Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ironi Anies, Plot Twist Pilkada Jakarta 2024

31 Agustus 2024   02:40 Diperbarui: 31 Agustus 2024   02:47 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Survey menempatkan elektabilitas eks Gubernur Jakarta, Anies Baswedan bertengger di puncak "klasemen" elektabilitas bacalon Pilkada Jakarta 2024. Melampaui nama Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok dan jaun atas Ridwan Kamil yang resmi maju Pilkada Jakarta diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Namun ternyata modal elektabilitas tinggi ditambah portofolio kontestan Pilpres 2024 itu tidak serta merta menjadi kartu As yang dipandang partai politik (parpol) melirik namanya maju ke Pilkada Serentak 2024. Elektabilitas moncer Anies di atas awan itu, karam di detik terakhir pendaftaran bacalon Pilkada 2024, bahkan di semua wilayah. Plot twist yang ironis?

SELAMA ini faktor elektabilitas, "dipuja-puja" parpol sebagai salah satu acuan kunci yang menjadi pertimbangan partai politik (parpol) mengusung kandidat untuk gelaran Pemilu seperti Pilkada (Pilihan Kepala Daerah) 2024 ini. 

Elektabilitas tinggi dipandang berpotensi memberi nilai elektoral yang tinggi pula. Calon akan berprosentase besar memberi kemenangan laga pilkada.

Tapi hukum itu, tidak berlaku kali ini di gelaran Pilkada 2024, wabil khusus di Jakarta. Saya menyebutnya, kali ini elektabilitas "diabaikan". Anomali?

Sebelumnya saya disclaimer dulu bahwa posisi saya adalah pemilih netral. Saya pemilih di Jakarta. Saat ini tidak berafiliasi pada paslon (pasangan calon) tertentu. Jadi tulisan ini berdasar pada kacamata warga pemilih murni yang sedang menimbang-nimbang calon yang ada.

Pada tenggat terakhir waktu pendaftaran Kamis, 29 Agustus 2024 lalu, nama Anies tidak tercatat pada KPUD Jakarta sebagai peserta Pilkada 2024 Jakarta.

Tarik ulur, pertimbangan parpol yang memiliki hak mengusung paslon, nampaknya "mengeliminasi" nama Anie dari daftar nama bacalon Pilkada 2024 Jakarta.

Meski nama Anies sempat mencuat di isu perbincangan publik warganet, dipasangkan dengan Rano Karno, nama Anies rontok. PDI Perjuangan akhirnya mengusung kadernya sendiri Pramono Anung dan Rano Karno sebagai paslon gubernur/ wakil pada Pilkada Jakarta.

Bahkan sebelumnya, nama Anies sempat digadang-gadang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebelum partai itu "ngeblend" dengan KIM Plus.

Garansi kemenangan yang akan diraih jika mengusung Anies, nampaknya kalah menggiurkan dibanding tawaran KIM Plus pada partainya Sohibul Iman tersebut. Isu yang berkembang seeh tawaran posisi jabatan Menteri.

Di samping itu, PKS sulit "cross ideologi" dan berkoalisi dengan PDI Perjuangan, partai non KIM Plus yang tersisa. Karena waktu itu PKS harus berkoalisi dengan partai lain guna mengusung paslon.

Pasalnya PKS tak mampu memenuhi ambang batas 20 % untuk bisa mengusung paslon (Saat itu, belum ada putusan Mahkamah Konstitusi/ MK).

Ironi Anies?

Saya menyebutnya sebuah ironi -- kalau gak mau disebut tragis hehee. Saat Mahkamah Konstitusi (MK) membuka keran demokrasi dengan keputusan yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024 lalu. 

Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024  dan 70/PUU-XXII/2024. Kususnya putusan nomor 60, tentang ambang batas pencalonan kepala daerah di Pilkada.

MK mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Untuk Jakarta dari ambang batas 20% menjadi 7,5%. Artinya PDIP dan PKS yang awalnya tak bisa mengusung sendirian, menjadi memenuhi syatrat untuk mengusung paslon tanpa koalisi.

Namun keran kemudahan untuk mengsung paslon tersebut tetap tak membuat Anies bisa melenggang andil kontetasi Pilkada.

Pasalnya PKS ogah-ogahan. Sementara PDIP lebih memilih mengusung kader sendiri. PDIP memang konsisten sebagai partai kader. Dimana kader diutamakan untuk berkontestasi.

Lagi pula para penukung dan kader PDIP sulit melupakan residu Pilkada Jakarta tahun 2017 yang keras dengan sentiment agama. Dimana  politik SARA merebak. Pada momen itulah, Anies distempeli "Bapak politik identitas" karena menggunakan politik identitas. Jurus ini membuat BTP kalah waktu itu.

Di samping itu, agak janggal rasanya PDIP mengusung Anies, sementara kadernya yakni BTP/ Ahok eks gubernur Jakarta mempunyai elektabilitas lumayan moncer.

Meski naga-naganya PDIP kucing-kucingan melirik Anies, namun hanya pertimbangan politis yang membuat PDIP tidak mengusung Anies dan BTP. Rumor yang merebak, demi menghindari perpecahana. Entah apa alasan sebenarnya.

Jadi keran demokrasi yang terbuka, tidak serta merta membuat warga pemilih mendapat kemudahan memilih paslon yang diinginkannya. Kandidat tergantung sodoran parpol. Meski semakin banyak parpol yang dimudahkan untuk mampu mengusung paslon tanpa koalisi. Politik tetap bermain.

Tentu ada keterkaitan dengan politik masa depan menyangkut "bertumbuhnya kader internal partai." Pasti lebih diutamakan kader (baca: pilihan sendiri) daripada merawat portofolio tokoh lain yang bahkan tidak menguntungkan.

Bagaimana pun politik Indonesia cenderung didesain untuk membentuk kepeminpinan nasional pada pilpres nasional 5 tahun ke depan.

Masuk akal, apabila saat ini Anies dihambat pertumbuhannya. Mengingat banyak profil calon pemimpin masa depan lain yang digadang-gadang. Sebut saja misalnya Gibran dan kader parpol lainya. 

Anies Mau Kemana?

Anies sepertinya gak akan mungkin mengubur mimpinya menjadi R1 negeri ini. Untuk menggapai kursi tertinggi itu, Anies butuh menggaungkan namanya terus menerus di kancah perpolitikan tanah air.

 Jika tidak, nama Anies akan tenggelam. Namanya akan dilupakan orang. Mimpi menggapai kursi singgasana istana pun makin menjauh dan kabur.

Jalan untuk merawat Namanya di benak orang, bisa melalui cara politik formal atau non formal.

Politik formal mesti melalui partai, baik menjadi kader partai atau pun mendirikan partai sendiri. Hmmm sepertinya Anies gak terlalu berminat masuk parpol. 

Mengingat selama ini, jalannya pada jalur indepenen. Kalau minat, sudah dari dulu kali masuk parpol. Atau selama ini merasa gak urgen masuk parpol? Bisa jadi.

Sementara jalur non formal, bisa menjadi tokoh masyarakat non partai untuk memelihara ide-idenya. 

Sekarang tergantung pada Anies sendiri untuk bersikap guna mempersiapkan masa depan politiknya.  Sepertinya publik belum tahu, apa sebenarnya kemauan Anies.

Bagaimana menurut teman-teman kompasianer? Setuju?

@rachmatpy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun