Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memetik Hikmah dari Jejak Kolonial, Melalui Peninggalan Bersejarah

2 Desember 2023   21:20 Diperbarui: 20 Juli 2024   03:34 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak kolonial di Museum Prasasti, Jakarta Pusat. Dokpri.

Belajar sejarah menyadarkan kita bahwa apa yang ditabur hari ini akan berdampak di masa depan.

Hampir di setiap kota di tanah air, memiliki tempat bersejarah seperti museum. Belakangan berwisata ke museum, dan tempat-tempat bersejarah semakin diminati banyak orang. 

Lalu apa daya tarik tempat-tempat itu? Dan buat apa dolan ke tempat bersejarah? Museum?

Bagiku, museum dan tempat-tempat bersejarah menawarkan daya tarik berbeda, kalau dibandingkan dengan destinasi wisata lainnya. Bukan tentang keindahan alam, bukan panorama pantai yang mempesona, bukan cerita legendaris kuliner tradisional atau pun hal menarik lainnya.

Ada keasyikan tersendiri yang aku rasakan, saat dolan ke museum. Seperti menonton "movie" dari kepingan peristiwa masa lalu. Movie yang tervisualisasi melalui benda-benda bersejarah. Dari zaman sejarah masa kerajaan, masa kolonial Belanda, hingga masa pergerakan kemerdekaan. Dan itu tersebar dalam "brankas" museum di tanah air.

Belajar dari Kisah Masa Lalu 

Ada sisi pembelajaran yang selalu bisa kita petik dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Seperti dari momen peristiwa masa pendudukan kolonial Belanda. 

Secara sejarah bangsa ini tak bisa terpisahkan dari zaman kekuasaan Belanda. Yang konon berkuasa 3 ,5 abad lebih. Meski hal ini tak sepenuhnya tepat, mengingat Aceh sebagai bagian nusantara yang baru ditaklukan pada awal tahun 1990 an. Aceh dijajah Belanda kurang dari 50 tahun.

Khusus jejak kolonial Belanda, salah duanya yang banyak terdapat di museum Jakarta. Di Bogor petilasannya juga banyak berserak. Jakarta yang dulu pada zaman Belanda bernama Batavia menjadi sentralnya. Ditopang oleh Buitenzorg (Bogor) sevagai kawasan pelesir yang disukai orang-orang Belanda.  

Benda-benda bersejarah seperti yang tersimpan di dalam museum, bisa membantu kita melihat berbagai macam dimensi tempat, dan dimensi waktu. Dari sini kita dimungkinkan memahami tentang sejarah peristiwa masa lalu.

Kita bisa mempelajarinya dari buku-buku sejarah, dan benda-benda bersejarah riil dalam museum bisa menegaskan semua "bayangan" kita tentang masa-masa peristiwa itu terjadi.

Untuk apa?

Media pembelajaran. Dengan belajar sejarah memberikan pendidikan untuk masa depan. Peristiwa yang terjadi masa itu, memberi bekal pengalaman berharga guna menata diri menghadapi masa mendatang. Bukankah pengalaman itu mahal harganya (nilai)?  

Pada sebuah gedung, di Jalan Kenari II No. 15, Jakarta Pusat kita bisa belajar sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Di rumah yang dihibahkan oleh Mohammad Hoesni Thamrin  itu kita belajar tentang nilai-nilai kejuangan Indonesia serta menginformasikan Jakarta sebagai kota Joang, melalui banyak koleksi benda-benda yang dipamerkan dan diorama yang menceritakan kehidupan dan peristiwa yang dialami oleh sosok yang ditakuti Belanda.

Kisah-kisah perjuangan yang tersimpan rapi dalam gedung yang ditetapkan sebagai museum pada tanggal 11 Januari 1986 silam itu.

Pada komplek "pesarean" atau pemakaman mewah  khas arsitektur Belanda, tertinggal jejak-jejak kolonial,dimana Batavia menjadi Kawasan pendudukan kolonial Belanda. Makam-makan bermonumen itu tersimpan "membisu" di Museum Prasasti Kawasan Tanah Abang Jakarta Pusat.

Terbengkalai Bersama Kisah Masa Lalu yang Berserak, Gimana? 

Sayangnya, beberapa lokasi bersejarah yang menyimpan jejak-jejak kolonial Belanda itu, tidak semua terkelola dengan baik. Cenderung mempriharinkan, meski sebagian sudah masuk kawasan cagar budaya. Padahal, peninggalan bersejarah itu, memuat kisah-kisah lokal setempat yang menjadi bukti sejarah. 

Sebut saja bangunan bersejarah di Depok, yang dikenal dengan sebutan  Rumah Tinggi. Lokasi di Kawasan pemukiman penduduk itu, tidak bernasib baik, terbengkalai meski masuk cagar budaya.

Jejak keluarga Belanda, van Motman yang tersimpan dalam bangunan mausoleum van Motman di Kampung Pilar, Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, bernasib serupa. Saking kurang terawatnya disebut-sebut menjadi kawasan "angker". Meski jejak keluarga ini  ada yang tersimpan rapi di Museum Prasasti Jakarta.

Mausoleum Van Motman di kawasan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor.  Foto umumsekali.com
Mausoleum Van Motman di kawasan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor.  Foto umumsekali.com

Nasib jejak-jejak peninggalan colonial di atas tidak semanis, Hotel Schomper peninggalan keluarga asal Belanda, Schomper di Menteng 31, Jakarta. Gedung yang terawat hingga kini dan terjaga kisah heroik perjuangan kemerdekaan di bangunan yang dialihfungsikan menjadi museum, Museum Joeang 45 itu.

Kadang merasa prihatin saja, manakala mengetahui bahwa kisah-kisah bersejarah "lokalis" itu akan redup lalu terlupakan. Seiring dengan peninggalan-peninggalan yang menyimpan jejak-jejak itu, rusak, lalu musnah.

Sekecil apapun, tempat bersejarah itu, "Selokal" apapun kisah yang terangkai di dalamnya, seyogyanya, peninggalan masa kolonial Belanda itu bisa dijaga dan dirawat eksistensinya. Demi apa?

Demi tidak menghilangkan jati diri yang dimiliki daerah tempat bersejarah itu berada. Karena sejarah itu penting. Sejarah adalah sebuah bekal pengalaman, dan pengalaman itu bisa menjadi media pembelajaran untuk generasi penerus. 

Bangunan bersejarah seperti museum  merupakan cermin hitam dan putih dari sejarah. Apapun warnanya, bisa menjadi tempat pembelajaran filosofi dan kebijakan hidup.

Melalui perlindungan cagar budaya seperti UU No 11 Tahun 2010, semestinya menjadi upaya untuk memastikan bahwa warisan-warisan "pengalaman" itu tetap ada, dan bisa menjadi bekal berharga generasi mendatang. Namun seyogyanya penetapan  cagar budaya bukan sebatas status saja.

Setuju?

@rachmatpy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun