Keduanya saling merenung. Bisa jadi masing-masing takut cerai. Lho koq bisa begitu, apa sih rahasianya?
Savitri mengaku kurang diperhatikan kebutuhan hidupnya. Suaminya gampang ngambek. Merasa terlalu banyak aturan yang mengekang yg bertentangan jauh dengan kebiasaanya sebelum menjadi istri. Banyak anggota keluarga dan sahabatnya mendukung agar tidak perlu menyesuaikan diri setelah menjadi istri. Runyam hatinya dikompensasi dengan mencari hiburan dengan siapa saja selain suami. Yang penting Rumah Tangga tetap ada. Apapun bentuknya. Demi anak.
Rojali mengaku sudah lelah menunggu sang istri untuk memperbaiki prilakunya . Â Yang menurutnya minus tatakrama, minus ibadah, minus komunikasi, dan cenderung mengangkangi hak suami sebagai kepala rumah tangga pencari nafkah. Terlanjur mendambakan rumah tangga ideal, Rojali berpantang keras dg gaya hidup sang istri yang bisa enjoy jika suami-istri jalan masing-masing, dalam pengertian seluas-luasnya. Berpantang keras main rahasia-rahasian antar suami-istri. Menolak rumah tangga sekedar cari status. Emoh bertahan hanya demi anak.
Keduanya saling menuntut agar penyesuaian diri adalah mengikuti prinsip dan jalan hidup salah satu pihak. Bagi Savitri tak ada masalah bentuk hubungan dan format rumah tangga sepanjang dia diberi kebebasan mengambil keputusan. Terutama bila keputusan itu menyangkut keuangan di mana dia punya uang sendiri sebelum menikah.
"Suami nggak perlu tahu, ini kan uang saya sendiri. Jumlahlahnya berapa, disimpan di mana, masuk dari mana, keluar kemana, urusan pribadi saya dong. Saya juga nggak pengin tahu uang suami," keluh Savitri suatu saat.
"Bagi saya istri juga kekasih, sahabat, sekaligus saudara. Tidak boleh ada dusta di antara suami-istri, tidak boleh maen rahasia-rahasian. Suami mengutamakan istri dalam segala hal, dan begitu juga sebaliknya," pembelaan Rojali kepada salah satu sahabat istrinya.
Di tengah kegalauan dan badai rumah tangga, mereka kadang terkenang masa-masa indah awal masa pernikahan.
Setiap pagi suami berangkat kerja selalu diantar oleh istri sampai pintu depan. Jam istirahat kantor biasanya saling tegur sapa dan canda ria lewat SMS. Atau curhat lewat telpon sekedar melepas rindu. Pulang kerja disambut senyum dan wajah sumringah istri tersayang. Selalu makan bareng semeja. Kadang saling suap-suapan. Peluk-cium jadi upacara wajib tapi asyik. Sekali-kali pergi nginep hanya berdua dengan gairah cinta yg selalu membara. Pendeknya dimana ada Rojali di situ ada Savitri. Banyak yang iri dengan kemesraan mereka berdua.
Semua kenangan indah berlalu sudah . Sebentar-sebentar cekcok, baikan lagi, cekcok lagi. Begitu terus, begitu terus. Upaya perbaikan berjalan alot, sealot daging koyor. Mungkin karena beda prinsip hidup begitu tajam.
Savitri tidak takut cerai tapi dia tidak yakin ada pria lebih baik untuk jadi suaminya yg mudah memaafkan. Dia tidak ingin jadi istri muda di usia lanjut hanya untuk jadi babby sitter bagi suami yg sudah uzur. Dia masih mencintai Rojali tapi tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannya. Dia juga waswas kalo cerai akan mendorong Rojali buka-buka rahasia. Juga malu kalo jadi janda.
Rojali juga tidak takut cerai. Tapi dia khawatir kalo Savitri kelamaan menjanda bisa terpuruk dg macam-macam masalah. Kasihan dg nasib dirinya dan anak-anak. Dia masih mencintai Savitri tapi tidak ngotot harus bertahan kalo tidak ada perubahan yg diidam-idamkan. Dan satu hal lagi, bara cintanya kepada Savitri tidak sehebat dulu lagi akibat suatu peristiwa. Peristiwa yang meninggalkan luka sangat dalam ketika dia merasa ditikam dari belakang oleh Savitri.