Tak kalah menarik adalah penampilan para pembaca puisi di sela acara. Ada teatrikal pembacaan puisi oleh penyair Boyke Sulaiman, (Boy) dengan lonceng kecilnya yang membuat nuansa horor "hinggap" Â memenuhi ruangan acara. Â
Juga penampilan Elisa Koraag, fiksianer Kompasiana yang membawakan puisi Chairil Anwar berjudul "Cerita Buat Dien Tamaela".
Ditambah penampilan Pak Puguh, penyair asal Wonogiri yang aktif di Dewan Kesenian Banten, membawakan puisi karya WS Rendra berjudul "Mastodon dan Burung Kondor," menutup akhir acara. Â
Kilas pandang pembacaan puisi dan berlangsungnya acara, bisa Anda tonton dalam video yang saya buat di bawah ini. Video juga saya posting di kompasiana berjudul "Kompasianer Mengurai Kerisauan & Berbagi Perspektif, dalan diskusi Sastra Horor".Â
Diskusi yang juga tercetus karena keprihatinan terhadap realitas sastra horor yang dianggap "low class", murahan, tak bermutu. Seiring dengan pencipta karya yang masih fokus pada sisi eksploitasi pada ketakutan dan sensualitas Perempuan.
Menjai PR (Pekerjaan Rumah) bersama, bagaimana mengangkat genre sastra horor ke tingkat yang setara dengan karya sastra genre lainnya.
Berikut ini kira-kira beragam perspektif yang terlontar dalam diskusi yang dimoderatori oleh Nanang, seorang penyair kelahiran 6 Agustus, yang menjabat sebagai Pimpinan perusahaan Pojok TIM. Â Â
Perspektif Horor, Sebuah KerisauanÂ
Dalam diskusi yang berlansung mulai jam 14.00 wib itu, saya menangkap ada kerisauan yang dirasakan Yon Bayu terhadap eksistensi karya sastra genre horor. Sebagai pemateri utama, Yon Bayu banyak memberikan perspektifnya terkait karya sastra horor.
Kerisauan yang dirasakannya saya simpulkan, setidaknya ada dua hal.