Progres kelola PT Kereta Api Indonesia (KAI) semakin memikat pasca pandemi. Baik dari segi layanan maupun fasilitas. Lambat laun, peningkatan itu semakin berkelas, mengikuti semangat standar kelas dunia. Ini sekelumit cerita perjalanan manis saya, bersama kereta milik KAI saat mudik 2024, tahun ini.
PELAN-pelan tas ransel di punggung saya taruh di lantai depan meja boarding pass. Saya ikut membantu cek isi dompet di tangan kakak saya. Perempuan itu terlihat panik. Beberapa kartu sudah dikeluarkan dari dalam dompetnya. Namun tak ditemukan benda yang dicarinya, KTP.
"Kalau ga ada, ada foto KTPnya gak Bu?" terdengar suara pria petugas boarding itu.
"Oiya, bisa ya pak? Ada, ada,"Â jawab kakak.
Sejurus kemudian dia segera membuka file di smartphonenya. Ketemu. Lalu ditunjukkan ke petugas. Â
"Ibu mundur dikit, saya akan foto," kata petugas itu.
Sejurus kemudian, tiket cetak kereta Argo Semeru 18 rute Jakarta -- Yogyakarta, berhasil di tangan. Lega rasanya. Rasa panik hilang.Â
Insiden pagi pada Rabu 3 April 2024 itu pengalaman pertama bagi saya dan kakak, tak membawa kartu tanda pengenal (fisik). Jadi wajar kalau kami panik. Untung petugas membantu menangani dengan baik.Â
Saya tengok jarum angka di jam tangan saya. Masih ada waktu 45 an menit dari waktu jadual keberangkatan jam 06.20 WIB. Â
Setelah menerima koper-koper dan tas bawaan dari porter, kami berempat bergegas "scaning" lalu masuk menuju ke peron atas. Peron Stasiun Gambir, Jakarta Pusat itu, cakep menghadap langsung megahnya "puncak emas" Monumen Nasional.Â
Perjalanan Memanjakan Penumpang Â
Saya terbangun oleh getaran smartphone dari dalam jaket. Sebuah nama tertera, Ibu. Suara dari seberang terdengar menanyakan, "Jam berapa sampai?"Â Â
Aku menengok jam tangan, jam 10.25 WIB. Masih sekitar 2 jam lebih sampai tujuan, dari jadual yakni 12.54 WIB di Stasiun Tugu Yogyakarta.Â
Lalu obrolan berlanjut menanyakan "tetek bengek" lainnya. "Ntar mau dimasakin apa? Berapa hari mudiknya?" Dan banyak lagi.
Begitulah ibu. Setiap saya mudik, gak sabaran pengen ketemu. Selalu bersemangat saat mengobrol. Tentu saya senang. Saya merasakan kasih sayangnya melalui suara-suara kerinduan yang diungkapkannya. Maklum saya termasuk "bandel", jarang pulang/ mudik.
Kondisi di dalam gerbong kereta Argo Semeru eksekutif sangat nyaman. Sejuk AC, ketenangan dari gangguan suara deru kereta, disertai dengan ketenanan penumpang lain yang asyik dengan kenyamanannya masing-masing. Tak ada hal-hal yang berpotensi mengganggu obrolan dengan ibu.Â
Obrolan dengan ibu selalu menjadi cerita manis untuk diimgat, kapan pun dan dimana pun.
Sambil rebahan, saya menyelonjorkan kaki. Menaruh tapak kaki pada pijakan bawah yang tersedia. Bangku empuk, sedikit saya rebahin. Benar-benar posisi yang "PeWe" untuk bertelponan.
Bangku "sofa" warna biru muda yang bersih itu membuat kesan suasana ceria. Â Seakan memberi ajakan pada penumpang, "Nikmati hari dengan ceria" hehee.
Ditambah pemandangan adem persawahan menghijau di bawah langit biru, yang hari itu sedang cerah-cerahnya. Semakin membawa perjalanan bak sedang melintas awan.
