Menulis itu harus tulus, ikuti kata hati nurani. Berpihak pada kebenaran dan hati nurani. Kalau kita tak menulis, kita akan ditelan sejarah. Hilang semua pemikiran dan pandangan-pandangan kita. Menulis itu membuat kita terus berpikir. Berpikir dapat menghilangkan stress. Menulis itu prospektif. Peluang bisa menjadi profesi yang menjanjikan. Bisa mendatangkan uang dan bisa menjadi ‘penerang.’
*
RANGKAIANkalimat-kalimat dari para narasumber dalam acara Kompasiana Nangkring bertema “Saatnya Warga Menulis” dalam rangkaian acara KG Fest 2016 di Pekan Raya Indonesia (PRI) di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, pada Minggu, 6 November 2016 itu patut menjadi renungan. Bahwa menulis itu banyak manfaatnya dan bukan hanya perlu namun juga penting dilakukan. Dan budaya membaca menjadi keterkaitannya.
Tentu banyak yang sepakat dengan itu. Apalagi catatan UNESCO, seperti yang dituturkan Maman Suherman, seorang penulis buku, yang menyatakan bahwa tingkat baca orang Indonesia itu hanya 0,001. Artinya hanya ada 1 orang dari 1000 orang yang membaca. Maka tak heran Indonesia menjadi negara literasi nomor 2 dari belakang, yakni 60 negara dari 61 negara! Hanya menang dari Negara Bhotswana, yang entah dimana negara itu berada. #Prihatin
Menjadi pas banget dengan situasi tersebut, ajang Kompasiana Nangkring bertema “Saatnya Warga Menulis” digelar. Hadir sebagai narasumber mendampingi Maman Suherman adalah Iskandar Zulkarnain alias Isjet selaku Assistant Manager Kompasiana dan Yayat, Kompasianer of The Year 2016. Dengan kapasitas masing-masing, ketiga narasumber berbagi tentang dunia kepenulisan. Baik dari pengalaman-pengalaman semasa jadi jurnalis seperti Maman dan Isjet, maupun pengalaman sebagai Kompasianer/ Blogger yang konsisten menulis khususnya tema MotoGP seperti yayat.
Apa saja berbagi kiat menulis mereka? Yukk ah cekidot!
Suasana Booth Group of Digital Kompas Gramedia di Pekan Raya Indonesia (PRI), Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang dengan panggungnya telah dipadati Kompasianer yang datang untuk ikut acara Kompasiana Nangkring “Saatnya Warga Menulis.” Sebuah tema yang ‘dekat’ banget dengan dunia kepenulisannya para kompasianer.
Maman Suherman, Isjet dan Yayat menjadi narsum didampingi moderator Ricky Saragih dari Kompasiana. Di tengah hiruk pikuk panggung lainnya, acara berlangsung santai namun berisi. Keseluruhan narsum yang kece-kece tak pelit berbagi ilmu dan pengalaman menulisnya.
Yayat yang pada tahun ini dianugerahi Kompasianer of The Year 2016 berbagi tentang kisah dirinya dalam aksi menulis yang telah dilakukan bertahun-tahun. Baginya yang penting adalah enjoy. Menulis harus bisa menikmati. Misalnya menulis apa yang dialami, maka tulisan akan mengalir . Enjoy aja untuk membangun mood.
“Jangan merasa terpaksa untuk menulis. Jangan paksaain. Yang penting kita enjoy,” katanya yang telah memutuskan menjadi fulltime Blogger dan aktif di dunia kepenulisan.
Menjadi seorang jurnalis warga/ Blogger/penulis blog, baginya harus fleksibel. Beda banget dengan kerja seorang Wartawan dengan ketentuannya sendiri. Ia mencontohkan, dirinya yang focus ditulisan otomotif, terkhusus soal Valentino Rossi yang digandrunginya. Hingga title ‘Nyonya Vale’ menjadi predikat yang disandangnya seiring banyak kawan blogger memanggilnya demikian.
