Sejak lama perempuan dan anak menjadi obyek kekerasan di dalam masyarakat. Dalam hitungan, jumlahnya semakin meningkat. Melansir data Komisi Nasional Perempuan, ada 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2015 lalu, bukanlah angka yang bukan kecil.
Sementara kasus kekerasan terhadap anak pada 2015, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak. Mirisnya, kasus didominasi kekerasan seksual sebesar 53% Sisanya kasus penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyerukan program Three Ends. Sebuah gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan. Pemerintah berupaya hadir dalam aksi melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan. Lalu bagaimana seharusnya masyarakat berperan serta melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan di lingkungannya?
***
Kegeraman masyarakat terhadap persitiwa tindak kekerasan yang menyinggung perempuan dan anak sebagai korban, sangat tinggi. Lihat saja saat kasus terbunuhnya korban perampokan Pulomas, Jakarta Timur akhir tahun lalu. Respon keprihatinan masyarakat khususnya melalui dunia maya sangat banyak. Salah satunya korban meninggal tergolong belum dewasa, Dianita Gemma Dzalfayla (9).
Begitu pula saat ‘geger’ kasus Yuyun di Bengkulu. Remaja perempuan siswi SMP itu ditemukan tewas mengenaskan. Ia menjadi korban kekerasan seksual 14 pemuda tanggung. Belakangan salah seorang pelaku dijatuhi hukuman mati. Sebelumnya aksi solidaritas untuk Yuyun pun sempat marak seperti yang digelar oleh Solidaritas untuk Yuyun di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/5/2016) silam.
Masih banyak lagi peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dengan mudah bisa diketahui melalui pemberitaan di media local maupun nasional. Potret perempuan dan anak yang sering dianggap sebagai makhluk lemah, menjadi korban kerap terjadi.
Seperti yang tertulis di awal tulisan ini, bahwa catatan Komisi Nasional Perempuan menyebutkan sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya.
Sementara itu data dari KPAI ada 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.
Peningkatan kasus kekerasan terhadap anak khususnya dari tahun ke tahun meningkat. KPAI seperti table di bawah ini, menunjukkan kasus kekerasan sejak 2012 sampai 2014 yang terus mengalami peningkatan jumlahnya.
“Yang dilaporkan, yang di ‘atas permukaan laut’. Mengingat satu korban anak, menguras energi, harus visum, biaya dan lain-lain. Yang tak dilaporkan besar,” kata Erni dalam acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16).
Bentuk kekerasan terhadap anak yang banyak ditemui adalah kekerasan seksual. Data KPAI pada 2015, prosentasenya sebesar 53% untuk kasus kekerasan seksual. Tentu saja ini tentu tak diketahui berapa banyak kasus yang tak terlapor atau pun berhenti alias ‘terselesaikan’.
Isu kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar juga keluarga mencakup kekerasan secara psikis, fisik, maupun seksual. Area kasus pun wilayahnya luas wilayah. Apalagi di perkotaan. Di sudut-sudut kota. Di bawah jembatan, di rumah-rumah pinggiran. Siapa yang bisa mendeteksi kekerasan yang terjadi?
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) banyak terjadi di tengah masyarakat. Kekerasan fisik, psikis, seksual terjadi di ranah public, juga di dunia maya/ dumay. Bahwa akibatnya kekerasan terjadi melihat ruang dan waktu. Siapapun bisa menjadi korban, siapapun bisa menjadi pelaku.
Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komnas Perempuan yang diluncurkan 7 Maret 2016, menyebutkan temuan beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015. (www.komnasperempuan.go.id) Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola yang meluas. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestic atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, namun juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan Negara.
Sementara fenomena kekerasan terhadap anak, contoh menarik disampaikan oleh Dr. Sri Astuti, Dosen UHAMKA, pendamping perempuan dan anak Rusun Marunda. Sri Astuti memaparkan data menyangkut rusun yang memang diperuntukkan bagi warga yang mengalami penertiban Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu silam.
Nah, menurut Sri Astuti, dia menemukan bahwa kekerasan terhadap anak cenderung kekerasan seksual. Pelakunya heterogen, mulai dari anak-anak, remaja sampai dewasa dan bahkan kakek-kakek.
“Ada kakek jual martabak mencabuli anak kecil. Kasih duit Rp.2000, untung anak itu ngomong pada ibunya,” kisah Sri Astuti dalam acara nangkring KPPPA-Kompasiana, di Royal Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/12/16).
Menyedihkan lagi, pelaku-pelakunya orang sekitar. Hal lainnya adalah anak-anak baik perempuan maupun laki-laki sudah pada ‘ngelem’.
Lalu penangannnya?
Di Marunda saat ini kasus yang terjadi/ ditemukan penanganan yang dilakukan, keluarga melapor ke RT, RW, Polsek. Ada yang selesai, ada juga yang tidak. Pasalnya kurang pendampingan. Ada lagi factor malu, sedih, harus mengurus visum yang perlu biaya dan lain-lain. Jadi banyak yang tak diteruskan. Soalnya kalau diteruskan bisa tak bisa mencari pengahasilan.
Kompleksitas masalah dan background yang beragam menyangkut kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut perlu aksi untuk si korban. Bukan hanya pemulihan fisik namun juga membangun mental.
