Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 201 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sebuah Inspirasi dari Perempuan, Hadapi Tantangan Dekarbonisasi

20 Juni 2024   22:11 Diperbarui: 20 Juni 2024   22:46 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi emisi karbon.(Kompas.com/SHUTTERSTOCK/DIANA PARKHOUSE)

Gejala efek rumah kaca sebagai akibat tingginya emisi karbon, terutama karbon dioksida (CO2) ke atmosfer, makin terasa. Salah satu indikasinya adalah dampak pada taraf kesehatan yang kian memburuk. "Warning", bahwa mendesak untuk dilakukan mitigasi. Upaya dekarbonisasi  mengurangi emisi karbon, dengan melakukan transisi energi dari "energi kotor" ke "energi bersih", adalah solusi terbaik saat ini. 

SEIRING komitmen pemerintah kita, mewujudkan Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 (atau lebih cepat), penerapan transisi energi yang lebih cepat dan serius, "wajib hukumnya".

Langkah dekarbonisasi (meminimalisir polusi emisi karbon) sebagai jawabannya. Dilakukan melalui penggunaan energi ramah lingkungan (transisi energi) yang akan meningkatkan kualitas udara, menurunkan emisi karbon.

Mengingat fenomena saat ini, segala aktivitas kita, sebagian besar  menyumbangkan emisi karbon. Aktivitas melalui penggunaan bahan bakar fosil/ "energi kotor" yang terbukti polutif, berdampak buruk (peningkatan emisi karbon), terhadap lingkungan.

Transisi energi dilakukan dari energi berbahan fosil beralih ke "energi bersih", Energi Baru Terbarukan (EBT). Sumber EBT sudah banyak ditemukan, seperti energi surya, energi angin, hidroelektrik, dan biomassa.

Khususnya energi biomassa, salah satu jenisnya adalah biogas. Biogas merupakan  energi gas metana hasil fermentasi anaerob oleh bakteri dari limbah organik (kotoran hewan/ manusia, limbah pertanian).

Transisi Energi, Langkah Dekarbonisasi

Menekan emisi karbon, terutama karbon dioksida (CO2), adalah upaya menghindari terjadinya efek rumah kaca. Di sini, "urgensinya" langkah dekarbonisasi.

Dekarbonisasi adalah proses mengurangi atau menghilangkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.  (Sumber: Apa itu dekarbonisasi?) 

Biogas sebagai sumber EBT, merupakan salah satu langkah upaya dekarbonisasi. Mengingat kemampuan biogas mengubah limbah organik menjadi EBT, bersifat ramah lingkungan. Biogas, sejalan dengan konsep netralitas karbon.  

Kiprah Progresif  "Perempuan Biogas" 

Soal biogas, sebagian kecil masyarakat sudah "aplikatif", melalui beragam kelompok tingkat desa, atau pun skala kecil rumah tangga. Meski penerapannya belum masif. Dominasi penggunaan energi berbahan fosil masih kuat (dengan beragam faktor penyebabnya).  

Tentang biogas ini, menarik dicermati kiprah seorang perempuan di Bogor, bernama Sri Wahyuni. Perempuan jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sempat jadi dosen ini, pernah belajar menjadi asisten dosen dari seorang dosen yang mengembangkan biogas di Indonesia. Ternyata ia sudah berkecimpung lama dengan isu biogas.

Kiprahnya mengembangkan produk biodigester yang digunakan untuk pengolahan biogas, membuatnya mendapat julukan 'Ratu Biogas".

Biodigester adalah semacam reaktor pengolahan limbah organik (dari hewan dan tanaman) untuk fermentasi anaerob menggunakan bakteri.

Digester itu memudahkan siapa pun (misalnya peternak, petani), yang ingin "menginstal" biogas secara aman, efesien di rumah atau skala lebih besar.

Kiprah Sri Wahyuni, jika dipikir, bukan saja menggerakkan untuk memulai melakukan transisi energi (ke biogas), namun juga menginspirasi dalam memantik kesadaran kemandirian energi.

Kemandirian energi (penerangan rumah, memasak) dengan biogas yang bisa dimulai dari skala kecil, rumah tangga.   

Dari skala rumah tangga, misalnya memiliki hewan ternak 2 ekor sapi saja sudah bisa dimanfaatkan guna memproduksi "energi bersih" untuk kebutuhan rumahan. Atau minimal memiliki 100 ekor ayam, atau 10-15 kambing, satu rumah bisa terpenuhi kebutuhan "gas/ listriknya". (Sumber: Biogas untuk Rumah Tangga)

Cukup dengan memanfaatkan kotoran hewan-hewan ternak, seperti sapi, ayam, kambing, babi, bahkan kotoran manusia serta limbah organik pertanian (jerami padi, tongkol jagung, eceng gondok).

Menariknya, limbah-limbah bekas olahan biogas, bisa difungsikan dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Pupuk pertanian, pupuk ternak ikan lele dan lain-lain.

Biogas bisa berperan sebagai sarana integrasi, antara kebutuhan energi dengan pupuk pertanian. Juga meningkatkan sektor pangan, melalui pengembangan peternakan hewan-hewan ternak. Mendukung pertanian berkelanjutan.

Biodigester yang dikembangkan Sri Wahyuni, sudah ada belasan lokasi di Bogor. Ada skala RT, skala 3, 10, 50 sampai 100 rumah. Bahkan hingga 1000 rumah untuk mengolah limbah organik menjadi biogas. .   

