Semangkok soto daging kerbau ini kalau diulik sejarahnya, memuat pesan yang bernilai. Ini sehubungan dengan proses penyebaran agama Islam zaman para Walisongo, Sunan Kudus.
Pesan tentang jejak toleransi yang diajarkan Sunan Kudus. Termaktub seolah dalam semangkuk Soto Kudus daging kerbau yang kunikmati.
Jejak nilai toleransi itu, ada pada penggunaan daging kerbau. Untuk tahu saja, pada masa Sunan Kudus menyebarkan agama Islam, di Kudus banyak penganut agama Hindu.
Hewan sapi yang sering digunakan sebagai hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha, oleh Sunan Kudus diganti dengan kerbau. Sunan Kudus melarang menyembelih sapi yang dianggap hewan suci oleh umat Hindu.
Itu wujud menghormati dari Sunan Kudus kepada orang Hindu yang merupakan agama mayoritas di Kudus kala itu.
Jelas sekali, menggambarkan toleransi antar pemeluk agama di Kudus, antara Islam dan Hindu.
Penggunaan hewan kerbau sebagai pengganti sapi berlanjut turun temurun. Menjadi tradisi yang masih dirawat dengan baik di Kudus.
Tradisi pemilihan menyembelih kerbau itu popular di masyarakat. Berkembang ke kreasi sajian kuliner. Seperti soto daging kerbau, maupun sate kerbau yang kemudian dikenal sebagai kulier khas Kudus.
Maka beruntunglah bahwa kuliner olahan kerbau yang kaya nilai-nilai toleransi warisan Sunan Kudus menambah deretan daftar kuliner nusantara. Khususnya kuliner "Republik Soto" negeri ini.
Inspirasi Merawat Toleransi
Warisan nilai-nilai toleransi itu menjadi semacam kultur di Kudus yang pantang dilanggar. Pada kenyataan menjadi salah satu sarana kesejahteraan dan perdamaian antar masyarakat di Kudus. Boleh dibilang itu adalah potret budaya Kudus yang multiculture. Percampuran budaya anatar tradisi Hindu, Jawa, dan Tionghoa.