Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bikin Pasar Apung di Pesing, Kenapa Tidak?

21 Desember 2014   03:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_342298" align="aligncenter" width="580" caption="Berjualan dekat dengan lintasan kereta api. (Foto Ganendra)"]

14190799111761942567
14190799111761942567
[/caption]

Lokasi Berjualan yang Minim

Berdesakan lapak jualan di pasar tentu menjadi pemandangan umum. Namanya juga pasar, bahkan siapapun dengan ‘bebas' biasa membuka lapak. Namun tentunya lokasi ada batasnya untuk menampung jumlah pedagang yang bertambah dari waktu ke waktu. Bu Andrean salah seorang penjual kelapa parut di Pasar Pesing mengatakan dirinya terpaksa bekerja di lapak orang lain, karena sudah tak ada tempat untuk dijadikan lapak di pasar Pesing.

"Tolong dong mas, bilang ke Pak Jokowi, cariin tempat untuk berjualan, disini sudah penuh," katanya pada saya.

Wah, keren juga ini, Pak Jokowi yang sudah jadi presiden dikeluhin soal pasar rakyat. Bukan ke Gubernurnya. Hmmm apa karena ibu itu tahunya pemerintah itu yaa Pak Jokowi aja yaaa. Entahlah.

"Sudah habis mas, ga ada tempat berjualan lagi disini. Saya aja sampai kerja sama orang. padahal pengen punya lapak sendiri," Jawabnya saat saya tanya soal lokasi lapak.

[caption id="attachment_342299" align="aligncenter" width="580" caption="Berjualan kelapa milik juragan, ingin buka lapak sendiri sudah tak ada lahan. (Foto Ganendra)"]

1419079980172612458
1419079980172612458
[/caption]

Keluhan Bu Andrean itu mewakili suara keinginan pedagang kecil lainnya. Bisa diamati dengan jelas, dampak dari terbatasnya ‘lahan' untuk membangun lapak merembet ke lokasi yang bahkan berbahaya untuk berjualan. Misalnya saja di pinggiran rel kereta api, seperti saya sebutkan di atas. Lantas jika pinggiran rel sudah tak memungkinkan lagi, kemana mau membuka lapak jualan?

Wah bisa-bisa mereka berjualan di atas rel kereta api! Di atas rel! Seperti yang terjadi di Pasar Talad Rom Hub atau "Pasar Payung Tertutup" di Thailand. Akibat terbatasnya lahan di perkotaan, terpaksa berjualan di rel kereta api! Jadi saat rel lengang, mereka bisa berjualan di atasnya. Dan saat kereta api melintas, mereka buru-buru menyingkirkan dagangannya, dalam waktu 3 menitan! Dan itu dilakukan setiap hari 8 kali kereta yang melintas. Konon pasar ini malah menjadi lahan wisata turis. Namun tetap saja warga pedagang diposisikan dalam kondisi yang berbahaya setiap harinya, termasuk para pembeli. Lihat saja videonya DISINI. Ngeriii aah hehee.

Pasar Apung Wisata

Beragam kendala di atas, seperti sampah, lahan berjualan yang terbatas hingga di pinggiran rel kereta api mungkin bisa diberdayakan lokasi di atas air! Saat tanah lapang sudah tidak ada, sementara pasar rakyat berkembang seiring waktu. Berkembang perekonomiannya berkaitan pelaku bisnis di dalamnya. Sungai dengan debit yang lumayan bisa dikondisikan dan dibangun menjadi sebuah pasar rakyat. Tak usah muluk-muluk seperti pasar apung di kota besar lainnya, atau bahkan di Venesia Italia. Karena pasar apung ini bertujuan untuk membuka solusi bagi keterbatasan lahan yang ada sekarang ini. Berjualan di atas air dengan menggunakan perahu atau semacamnya. Saat ini perahu-perahu kecil beroperasi di sungai Pasar pesing ini. Keperluannya hanya mengangkut penumpang yang mesti memutar jalan. Jadi untuk mempersingkat waktu. Hanya dengan biaya Rp. 1000,- saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun