Perempuan kelahiran Bangli, Bali yang bukunya difilmkan berjudul "Burung Perkutut dan Sopir Taksi" itu, menekankan manfaat positif karya sastra horor. Â
Sastra horor, bermanfaat positif seperti dari sisi sosial, edukatif, psikologis dan lain-lain.
Contohnya "Ksah burung perkutut dan sopir taksi", karyanya. Cerita yang di film berjudul "Petaka burung perkutut" itu, bercerita kemalangan seorang kontraktor sukses yang beralih jadi sopir taksi. Kemalangan ditambah keluarganya yang meninggal satu persatu berturutan.
Kisah memberi pesan agar tidak menelan mentah-mentah segala informasi yang diperoleh terkait horor peristiwa. Cerita burung perkutut juga memberi sisi edukatif bagi Andani bahwa perkutut (kukila) adalah salah satu  simbol kemapanan orang Jawa. Â
Demikian juga pengalamannya  saat membeli jagung depan kuburan yang berbuntut seperti  perasaan dikuntit seseorang. Cerita yang memberi manfaat psikolgis,  membangun keberanian dan ketahanan mental. Masih banyak cerita horor dengan manfaatnya yang dialami Andani.
Oleh karenanya Andani mengajak para penulis karya sastra horor, menulis sesuatu yang baik. Sastra yang baik, film yang baik.
Caranya dengan memasukkan hal-hal positif dalam setiap karyanya. Harapannya dapat menghapus stigma negatif yang melekat pada karya horor.
Dasarnya adalah, pemikiran bahwa problem yang  menciptakan image negatif sastra horor adalah penulisnya.
Penulis naskah, sutradara, produser bahkan jurnalis. Mereka-mereka yang andil dalam membuat citra cerita, film horor itu akan baik atau buruk. Â
Citra inilah yang akan ditangkap oleh masyawakat penikmatnya.
Saya jadi ingat seorang penulis di Kompasiana bernama akun  Tia Sulaksono saat mengomentari tulisanku tentang pengumuman event sastra horor ini. Tulisannya ini, [LitKom] Mendiskusikan Sastra Horor, Kenapa Enggak?