Sampul novel, sepatu lars mengingatkan pada masa kuliah, zaman orba. Gambar "Sepatu Lars" sering dipakai sebagai ilustrasi dalam selebaran mahasiswa pergerakan "melawan" militer.
Drama-drama politik, dimainkan dalam pengalihan fungsi hutan ke lahan sawit. Entah siapa yang bermain sebenarnya. Mustahil kalau tidak bersinggungan dengan penguasa. Minimal institusi "sepatu lars" tempat Jendral Progo Subagyo bernaung, terlibat. Terlepas dari resmi atau tidak, operasinya.Â
"Ambisi" untuk mendapatkan kenaikan pangkat lebih cepat, membuat "bapak angkat" Prasa (tokoh utama novel) terikat pada instruksi untuk melaksanakan "operasi militer" di sebuah kampung adat di hutan.Â
Sebuah aksi yang membawa neraka bagi kampung adat terpencil itu. Warganya mayoritas tewas "berpulang" kembali ke Nemu Tau, tempat keabadian suku-suku di Gunung Raya. Â
"Korban" lain adalah Prasa. Sosok yang menjadi sentral cerita. Dia kehilangan jejak orang tua kandungnya. Dirawat oleh orang tua angkatnya, Jenderal Progo dan Setyaning.Â
Orang tua yang baik hati dan menyayanginya, yang ternyata berkelindan dengan kepiluan asal usulnya. Orang tua kandungnya dan kampung asalnya. Dilema. Apakah dia harus memaafkan? Atau harus melakukan vendetta?
Ada pelanggaran hak asasi manusia atas warga kampung adat. Atas penumpasan "operasi tanpa nama". Fenomena yang lazim terjadi menimpa suku-suku di Nusantara. Meski tak setragis penggambaran kisah dalam Prasa. Dimana "tanah ulayat" tanah leluhur suku adat semakin terjepit dialihfungsikan.
 Aku pernah menonton pementasan tentang nasib pilu suku-suku Nusantara di tempat TIM bertahun silam, sebelum revitalisasi. Â
Penulis, mengajak kita merenungi fenomena yang masih "terawatt" terjadi. Mengoyak HAM dengan penyelesaian yang tidak berujung. Tak mudah, karena melibatkan banyak kepentingan, termasuk kepentingan penguasa.
Lepas dari itu, pesan spiritual dalam novel Prasa, menarik. Sepakat dengan komentar Bang Isson, bahwa manusia sesungguhnya terlahir baik. Faktor sekitarlah yang mempengaruhinya.
Dalam novel, jika Jenderal Progo dipandang jahat, dia masih berhati nurani dengan tulus merawat Prasa, dibawah mata curiga istrinya terkait asal usul bayi perempuan berumur 3 bulan.