Akhirnya aku, Iwan dan Deni bergegas. Deni yang paling ragu, soalnya agak penakut. Lhaa kalau nongkrong sampe malam, pulangnya minta diantar sampe pintu rumah. Dan pengantar harus liatin dia sampe masuk rumah, baru boleh pergi. Blaikk beneran tho. Seneng nongkrong malam, tapi takut pulang. Kalah ama Jailangkung, datang dan pulang tak minta antar. Haha.
Balek ke laptop.
“Gak kelihatan,” gumamku dengan suara tak jelas.
Tanganku semakin berusaha mengungkit lipatan kayu mahoni yang menjadi dinding rumah itu.Tak menyerah. Di tengah malam gelap gulita, hanya rembulan redup sebagai penerangan, semakin bernafsu ngintip saja. Mataku nyalang diantara celah lipatan kayu, mencoba menelanjangi isi kamar yang posisinya di bagian belakang rumah, yang tak kalah redup penerangannya. Mencari-cari obyek incaran. Tak ada orang.
“Hi gantian dong,” suara lirih, sangat lirih di belakang dekat ke telingaku. Deni, yang menguntit di belakang.
“Ssstttttttt,” Aku tak acuh.
Tak berapa lama, sunyi. Laaaah sepiiii. Hanya badanku berasa ‘dipepet’ dari belakang. Makin mepet.
“Den, ngopo kowe. Sonoo,” kataku masih bernada berbisik. Bukannya makin longgar, malah makin mepet aja tuh anak. Tangannya mencekeram memelukku. Tangan kananku malah dipeluknya, sampai terjepit diantara pahanya.
“Apaan siih ini,” batinku, seraya menoleh.
Aku tak jelas melihat wajahnya, karena gelap. Samar-samar saja. Yang jelas kurasakan tubuhnya gemetaran. Tanganku yang terjepit pahanya semakin terasa kejepit. Pelukannya makin kenceng.
“Itu…ituu….” Lirih dan serak suaranya nyaris tak terdengar. Tangannya menunjuk ke satu arah.