Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[HORORKOPLAK] Kuntilanak Selingkuh Bau Pesing

12 Januari 2017   19:15 Diperbarui: 12 Januari 2017   19:19 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MALAM konyol bertahun lalu. Malam itu sekira waktu hampir tengah malam, aku dan tiga teman seperti biasa nongkrong di ‘buk’ (tempat duduk dari semen dan biasa ada di pintu halaman rumah) rumah kawan. Ngobrol ngalor ngidul. Dari tema bola, isu politik, isu-isu di kampung dan segalanya. Penting, gak penting, yang penting kami bisa membunuh malam. Meski aku sedang ada Tugas Akhir Skripsi yang belum kelar. Hahaa. Pan buat refresing yaaa ‘jagongan’ begini, kilahku pada Ibu kalau nanya soal skripsi.

Balek ke laptop.

Hingga tiba-tiba berkelebat bayangan terlihat di kejauhan oleh Edi teman ngobrolku. Setan? Bukan tho, ini baru awal cerita hehee. Bayangan orang memasuki halaman rumah berjarak sekitar 20an meter dari tempat kami ngobrol. Bayangannya sekilas masih tersibak oleh penerangan lampu bolam depan rumah.

“Waah itu Jarot pasti,” kata Edi.

Nah Jarot ini warga kampong lain. Sudah menjadi rahasia umum, dia ‘demenan’ dengan seorang janda satu anak di kampungku itu, Tuti. Tuti, ini satu kampong, satu RW, beda RT denganku. Naga-naganya belakangan hubungan asmara terlarang mereka bergeliat kembali, meski lama tak terdengar kembali. Yaa mereka memang sudah dikenal selingkuh. Tak sedikit yang memergoki mereka runtang-runtung berdua di luar kampong. Pacaran getulah, meski Jarot sudah beranak istri. Selama ini warga tak bereaksi asal tak dilakukan di kampong.

“Yuk, cek yuk,” kata Iwan.

“Cek gimana,” balek Edi nanya.

“Intiplah,” sahut Iwan lalu beranjak dari duduk.

Welaaah. Ngintip. Aku bilang lebih baik kasih tau Pak RT, laporin ada ‘penyusup’ yang potensial berselingkuh memadu kasih. Ceilah. Baru kemudian diputusin langkah selanjutnya.

“Iya kita intip dulu, kalau beneran mereka berbuat amoral, kita laporin RT,” kata Iwan.

“Aku lapor RT saja deh, kalian duluan survey,” kata Edi sembari bergegas.

Akhirnya aku, Iwan dan Deni bergegas. Deni yang paling ragu, soalnya agak penakut. Lhaa kalau nongkrong sampe malam, pulangnya minta diantar sampe pintu rumah. Dan pengantar harus liatin dia sampe masuk rumah, baru boleh pergi. Blaikk beneran tho. Seneng nongkrong malam, tapi takut pulang. Kalah ama Jailangkung, datang dan pulang tak minta antar. Haha.

Balek ke laptop.

“Gak kelihatan,” gumamku dengan suara tak jelas.

 Tanganku semakin berusaha mengungkit lipatan kayu mahoni yang menjadi dinding rumah itu.Tak menyerah. Di tengah malam gelap gulita, hanya rembulan redup sebagai penerangan, semakin bernafsu ngintip saja. Mataku nyalang diantara celah lipatan kayu, mencoba menelanjangi isi kamar yang posisinya di bagian belakang rumah, yang tak kalah redup penerangannya. Mencari-cari obyek incaran. Tak ada orang.

“Hi gantian dong,” suara lirih, sangat lirih di belakang dekat ke telingaku. Deni, yang menguntit di belakang.

“Ssstttttttt,” Aku tak acuh.

Tak berapa lama, sunyi. Laaaah sepiiii. Hanya badanku berasa ‘dipepet’ dari belakang. Makin mepet.

“Den, ngopo kowe. Sonoo,” kataku masih bernada berbisik. Bukannya makin longgar, malah makin mepet aja tuh anak. Tangannya mencekeram memelukku. Tangan kananku malah dipeluknya, sampai terjepit diantara pahanya.

“Apaan siih ini,” batinku, seraya menoleh.

Aku tak jelas melihat wajahnya, karena gelap. Samar-samar saja. Yang jelas kurasakan tubuhnya gemetaran. Tanganku yang terjepit pahanya semakin terasa kejepit. Pelukannya makin kenceng.

“Itu…ituu….” Lirih dan serak suaranya nyaris tak terdengar. Tangannya menunjuk ke satu arah.

Sontak bola mataku kuarahkan sesuai jari  telunjuknya menunjuk. Gelap banget. Nampaknya bulan tertutup mendung. Sekira jarak 10 meteran, ada bayangan putih agak bergegas bergerak. Hanya putih-putih berjalan mengambang ke rumah kecil di belakang rumah. Itu toilet. Toilet khas kampong, memang masih ada yang terpisah dari rumah utama.

 “Deg!” Aku tercekat. Apa ituuh?

Keringat dingin sebesar jagung, sontak deras mengucur. Pikiran langsung kacau balau. Blaikk. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Deni. Maksud hati mau lari.

“Kun…kun…kun..tiii,” suara Deni tak lirih lagi. Reflek tanganku membekap mulutnya. Berupaya menahan rasa berani. Tapi, terlambattttttt.

*

“Buk…buk…” suara berdebuk di samping kami beberapa kali. Hah, batu sekepalan tangan orang dewasa?

Hi sapa itu!!

Suara teriakan dari….dari arah toilet. Si kuntiiii!

Waaahh tanpa komando si Deni duluan ngacir. Aku pun ngikutin. Beberapa langkah kemudian baru nyadar. Itu suara orang. Yang tadi menghardik suara orang. Kuberanikan diri menoleh sambil menyelinap di balik pohon pisang. Ia masih berdiri di sana. Dan…suara-suara langkah bergedebuk terdengar di belakangku. Waahhh, apalagi ini. Langsung deh aku bergegas lari. Urung saat ada suara memanggil. 

“Hi Mat, ini aku,” suara terdengar. Ternyata Edi dan beberapa kawan lainnya. Oalaaah. Akupun urung lari.

“Itu ada…ada …” kata-kataku tak jadi keluar. Cuman jari menunjuk arah toilet. Bayangan putih itu sekilas terlihat berkelebat. Lari menuju depan rumah. Blaikkk, itu khan Tuti. Ternyata sosok yang disangka kuntilanak tadi Tuti yang sedang pakai daster putih. Nampaknya mau buang hajat dia.

“Pak RT ama bapak-bapak lainnya udah datang dari depan. Kita yang jaga di belakang rumah, kalau Jarot mau kabur,” kata Edi selepas ketawa ngakak.

*

Pos ronda menjadi ajang pengadilan. Tak ada aksi anarkis alias main hakim sendiri seeh, setelah Jarot yang hanya bersarung dan Tuti berdaster, digelandang ke pos ronda RT. Kepala desa yang sudah hadir pun, berembug dengan warga lainnya.

Aku yang sudah sedikit tenang, masih terengah mencari-cari si Deni. “Mana Deni?”

“Tuh, masih shock dia,” kata seorang kawan.

Nampak Deni ‘njogrok’ di pinggir jalan. Siluet tubuhnya dari penerangan lampu pos ronda, nampak masih gemetar. Sambil minum air mineral yang disodorkan kawan lain, Deni terdiam. Kedua tangannya memegang selangkangannya.

“Dia ngompol tuh,” kata Iwan sambil ngakak.

Laah ngompol? Aku reflek mengangkat tangan kananku. Tangan yang dijepit paha Deni saat aksi ngintip sebelumnya. Mendekatkan ke hidung.

“Bajingukkkk…. As****!” kataku tanpa basa basi. Aku rebut air mineral Deni. Buru-buru cuci tangan kananku, yang beraroma ‘pesing’ ompolan gegara Kuntilanak gadungan selingkuh.

@rahabganendra

*Nama-nama disamarkan, gak enak karena ada yang sudah almarhum.
*Sudah berusaha sekuat tenaga nyeritain secara ngoplak, dikit modif, mohon dihargai minimal dengan vote :D #YangNgeplakKunti

RG desain
RG desain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun