Apresiasi tersendiri buat dihadirkannya pembacaan nukilan kedua novel oleh Retno Budiningsih dan Devie Matahari. Pembacaan nukilan yang ekspresif penuh penjiwaan membawa nuansa dalam novel masuk menjalar ke dalam ruangan acara hinggga sudut-sudut auditorium. "Roh-roh" penceritaan dalam novel merasuk ke "penjiwaan" puluhan peserta acara.
Dari sisi isu, menurutku isu yang diangkat dalam novel boleh dibilang agak berat cenderung mencekam. Berat karena banyak muatannya (politik, spiritual, klenik, roman). Data-data empirik yang terkadang menimbulkan tanya dengan pemahaman yang kita miliki, berpadu dengan sisi fiktif.
Mencekam,karena isu yang termaktub di dalam kedua novel, bagiku sebenarnya adalah serius. Seperti ditumpasnya "genosida" warga kampung adat, tragedi pembabatan hutan untuk lahan, sampai kepiluan akan kenyataan kehilangan "nasab" asal usul keluarga dalam novel Prasa.
Nuansa mistik, spiritual Jawa, padepokan, dukun-dukun Istana yang manipulatif dalam Kelir. Kemasan "dongeng", fiksilah yang membuatku teringat, "Gak usah serius-serius hehehe".
Kemasan bumbu roman membantu kemudahan mencerna dan enjoy kunikmati. Tentu dengan sisi penafsiran dan pemahaman masing-masing pembaca. Â Sebuah hal yang Yon Bayu inginkan. Menumbuhkan multi tafsir.
Menyediakan kekosongan konsep sebelum membaca, membantuku lebih mudah memahami alur cerita. Jika ada pro kontra, tinggalin saja dulu. Â Â
Tapi dibaca serius pun oke. Mengingat pesan-pesan kemanusiaan begitu mendalam dalam kedua novel. Bergidik membaca sepenggal bagian biografi Sang Jenderal yang mestinya dibuang. Bab Pengakuan hal 223 dalam Novel Prasa. Beeyyuuh. Bagian ini, touching.
Tragedi Lenyapnya Sebuah Kampung Adat
Baru satu kali, aku membaca Novel Prasa: Operasai Tanpa Nama. Novel yang gamblang bersinggungan politik. Khususnya tentang Hak Asasi Manusia yang tercabik oleh "kekuatan" penguasa.Â