1. Bangkitkan Aware Tanggungjawab Bersama
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tanggungjawab bersama. Semua unsur seperti organisasi keagamaan, ormas, lembaga profesi, masyarakat bahkan blogger, harus bergandengan tangan. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri.
Seperti dinyatakan Erni dari KPPPA, bahwa peran masyarakat sangat strategis, karena mereka termasuk dalam lingkungan peristiwa. Permasalahan ada di tingkat kabupaten. Lembaga KPPPA yang ada di kabupaten yang menangani ada 4-5 personil. Bisa dibayangkan bagaimana kalau lokasi di kampung, atau di hutan. Dengan kondisi geografis, social budaya, dan luas wilayah, maka paling strategis adalah melibatkan peran serta warga masyarakat.
“Mendorong kepedulian masyarakat. Jaman sekarang, satu keluarga tak akan mampu menjaga anaknya secara sendiri. Kita harus bergandengan tangan bekerja bersama-sama,” kata Erni.
2. Pemberdayaan Masyarakat dan Sinergi
Perlu sinergi dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. sinergi meliputi keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga diberdayakan. Anak diberdayakan. Kasus anak nikah dini, karena anak tak diberdayakan. Masyarakat harus berdaya. Pemerintah membantu agar ketiga unsur itu berdaya semua. Peran tokoh masyarakat, ormas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain menjadi penting.
Pemerintah butuh punya banyak mitra, dan mensinergikan semua. Prinsip sinergi meliputi tujuan bersama, rencana kerja bersama. Sebagai contoh, jika 1 LSM masuk menangani satu sisi, terus bergantian dengan LSM lain dan menangani sisi lainnya, demikian terus selama p[eriode tertentu maka potensial sekali kasus bisa dituntaskan. Tentu saja dengan prinsip menghargai bahwa setiap orang adalah penting dengan keahlian sendiri-sendiri. Tak saling menyalahkan.
3. Litigasi Social
Dalam suatu lingkungan, seburuk-buruknya yang ada di dalamnya pasti masih ada yang positif. Nah membantu berkembang warga yang positif/baik ini maka akan dapat mempengaruhi sekitarnya. Misalnya di Rusun Marunda seperti dicontohkan Erni, bahwa di Marunda masih ada 10 % warga yang bagus/positive. Nah Pemerintah membantu 10% yang positif ini, diberi bantuan agar bisa berkemabang dan bisa mempengaruhi 90% yang negative. Selanjutnya mereka bisa menjadi Agen Perubahan.
4. Pencegahan dengan Sinergi Program Pelindungan Anak
Langkah pencegahan pastinya lebih murah daripada menangani korban. Sri Astusti menyebutkan nbahwa langkah pencegahan dengan Sinergi Program Pelindungan Anak ini meliputi preventif, promotif, kuratif, rehabilitative yang terdampingi dan berkelanjutan.
5. Perlunya Pendampingan
Ketika ada korban, jangan dilepas sendiri. Harus didampingi. Apalagi mekanisme pelaporan cukup menguras waktu, terkait syarat-syaratnya seperti visum pada kasus kekerasan seksual. Apalagi masih dibebani biaya visum. Kabarnya biaya bisa Rp. 5 juta kalau kasusnya berat. Tentu untuk masyarakat bawah menjadi kian berat. Seperti pepatah, “Sudah jatuh tertimpa tangga.”
Di sini perlunya pemerintah menciptakan mekanisme yang lebih mudah dalam pelaporan kasus termasuk soal biaya. Visum lebih baik bisa gratis. Tentu ini tergantung anggaran pemerintah.
6. Mengubah Stereotip Masyarakat Lebih Empati
Seringkali korban justru dipojokkan oleh masyarakat, yang semestinya harus berempati pada korban. Jadinya korban mengalami ‘kekerasan kedua’. Tentu secara psikologis akan berdampak makin buruk pada korban. Inilah pentingnya bagaimana mengubah stereotip masyarakat yang lebih banyak memojokkan korban menjadi berempati pada korban. Sehingga korban dapat terbantu untuk pulih dari ‘luka-luka’nya. Pentingnya lagi masyarakat dapat saling mengawasi dan melindungi untuk mengurangi ruang gerak para ‘predator’, pelaku kekerasan terhadap anak.
7. Lingkungan Ramah Anak.
Usia anak selain lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah. Peran orang tua dan guru menjadi vital. Sekolah adalah tempat strategis setelah keluarga. Komunikasi antara orang tua dan anak lebih terbuka.
Sekolah juga ‘ramah’ anak menyangkut sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan lain-lain. Misalnya tempat cuci tangan harus mudah dijangkau anak. Penggunaan kata-kata berkomunikasi yang baik. Hindari kata-kata yang bisa menyakitkan anak dan malah bisa membentuknya menjadi pribadi kurang baik, seperti kata-kata “goblok, tolol, idiot dan lain-lain.
Soo…. meredam aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak, memang adalah tanggungjawab bersama warga masyarakat. Dan kita sebagai anggota masyarakat semestinya bisa menjadi ‘agen perubahan’ yang positif untuk membawa pengaruh pada lingkungan yang semakin positif juga. Semoga.
@rahabganendra
Sumber foto Ilustrasi 1 dan Ilustrasi 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H