Menariknya, limbah-limbah bekas olahan biogas, bisa difungsikan dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Pupuk pertanian, pupuk ternak ikan lele dan lain-lain.
Biogas bisa berperan sebagai sarana integrasi, antara kebutuhan energi dengan pupuk pertanian. Juga meningkatkan sektor pangan, melalui pengembangan peternakan hewan-hewan ternak. Mendukung pertanian berkelanjutan.
Biodigester yang dikembangkan Sri Wahyuni, sudah ada belasan lokasi di Bogor. Ada skala RT, skala 3, 10, 50 sampai 100 rumah. Bahkan hingga 1000 rumah untuk mengolah limbah organik menjadi biogas. . Â Â
Sudah dikembangkan pula uji coba kelompok lebih besar, seperti ke pesantren-pesantren (pesantren di Bogor) yang memiiki ribuan santri. "Memberdayakan" kotoran manusia untuk biogas.
Kini melalui perusahaan yang didirikannya, Â Sri Wahyuni sudah mendistribusikan puluhan ribu biodigester produksinya.
Dari kiprah sang "Ratu Biogas" ini, secara sederhana, memberi sebuah pemikiran bahwa energi baru terbarukan itu, sebenarnya sudah ada di sekitar kita.
Masyarakat yang memiliki lahan pertanian, hewan ternak (di desa) dan "community" (di kota) yang bisa imanfaatkan guna kebutuhan biogas (EBT) mandiri. Â Tantangan bagi teknologi untuk mengembangkan biogas berdaya kapasitas "watt besar".
Bisa disimpulkan, upaya Sri Wahyuni dengan pengembangan biogas (biodigester) selama bertahun-tahun sedikit banyak "menyumbang" satu langkah positif dekarbonisasi.
Ia menjadi penggerak dan pendorong akselerasi transisi energi, melalui penggunaan biogas yang meluas di lapisan masyarakat. Â
Menuju Net Zero Emissions (NZE) 2060Â
Penerapan energi baru terbarukan, menandai langkah dekarbonisasi. Momentum pergeseran dari "energi kotor" ke "energi bersih". Dari degradasi lingkungan ke ramah lingkungan. Dari udara polutif ke udara berkualitas. Menuju kondisi nol emisi karbon net zero emissions (NZE). Â Â