Bedanya ini pakai telur. Pantas saja harganya selisih Rp. 3000 dari harga laksa Pak Inin ini yang dibandrol Rp. 15.000. Masih murah ya.
Kuaduk-aduk laksanya. Ada aroma segar dari kuah dan togenya yang khas. Bihun putihnya cukup banyak. Berpadu dengan aroma daun kemangi.
Nikmat saat menikmati bihun dengan togenya, yang bercampur dengan kuah kuning. Kuah santannya kental, ada rasa gurih, asam, dan manis-manisnya sedikit. Â Tahunya polos saja, namun lembut banget, Ini khas tahu Bogor.
Orang bilang, kuah santan laksa itu kaya bumbu rempah-rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, serai, dan lain-lain. Sehingga aroma dan rasanya lekat, kuat.
Dengan harga segitu, worth it lah dengan rasanya. Kuakui rasanya pas, untukku. Sengaja aku biarkan otentik, tanpa  tambahin sambal. Rasanya tahan lama, bahkan masih terasa laksa di lidah dan tenggorokan pasca sepiring tandas.
Mestinya semakin enak dinikmati dengan kerupuk. Sayang aku lupa ambil. Mungkin saking konsentrasi menikmati laksanya. Sepertinya juga akan makin nikmat kalau ada kacang tanah goreng.
Pantas saja, banyak pelanggan laksa ini yang sudah bertahan puluhan tahun, selalu beli di sini.
Romantisme Laksa Lebih Abad
"Saya sudah langganan lama ini. Sekitar tahun 90an," kata seorang pria gagah yang nimbrung obrolanku dengan Kang Darwin, cucu Pak Inin yang melayani pembeli.
Bapak itu, sebut saja Namanya Pak Usma ternyata tinggal di Tanah Sereal, tetanggaanlah denganku di Kawasan Curug.
"Wah sudah lama banget ya Pak. Kenapa kok suka laksa di sini?" tanyaku.