Sebagai orang asli dari suku Sunda dan kecintaan pada budaya Sunda membuat Abah Wahyu tergerak mempelajari tentang kujang. Apalagi dipicu oleh pengalamannya menemukan sebuah kujang di Muara Sukawayana, Cisolok, Sukabumi pada akhir tahun 1993.Â
Kujang  yang ditemukannya itu menurut gurunya, merupakan kujang yang pernah dipakai para bupati Pajajaran. Kujang itu masih disimpannya sampai saat ini.
2 tahun setelah penemuan kujang itu, tepatnya tahun 1995, Abah Wahyu mulai melirik pembuatan kujang, meski diawali dari hobi saja. Kujang bikinan Abah Wahyu, awalnya hanya dikasih ke teman-temannya yang pesan.Â
Saat itu Abah Wahyu masih mengajar di sebuah sekolah dan memanfaatkan fasilitas alat-alat di sekolah untuk menempa logam menjadi kujang.
Hingga 10 tahun membuat kujang, baru dikomersilkan pada tahun 2005. Seiring adanya teguran dari guru budayanya, Anis Jati Sunda, yang menganjurkan untuk meminta biaya sebagai pengganti bahan, listrik dan tenaga. Pengganti modal, begitu kira-kira.
Sejak saat itu, Abah Wahyu memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah dan menjadikan pembuatan kujang sebagai profesinya.
Terhitung sudah 29 tahun lamanya, Abah Wahyu menggeluti pembuatan kujang. Â Â
Kujang Bukan Senjata?
Awalnya aku menganggap kujang adalah senjata bagi budaya Sunda. Ternyata tidak tepat. Karena yang menjadi senjata berperang bagi orang Sunda adalah tombak, panah dan tulup atau sumpit.
Kujang memiliki fungsi berbeda. Meski bisa juga digunakan sebagai senjata bela diri saat terdesak. Menurut Abah Wahyu, zaman dulu kujang memiliki 4 fungsi.
Fungsi yang pertama, kujang sebagai pusaka/ ageman. Makanya kujang dIbuat sebagus mungkin. Mata kujang bahkan dibubuhi emas. Fungsi kedua, adalah sebagai alat beladiri kalau terdesak.Â