari Sunu Wasono untuk Novel Kelir seperti kesalahan tulisan kurang huruf "K" pada kata-kata seperti "meletakkan" patut diperhatikan. Agak kurang nyaman saat membaca. Ini ranah editor bahasa.

Sepakat masukan dari Sunu, agar lebih dalam menggali ajaran Sabdo Sejati. Bikin penasaran. Mungkin penulisnya membatasi pada Kejawen saja. Tapi apa iya, penulisnya sengaja, biar pembaca cari sendiri? Jika bener, yaa....  Gak usah misuh-miuh yaa. Hahahhaa

Selamat Om Yon, ditunggu lanjutan kisah asmara Haruni, Dyah dan Paksi. Sad ending saja hehee.

@rachmatpy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun