Di samping itu, PKS sulit "cross ideologi" dan berkoalisi dengan PDI Perjuangan, partai non KIM Plus yang tersisa. Karena waktu itu PKS harus berkoalisi dengan partai lain guna mengusung paslon.
Pasalnya PKS tak mampu memenuhi ambang batas 20 % untuk bisa mengusung paslon (Saat itu, belum ada putusan Mahkamah Konstitusi/ MK).
Ironi Anies?
Saya menyebutnya sebuah ironi -- kalau gak mau disebut tragis hehee. Saat Mahkamah Konstitusi (MK) membuka keran demokrasi dengan keputusan yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024 lalu.Â
Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 Â dan 70/PUU-XXII/2024. Kususnya putusan nomor 60, tentang ambang batas pencalonan kepala daerah di Pilkada.
MK mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Untuk Jakarta dari ambang batas 20% menjadi 7,5%. Artinya PDIP dan PKS yang awalnya tak bisa mengusung sendirian, menjadi memenuhi syatrat untuk mengusung paslon tanpa koalisi.
Namun keran kemudahan untuk mengsung paslon tersebut tetap tak membuat Anies bisa melenggang andil kontetasi Pilkada.
Pasalnya PKS ogah-ogahan. Sementara PDIP lebih memilih mengusung kader sendiri. PDIP memang konsisten sebagai partai kader. Dimana kader diutamakan untuk berkontestasi.
Lagi pula para penukung dan kader PDIP sulit melupakan residu Pilkada Jakarta tahun 2017 yang keras dengan sentiment agama. Dimana  politik SARA merebak. Pada momen itulah, Anies distempeli "Bapak politik identitas" karena menggunakan politik identitas. Jurus ini membuat BTP kalah waktu itu.
Di samping itu, agak janggal rasanya PDIP mengusung Anies, sementara kadernya yakni BTP/ Ahok eks gubernur Jakarta mempunyai elektabilitas lumayan moncer.
Meski naga-naganya PDIP kucing-kucingan melirik Anies, namun hanya pertimbangan politis yang membuat PDIP tidak mengusung Anies dan BTP. Rumor yang merebak, demi menghindari perpecahana. Entah apa alasan sebenarnya.