Obrolan tiba-tiba terputus. Ternyata  smartphone "lowbat". Charger saya raih dari dalam tas selempang kecil. Lalu mengisi daya baterei melalui colokan yang tersedia dekat kaca kereta.  Rencananya saya akan menelpon kembali, nanti.
Sementara di samping, adik saya tertidur pulas di kursi 2B exsecutive-nya. Nampaknnya kesejukan ruangan gerbong 18 membuatnya bermimpi indah.
Sambil menunggu "nge-charge", saya memesan kopi dari petugas layanan yang kebetulan lewat. Saya tak hendak melanjutkan tidur, saya memilih untuk menikmati pamandangan cantik luar kereta selama sisa waktu perjalanan.
Jarum mendekati jam 13.00 WIB kurang  6 menit. Tepat waktu, Argo Semeru yang saya tumpangi melambat dan berhenti di stasiun besar kebanggan orang Jogja.
"Bapak, mau ke pintu keluar? Ke arah sana," kata seorang petugas stasiun.
Tak sadar ternyata saya dan saudara-saudara salah jalur, masuk arah pintu Commuterline gegara mengikuti arus yang ternyata penumpang Commuterline.
Untung dikasih tahu bapak petugasnya. Mungkin dia tahu, kalau kami mau keluar stasiun karena bawaan tas yang banyak. Bawaan khas orang mudik.
"Ooh, baik. Matur nuwun pak,"Â kata saya seraya putar balik.
Kasih KAI, Tak Sebatas Panjang Rel KeretaÂ
Naik kereta momen mudik lebaran tahun 2024 itu menambah sederet pengalaman mengesankan yang sudah sering saya alami.Â
Setidaknya ada  6 faktor yang membuat saya ketagihan naik kereta api jarak jauh.
1. Soal waktu. Ketepatan waktu (Selisih pun masih dalam batas toleransi) memudahkan saya untuk merencanakan waktu perjalanan.
2. Kenyamanan ruangan sejuk selama perjalanan, membuat perjalanan menyenangkan. Tidak membuat lelah malah membawa betah serasa di kendaraan pribadi.Â
3. Kebersihan, kerapian dalam gerbong kereta (bahkan kelas ekonomi sekalipun) membuat kenyamanan tersendiri. Perjalanan tidak terasa "bete" karena kondisi bersih rapi yang bikin betah.
4. Keramahan layanan sejak masuk stasiun sudah terasa. Mulai dari boarding pass. Layanan petugas tiket, atau bantuan sekecil apapun dari petugas, menjadi sangat berharga. Justru hal-hal kecil, detil memberi nilai lebih. Kalau yang kecil-kecil saja diperhatikan, apalagi yang besar.
5. Sarana dan fasilitas penunjang seperti ruang tunggu, bangku yang representatif sampai kebersihan toilet, ruangan lainnya sangat terawat. Â Hal ini menjadi poin dasar bagi saya. Pertimbangannya, tentu melakukan perjalanan itu, gak ada yang mau "krodit" ribet, susah karena kurangnya fasilitas umum.
6. Keamanan yang memadai selama menggunakan kereta cukup terjamin. Belum pernah saya kehilangan barang, baik saat  di dalam stasiun maupun saat  barang di dalam bagasi atas kereta.
Hal-hal di atas adalah paket poin yang membuat saya  tak pernah ragu naik kereta bahkan saat momen mudik lebaran yang potensial lonjakan penumpang.
Semua layanan dan kondisi kondusif itu, sebagai wujud "kasih KAI" kepada para penumpangnya. Kasih yang mengindikasi makin membaiknya layanan kereta api yang dikelola KAI itu, dimulai dari stasiun keberangkatan, perjalanan berkereta sampai stasiun tujuan.
Dengan kata lain "kasih KAI" bukan saja diberikan selama perjalanan "rel" berkereta. Namun sudah diberikan sejak saya berada di dalam stasiun dari/ke. Â Memuliakan penumpang sebagai "tuan" yang hadus dilayani sebaik-baiknya. "Memanusiakan" para penumpang sebagai pengguna jasa.
Itu sebabnya saya mengandalkan  trasportasi jarak jauh kereta api. Cocoklah bagi saya yang "sayang" mengeluarkan dana lebih untuk tiket pesawat terbang. Kecuali keperluan perjalanan yang mendesak waktunya.
Tentu sebagai pengguna setia transportasi berbasis kereta (Commuterline, KAJJ), saya senang dan berterima kasih pada KAI sebagai pengelola yang terus meningkatkan standarnya guna memanjakan penumpang.
Seperti perubahan layanan tahun ini pada kereta ekonomi menjadi new generation dan stainless steel new generation. Â Ada peggantian kursi tegak, kamar mandi, interior gerbong, dan stop kontak. Perubahan yang bagi saya menambah kenyamanan berkereta dengan tarif ekonomis.Â
Kondisi kondusifnya KAI yang saya rasakan saat ini tentu tak terlepas dari perjalanan panjang pengelolaannya. Pahit manis perusahaan besar, mematangkan KAI sebagai penyedia transportasi layanan publik.
Pengalaman pahit seperti saat badai pandemi medio  Mei-Juni 2020 silam, sangatlah mendalam. Dimana KAI terpaksa harus menghentikan semua operasi kereta jarak jauh.  Sementara Commuterline pun dilakukan pembatasan yang berdampak pada kuantitas penumpang. Demi tidak terjadi penyebaran Covid-19.
Kondisi yang menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan KAI. Tahun yang benar-benar sulit mengingat besarnya kebutuhan dana operasional. Hebatnya KAI mampu untuk tidak melakukan PHK terhadap puluhan ribu karyawannya saat pandemi.
Saat kondisi yang penuh tekanan pada 2020 itu, hadirlah sosok baru yang mengomandoi KAI. Sosok yang membawa perubahan pada wajah, performa KAI pada ragam sisi.
Sosok "Transformer" di Balik Sukses KAI
Adalah sosok Mas Didiek Hartantyo yang menjabat Direktur Utama (Dirut KAI) pada tahun 2020. Tahun sulit dimana KAI meghadapi tantangan besarnya.
Di tangan sosok "transformer" dari seorang Bankir berubah ke Masinis" itu, KAI mengubah paras dengan melakukan beberapa transformasi digital nan krusial.
Sosok "Ksatria Roda Besi" (jika saya boleh menyebut demikian) tak tanggung-tanggung dalam menjalankan amanah, yang diembannya.
Target besarnya membangun kereta api dengan standar kelas dunia, memotivasi  pria kelahiran 1961 itu  menjalankan transformasi digital. Diawali dengan merekrut konsultan nomor satu dunia, yaitu McKinsey.
Selanjutnya  KAI meng-upgrade secara khusus, yaitu angkutan penumpang, angkutan barang, rolling stock, procurement, dan operational excellence. Disusul bidang infrastructure maintenance.
Bukan hanya itu, perubahan dilakukan juga dengan "mendigitalisasi" cara kerja dan berpikir SDM KAI. Bekerja berbasiskan data.
Terus terang saya membayangkan beratnya melakukan perubahan "radikal" menyesuaikan standar kelas dunia. Â Mengupgrade strategi agar bisa diterjemahkan, lalu dieksekusi dengan baik oleh karyawan itu gak mudah.
Penasaran gimana cara pendekatan leadership Mas Didiek kepada karyawan? Kayak apa  ya?
Lalu kata kunci apa yang membuat Mas Didiek bisa sedemikian lugas mampu menjadi sosok "transformer", dari bankir ke masinis?
Atas respon jawabannya, saya ucapkan terima kasih. Â Salam sukses KAI!
@rachmatpy
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H