Sudah dikembangkan pula uji coba kelompok lebih besar, seperti ke pesantren-pesantren (pesantren di Bogor) yang memiiki ribuan santri. "Memberdayakan" kotoran manusia untuk biogas.

Kini melalui perusahaan yang didirikannya,  Sri Wahyuni sudah mendistribusikan puluhan ribu biodigester produksinya.

Dari kiprah sang "Ratu Biogas" ini, secara sederhana, memberi sebuah pemikiran bahwa energi baru terbarukan itu, sebenarnya sudah ada di sekitar kita.

Masyarakat yang memiliki lahan pertanian, hewan ternak (di desa) dan "community" (di kota) yang bisa imanfaatkan guna kebutuhan biogas (EBT) mandiri.  Tantangan bagi teknologi untuk mengembangkan biogas berdaya kapasitas "watt besar".

Bisa disimpulkan, upaya Sri Wahyuni dengan pengembangan biogas (biodigester) selama bertahun-tahun sedikit banyak "menyumbang" satu langkah positif dekarbonisasi.

Ia menjadi penggerak dan pendorong akselerasi transisi energi, melalui penggunaan biogas yang meluas di lapisan masyarakat.  

Menuju Net Zero Emissions (NZE) 2060 

Penerapan energi baru terbarukan, menandai langkah dekarbonisasi. Momentum pergeseran dari "energi kotor" ke "energi bersih". Dari degradasi lingkungan ke ramah lingkungan. Dari udara polutif ke udara berkualitas. Menuju kondisi nol emisi karbon net zero emissions (NZE).    

Senada dengan komitmen pemerintah RI untuk mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060.  

Komitmen yang berkelindan dengan Paris Climate Agreement tahun 2015. Sebuah program untuk menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Transisi Energi Adil Bagi Semua 

Transisi energi bukan hanya mempertimbangan soal beralihnya penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan, namun juga mempertimbangkan dampak negatif dari adanya transisi energi.

Pertimbangannya, transisi energi bukan hanya berdampak positif namun juga potensi berdampak negatif seperti pengangguran, ketidaksetaraan, dan degradasi lingkungan.

Dalam hal berkaitan dengan biogas. Peralihan ke penggunaan biogas jangan sampai ada kelompok masyarakat yang dirugikan, baik secara ekonomi, lingkungan, dan kesetaraan. Semua dipikirkan potensi terdampaknya.

Misalnya masyarakat umum dan kelompok rentan (bayi, ibu hamil, perempuan menyusui, lansia, diffabel) yang harus diprioitaskan. Seiring lemahnya, kelompok rentan ini meghadapi resiko yang ditimbulkan adanya transisi energi.

Oleh karenanya transisi energi harus berkeadilan. Konsepnya transisi energi adil.

Berkaca dari fenomena selama ini, meningkatnya polutan di sekitar kita. Masyarakat umum, kontribusi sebagai "tersangka" penyebab polusi, minimal. Tak sebanding dengan polusi yang ditimbulkan sektor industri. Sialnya, masyarakat kebanyakan, "kebagian" dampak polusi paling nyata (misalnya sisi kesehatan). Adilnya dimana?

Itu sebabnya pihak-pihak penanggungjawab proses transisi energi harus komitmen dalam kegiatannya untuk benar-benar dalam koridor berkeadilan.  

Pemerintah harus berkeadilan dalam setiap kebijakan dan program transisi energi yang diputuskannya. Demikian pula pihak swasta dalam proyek-proyek pembangunannya, kelompok masyarakat sipil dalam mengawasi pemerintah dan swasta. Serta pihak-pihak organisasi, komunitas dan lainnya. Termasuk Oxfam yang memiliki kepedulian terhadap kelompok rentan, perempuan dan anak-anak muda.  

Oxfam Indonesia adalah organisasi bagian dari gerakan global yang mendorong penghentikan penggunaan bahan bakar fosil melalui transisi energi yang adil.

Itu dasarnya, memfokuskan untuk mengatasi ketimpangan dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak muda. Dilakukan melalui program yang diciptakan untuk mengatasi 3 hal, yakni kemiskinan, kerentanan dan ketidaksetaraan yang ada di wilayah pedesaan dan perkotaan di Indonesia.

Terutama 3 kategori karakter wilayah.  Pertama, daerah yang rentan kemiskinan. Keua, tingkat ketidaksetaraan yang paling tinggi. Ketiga, area risiko tertinggi bencana terjadi. Namun juga mencakup masyarakat miskin di lingkungan perkotaan yang padat.

Oxfam di Indonesia, bertekad mewujudkan masyarakat Indonesia mendapatkan kehidupan setara, bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Bisa menikmati hak-haknya dan tangguh pada saat terjadi bencana.

Akhir kata, semoga saja transisi energi adil  bagi semua masyarakat, bisa terwujud di tengah-tengah mengejar target Net Zero Emissions tahun 2060.

Referensi 

https://indonesia.oxfam.org/ 

https://www.oxfamamerica.org/explore/stories/what-is-a-just-energy-transition/
https://www.perspektifbaru.com/radio-talk-show/biogas-untuk-rumah-tangga 

https://energi.sariagri.id/79599/sri-wahyuni-sang-ratu-biogas-sukses-kembangkan-biogas-sebagai-energi-terbarukan

https://ppsdmaparatur.esdm.go.id/seputar-ppsdma/berkenalan-dengan-net-zero-emission

@rachmatpy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun