Ancaman rokok terhadap anak-anak/ remaja, sudah berada pada tingkat yang serius. Lonjakan jumlah prevalensi perokok anak dari tahun ke tahun meningkat sampai titik "darurat perokok anak". Jika lalai mengendalikannya, bisa berpotensi menjadi bom waktu. Jangan biarkan meledak di kemudian hari! Â
Mungkin Anda pernah mendengar kisah serupa ini. Seorang anak berinisial A, usia 10 tahun, masih bersekolah di bangku SD (Sekolah Dasar) di Jawa Barat, sudah membeli peralatan rokok elektronik melalui daring. Dia pun belajar merokok rokok elektronik secara diam-diam dari Youtube.
Kisah lain. Ada seorang pelajar SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Jawa Timur, berinisial M sudah merokok sejak kelas 1 SMP gegara pergaulan dengan teman-temannya yang merokok. Alasannya "pakewuh" atau "gak enak hati". Ditunjang pula kemudahan membeli rokok biasa (konvensional) secara "ketengan" di warung dekat rumahnya. Â Â
Kedua kisah di atas, saya petik dari testimoni dua pelajar saat acara webinar daring yang digelar oleh Yayasan Lentera Anak pada Kamis 28 Juli 2022 lalu, bertema "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024".
Kisah-kisah seperti di atas, terjadi hingga saat ini. Faktanya kita bisa lihat di kegiatan sehari-hari, sekitar kita. Dimana kita tak jarang melihat kelompok pelajar di warung selepas sekolah dengan asap dari rokok menyala di sela jari tangannya. Beberapa yang lainnya, mengepulkan asap tebal dari sebuah alat rokok elektronik.
Data dari artikel laman kemkes.go.id berjudul "Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan" ini patut disimak. Data dari Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM tentang jumlah perokok anak  menyebutkan bahwa ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Kita seakan dikondisikan "terbiasa" melihat fenomena seperti itu. Padahal mereka menyumbang lonjakan prevalensi perokok aktif di usia anak-anak saat ini.  Prevalensi kenaikannya pun cukup mengkhawatirkan. Sudah sampai pada titik  "darurat perokok anak".
Masih dari data dari Global Youth Tobacco Survey, Riskesdas, dan BPOM, menyebutkan bahwa prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%, kemudian naik menjadi 8,80% tahun 2016, 9,10% tahun 2018, 10,70% tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di tahun 2030.
Bukankah itu lonjakan prevalensi yang mengkhawatirkan?
- "Tak Kenal, Maka Tak Sayang"
Ungkapan di atas, saya tujukan untuk anak-anak perokok. Sayang anaknya, bukan rokoknya. Â Maksud saya begini. Anak-anak merokok, bukan tanpa sebab. Banyak faktor. Termasuk faktor iseng, keingintahuan atau karena lingkungan pergaulan. Bisa juga karena kurang pengetahuan atau bahkan salah dalam memahami tentang "mengidentifikasi" rokok.