Tepung gaplek (singkong) dibumbui dan diolah menjadi semacam bubur. Di Wonogiri, gaplek biasanya diolah menjadi nasi tiwul. Jadi bolehlah dibilang, pelengkap pindang ini, bubur tiwul hehehe.
Sebagai pembungkusnya, Mbok Sinem tetap menggunakan daun jati. Tidak menggunakan kertas minyak atau daun pisang. Memang cocok menggunakan daun jati yang bertekstur kasar beraroma khas. Padahal menurut Mbok Sinem, daun jati makin susah memperolehnya.
Soal kuantitas dagangan, dulu Mbok Sinem bisa menyembelih 5-6 ekor kambing dalam sehari. Sekarang seiring usia, menyembelih satu ekor saja dibantu anak-anaknya.
Daging dijual terpisah. Dijual ke padagang sate. Kepala, tetelan tulang, kaki, jeroan diambil untuk dimanfaatkan sebagai pindang.
Mengawali berjualan pindang tahun 1985. Mengalami saat pindang dibanrol Rp. 500 perak sebungkus.
Sekarang dalam sehari, omset Mbok Sinem berkisar Rp. 600 ribu. Tergantung stok bahan berapa banyak.
Kepiawian mengolah pindang, diwarisi dari neneknya. Waktu kecil, Mbok Sinem sering melihat dan membantu neneknya memasak pindang. Bahkan kakinya, sempat terguyur kuah kaldu panas, saat neneknya mengolah pindang kambing. Kejadian yang tak membuatnya kapok. Bahkan malah meneruskan usaha neneknya itu, hingga sekarang.
Nuansa Humanis, Menggelar Lapak di DapurÂ
Ruangan dapur rumah Mbok Sinem, luas khas dapur rumah kampung di desa-desa. Selain digunakan untuk memasak, dapur itu, sekaligus menjadi warung jualan.
Beralas meja kayu persegi panjang, ada wajan berukuran besar, yang digunakan sebagai wadah tempat pindang. Sementara di sisinya ada baskom berukuran besar berisi "bubur" gaplek.
Sosok perempuan lansia usia 75 tahun itu, duduk di "dingklik" (alas duduk rendah, terbuat dari kayu). Nampak terlihat sehat dan bugar. Suaranya lantang saat aku berbincang dengannya.