“Misalnya saat di Sepang, saya tidak menulis giman jalannya balapan. Saya akan nulis, misalnya bagaimana hebohnya penonton saat pembalap masuk track, tentang tiket, suasana Sepang, agar yang gak ke Sepang bisa tau,” tuturnya.
Menarik apa yang dikatakan oleh Isjet, narsum kedua, bahwa di jamannya media social/medsos, orang gampang menulis di medsos facebook, twitter, Instagram dan lain-lain. Akses internet sudah mengglobal, menjadikan profesi menulis semakin kinclong.
“Menulis menjadi profesi paling banyak kesempatan eksis,” kata pria jebolan pondok ini.
Mengapa demikian? Dunia maya menjadi alasannya. Bahwa orang banyak ‘berkerumun disana. Banyak media menjadi pilihan namun warga sudah tak bergantung lagi. Misalnya saja jika A tak mau mengambil konten dari media B, sekarang tak masalah lagi di masyarakat. Tak pengaruh, karena masyarakat sudah bisa menyampaikan sendiri via sosmed. Warga semakin banyak menghabiskan waktu dengan membaca.
“Jaman WA (Whattshap) artikel klik, baca, sebar. Semakin banyak orang suka baca, penulis jadi punya kerjaan,” katanya.
Bagi Isjet, kemampuan menulis, berbagi ilmu yang universal, harus dimiliki setiap orang. Semisal seorang guru yang bisa menulis itu lebih baik. Begitu pula profesi dokter, karyawan, dan lain-lain. Menulis bukan lagi monopoli seorang penulis.
“Dulu nulis di Koran, majalah, turun baru kebaca orang. Sekarang kita nulis langsung dibaca. Ini yang gak kebayang sampai sekarang,” tuturnya.
Sebagai contoh, Isjet mencotohkan Kompasiana yang disiapkan wadah warga menulis. Warga menulis terbuka untuk semua orang. Orang dengan memiliki akun pribadi di Kompasiana, bisa langsung tayang. Tak ada di media mana pun. Tak sekadar blogger, kalau di Kompasiana ada editor, jadi Headline/ HL, dipromosikan, mengiklankan.
“Penulis diurusi betul agar tulisannya dikenal banyak orang,” kata Isjet yang dikenal gencar campaign hesteknya #AyoNulis ini.
Dalam hal ini, Kompasiana memang membuka wadah tanpa batas. Isjet menyebut data bahwa saat ini Kompasiana dibaca 30 juta orang per bulan, dan ada 800 an artikel masuk per harinya.
Beda dengan Wartawan dari media mainstream, bahwa wartawan menulis untuk publik. Dipastikan tulisannya mengandung kepentingan publik. Tapi kalau warga menulis untuk kepentingan dia, sebagai warga. Dibaca sekian orang. Jika dibaca 2000 orang, maka dia mewakili 2000 orang itu. Semakin konsisten tema, dia akan mewakili sekian banyak orang.
Menulis Itu 5 R
Dalam menulis, lama dikenal orang tentang rumus 5 W 1 H. What? Who? Where? When? Why? How? Enam model pertanyaan yang digunakan dalam menulis, seperti reportase. Ternyata bagi Maman Suherman yang selama 18 tahun, banyak makan asam garam dunia menulis, rumus itu tak cukup.
“Kunci nulis bukan 5w 1h lagi, itu udah lewat. Menulis yang baik ada kata kunci 5 R,” kata pria berkacamata yang pengalaman menulis sejak 1986 saat diangkat menjadi wartawan di Nova sekaligus awal pendirian Nova.
5 R yang dimaksud maman adalah Read, Riset, Realiable, Reflecting dan (W)Rite. Read, baca. Menulis harus banyak baca. Banyak menulis akan membawa banyak referensi. Jika tak banyak membaca kedalaman menulisnya rendah.
