Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 201 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kisah Mbok Sinem, Maestro Pindang Kambing, Kuliner Langka nan Legendaris

8 Juli 2024   03:42 Diperbarui: 20 Juli 2024   03:42 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbok Sinem, penjual Pindang Kambing, di rumahnya, Ngadirojo, Wonogiri. DOKPRI

Kuliner tradisonal legendaris yang unik, Pindang Kambing di ambang senjakala. Makin langka pembuat dan penjualnya. Di tangan Mbok Sinem, “nyala api” kuliner khas Wonogiri itu, bertahan eksis melawan redup. 

DIKSI "Maestro" sengaja aku tulis memakai tanda petik. Karena menurutku gak berlebihan rasanya, Mbok Sinem kunilai demikian. Dedikasinya merawat eksistensi pindang kambing, melalui usaha kecilnya selama hampir 4 dekade, layak diapresiasi.

Betapa tidak, saat kuliner warisan leluhur ini kian langka, dan jarang orang melirik membuatnya, Mbok Sinem tetap setia memasak dan "nguri-nguri" kuliner lokal khas Wonogiri itu.

Uniknya lagi, jualan pun hanya dilakukan di dapurnya yang bergaya "kampung". Face to face. Tanpa marketplace, tanpa jasa aplikasi penjualan online.

Pindang Kambing. Dokpri 
Pindang Kambing. Dokpri 

Aku merasa perlu sharing kuliner unik yang diminati para pelancong dari Solo, Klaten, Sukoharjo dan sekitarnya ini.

Sebelumnya, boleh tonton video Mbok Sinem  artikel link ini ya : Berburu Kuliner Langka, Pindang Wedhus 

Berikut kisahnya, hasil ngobrol sore dengan Mbok Sinem di rumahnya, dusun Sambirejo, Ngadirojo Kidul, Wonogiri. Obrolan yang terekam jelas, saat bertemu dengannya, tahun lalu di dapur rumahnya.

Bersyukur, beliau masih jualan saat ini. Balasan dari pesanku melalui Wattshap pada siang hari Minggu 7 Juli 2024 kemarin, mengkonfirmasi.

"Masih jualan," bunyi jawaban balasan itu.

Kontak nomor hanphone itu, dipegang anak-anaknya. Digunakan untuk memudahkan pelanggannya menghubunginya.

Sebelumnya mari kita mengenali apa itu Pindang Kambing.

Di bawah ini sekilas video reelsnya.


Spanduk di depan rumah Mbok Sinem. DOKPRI
Spanduk di depan rumah Mbok Sinem. DOKPRI

Berbahan Dasar "Sisa" Kambing Bukan Daging

Dari nama, kalau gak tersemat kata "kambing", mungkin 'Pindang" banyak yang berasumsi itu adalah olahan berbahan dasar ikan.

Dulu, waktu masih kecil, aku menyebutnya Petis. Tak heran banyak orang menyebutnya Pindang Petis Kambing. Oke, dari nama, orang-orang lazim menyebut Pindang.

Pindang kambing bahan utamanya adalah kambing tapi bukan dagingnya. Yang digunakan adalah "sisa" seperti kikil, jeroan, kaki, tetelan tulang, dan kepala.

Bubur Gaplek Pindang Kambing olahan Mbok Sinem. DOKPRI
Bubur Gaplek Pindang Kambing olahan Mbok Sinem. DOKPRI

Ada dua macam olahan pinang Mbok Sinem. Pertama, pindang yang terbuat dari gaplek yang dikasih kaldu tulang kambing.

Kedua, pindang ulam bacem. Ini daging tetelan dan kikil yang di-bacem, dimasak menggunakan rempah.

Pindang Kambing olahan Mbok Sinem. DOKPRI
Pindang Kambing olahan Mbok Sinem. DOKPRI

Bahan-bahan "sisa" kambing direbus, dipotong kecil-kecil lalu dibumbui. Seperti ketumbar, laos, bawang putih, kemiri, daun salam, dan lain-lain.

Tepung gaplek (singkong) dibumbui dan diolah menjadi semacam bubur. Di Wonogiri, gaplek biasanya diolah menjadi nasi tiwul. Jadi bolehlah dibilang, pelengkap pindang ini, bubur tiwul hehehe.

Sebagai pembungkusnya, Mbok Sinem tetap menggunakan daun jati. Tidak menggunakan kertas minyak atau daun pisang. Memang cocok menggunakan daun jati yang bertekstur kasar beraroma khas. Padahal menurut Mbok Sinem, daun jati makin susah memperolehnya.

Soal kuantitas dagangan, dulu Mbok Sinem bisa menyembelih 5-6 ekor kambing dalam sehari. Sekarang seiring usia, menyembelih satu ekor saja dibantu anak-anaknya.

