Kamu yang menjadikanku, seperti saat ini.
Wonny...
Aku senang, dua minggu kemarin bersamamu. Senang kamu baik-baik saja, seperti yang dulu.
Ya, seperti yang dulu. Semua masih seperti dulu.
Lapangan kampung tempat dulu aku berlari mengejar bola, masih seperti dulu.
Tiang gawangnya, lintasan larinya, sampai rumput-rumputnya. Seperti dulu. Tumbuh liar di sana sini. Tumbuh tak beraturan. Gak apa, meski kamu seperti tak terawatt, tapi penampilanmu membuat masa lalu itu masih terpampang jelas.
Lalu patung itu. Patung Jenderal Sudirman nan megah di tengah kampung, masih seperti dulu. Telunjuk menunjuk ke arah barat. Dengan keris tergenggam di tangan kiri. Sama kusamnya dengan masa lalu.
Tak apa. itu membuat noktah-noktah masa lalu, vektor  garis masa dulu masih nampak goresannya.
Lalu hutan itu. Hutan di seberang rel kereta api di pinggiran kampung. Masa laluku nampak terhapus di sini. Â Pepohonan keras yang dulu menjulang tinggi, rindang dan teguh, berganti dengan lahan-lahan ladang. Mahoni berganti singkong, Meranti berubah menjadi jagung. Tak apa, selama masih berupa komoditi yang menghidupi.
Lalu bakso lehendaris "ndeso" itu. Bakso Pak Mento di seberang SMKN 1 Wonogiriitu. Cita rasa, gerobak, masih seperti dulu. Membawa kelezatan yang sama dari waktu ke waktu.
Hanya satu yang berubah. Guratan usia di tangan, kaki, dan wajah peraciknya, Pak Mento yang makin berkerut. Dimakan waktu yang tak bisa dibendung oleh bertambah usia.
Tak apa itu keniscayaan. Yang penting, Pak Mento setia menjamu dengan bakso daging bertabur gajih yang mengambang memenuhi mangkok Miwon putih itu.
Wonny...
Aku sadar, perubahan adalah kepastian. Begitu pula dirimu. Tanah-tanah gembur berganti jalanan ekonomi. Hutan-hutan sepi berubah menjadi rumah-rumah hunian asri. Udara sejuk menyegarkan, berubah sedikit terik menyengat, menggerahkan.
Tak apa itu, aku paham dan rela, itu keniscayaan.
Hanya saja, aku tak akan rela, bila....