Riset. Riset ini penting. Dan celakanya orang-orang Indonesia lemah di Riset dan Ride. Tak heran negeri ini menduduki urutan 60 dari 61 negara literasi dunia. Tingkat baca minim hanya 0,001. Artinya hanya 1 orang dari 1000 yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu kurang bagus. Maman mencontohkan, seperti Kompas bisa bagus karena didukung oleh pusat dokumentasi yang sangat kuat.
Realible. Menulis itu, apa yang ditulis harus benar. Dari berbagai sisi tak boleh salah. Sebagai contoh, Kompas menghindari betul kesalahan dalam menulis seperti nama orang. Jangan sampai salah ejaan ataupun huruf. Yakin harus benar. Kesalahan bisa berakibat fatal, apalagi jika tentang informasi.
Reflecting. Tulisan harus mempunyai sudut pandang yang komprehensif. Harus memiliki kekayaan sudut pandang.
“Jangan marah, karena beda sudut pandang. Reflecting adalah menghargai perbedaan,” kata Maman yang telah banyak menerbitkan buku ini, seperti Matahati (2012), Bokis 1: Kisah Gelap Dunia Seleb (2012), dan Bokis 2: Potret Para Pesohor (2013), Re (2014).
(W)Riteadalah menulis untuk kebenaran. Hanya kebenaranlah yang membebaskan dari beban. Kebenaran yang tidak dituliskan, tidak akan berpengaruh baik pada banyak orang.
“Kalau tidak menulis, maka hilang pikiran ditelan sejarah," ujar pria asal Makasar jebolan Jurusan Kriminologi Fisip, Universitas Indonesia ini.
Maman menempatkan bahwa menulis adalah tugas kenabian. Menulis adalah berpihak pada kebenaran, berpihak pada hati nurani. Membawa kabar, berita. Menulis itu membaca 10 kali. Baginya kita bisa menulis kalau rajin membaca. Upload setelah baca berulang kali di K. Apakah tulisan kita sudah sesuai hati nurani, apakah tidak membuat Indonesia menjadi rusak?
Menulis itu Sexi
Satu pertanyaan, apakah menulis itu masih sexi?
Kalimat apik disitir oleh Maman dari Pramoedya Ananta Toer, satu pengarang tenar yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia, “Kalau mau mengenal dunia, membacalah. Kalau mau dikenal dunia, menulislah.”
Prinsipnya menurut Maman, jika kita tak menulis kita akan ditelan sejarah. Hilang semua pemikiran-pemikiran dan pndangan-pandangan kita.
“Kata kuncinya adalah coba abadikan apa yang kamu rasakan. Kegalauan kamu, apa yang kamu liat, dengan menulis,” tutur pria yang mengawali menulis dengan tulisan puisi untuk wanita berkulit putih yang ditaksirnya semasa kecil, Raudhatul Jannah.
Menulis sexi karena kita bisa mengaktualisasikan diri dengan lingkungan. Kata kunci menulis itu kejujuran. Jangan campur aduk antara katanya dan nyatanya. Antara opini dan fakta.
“Seperti di Kompasiana, sudah dikasih kode, mana tulisan opini, puisi, liputan dan lain-lain,” ujar Maman mencontohkan.
Sooo, tak dipungkiri bahwa menulis menjadi perlu dan penting. Bukan saja untuk diri sendiri, seperti diakatakan Yayat, menulis itu membuat kita berpikir. Kalau tak menulis otak berhenti, bisa stress,namun menulis adalah juga untuk orang lain/ publik. Untuk kebenaran, untuk aktualisasi hati nurani. Efek positif lainnya tentu akan mengikuti.
“Tulis itu harus tulus, modusnya itu bonus,’ pesan Maman.
Tak ada alasan lagi untuk tidak menulis. Dan patut diusung bersama-sama hestek Isjet yang telah lama dicanangkannya di akun medsosnya, #ayonulis ayooo #bikinrame ini hestek!!!
#SalamMenulis #WeEatWeWrite
@rahabganendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H