Daging dijual terpisah. Dijual ke padagang sate. Kepala, tetelan tulang, kaki, jeroan diambil untuk dimanfaatkan sebagai pindang.

Mengawali berjualan pindang tahun 1985. Mengalami saat pindang dibanrol Rp. 500 perak sebungkus.

Sekarang dalam sehari, omset Mbok Sinem berkisar Rp. 600 ribu. Tergantung stok bahan berapa banyak.

Kepiawian mengolah pindang, diwarisi dari neneknya. Waktu kecil, Mbok Sinem sering melihat dan membantu neneknya memasak pindang. Bahkan kakinya, sempat terguyur kuah kaldu panas, saat neneknya mengolah pindang kambing. Kejadian yang tak membuatnya kapok. Bahkan malah meneruskan usaha neneknya itu, hingga sekarang.

Nuansa Humanis, Menggelar Lapak di Dapur 

Ruangan dapur rumah Mbok Sinem, luas khas dapur rumah kampung di desa-desa. Selain digunakan untuk memasak, dapur itu, sekaligus menjadi warung jualan.

Beralas meja kayu persegi panjang, ada wajan berukuran besar, yang digunakan sebagai wadah tempat pindang. Sementara di sisinya ada baskom berukuran besar berisi "bubur" gaplek.

Sosok perempuan lansia usia 75 tahun itu, duduk di "dingklik" (alas duduk rendah, terbuat dari kayu). Nampak terlihat sehat dan bugar. Suaranya lantang saat aku berbincang dengannya.

Mbok Sinem. DOKPRI
Mbok Sinem. DOKPRI

Di dapur itulah, beberapa tahun belakangan ini, Mbok Sinem "menggelar lapak". Dulu, berjualan di pasar. Seiring usia, jualan pindah ke rumahnya sendiri. Jualan pun tak sebanyak dulu.

Setiap sore Mbok Sinem "istiqomah" melayani pelanggan setia racikan makanan berbungkus daun jati itu.

Sore itu, aku datang persis saat Mbok Sinem baru kelar menata dagangannya. Pas banget, pindang masih hangat. Ada sekitar 5 pembeli yang menunggu. Setelahnya satu-satu datang silih berganti. Biasanya sekitar Maghrib, udah ludes.

Mbok Sinem, cekatan membungkus pesanan. Satu porsi sampai saat ini dijual murah, hanya Rp. 5000,- saja. Ambil untung dikit saja. Katanya kadang malah "gak keliatan uangnya".

"Ngomong karo genduk, laa iki duit glepung karo wedus'e kok ra kethok tho nduk. Rapopo sesuk yo kethok," ceritanya sambil ketawa.

Artinya kira-kira, "Ngomong sama "genduk" (panggilan anak perempuannya), laa ini uang tepung (gaplek) sama kambingnya kok nggak keliatan tho Nduk. Gak apa-apa, besok juga keliatan".

Satu porsi terdiri dari beberapa tetelan kambing, dibalur dengan bubur gaplek. Lalu dibungkus daun jati. Dan ditusuk lidi.

Sambil melayani pembeli, Mbok Sinem yang jualan sejak tahun 1985 itu ramah mengobrol.

Ada keceriaan suasana dalam interaksi itu. Tentu saja pembelinya rerata pelanggan yang sudah dikenalnya. Meski datang dari luar kampung atau beda kecamatan.

Tak sedikit yang terlebih dulu, order via WA. Biasanya pelanggan yang khawatir gak kebagian pindang, order melalui ponsel anak-anaknya. Maklum saja, jualannya hanya saat sore selepas Ashar. Biasanya Maghrib sudah habis.

Begitulah kesehariannya. Dalam sehari memang hasillnya gak sebanyak dulu. Seiring kuantitas dagangannya yang gak sebanyak dulu.

Keramahan, keceriaan Mbok Sinem sepertinya buah dari kecintaannya bisa meneruskan usaha turun temurun keluarganya itu.

Dalam bentuk dan rasa yang mirip-mirip, pindang kambing mungkin ada di kota-kota lain sekitar Wonogiri. Namun seperti sangat langka. Kalau ada bisa berburu di pasar tradisional.

Jika Ana penasaran dengan cita rasa etnik makanan ini, silakan mampir kalau main ke Wonogiri.

Lokasinya arah timur dari Kota Wonogiri. Gak jauh dari Terminal Ngadirojo.

Btw, adakah makanan ini di desamu?

Bagi info dong. Salam kuliner.

PINDANG KAMBING MBOK SINEM

Alamat: Dusun Sambirejo RT 001/RW 009, Desa Ngadirojo Kidul, Ngadirojo, Wonogiri, Jawa Tengah. No. Hp. 081329294390

@rachmatpy

BACA JUGA ARTIKEL VIDEO : Berburu Kuliner Langka, Pindang Wedhus 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun