Mohon tunggu...
Rafly Fazriansyah
Rafly Fazriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Public Relations-Copywriting

Vivamus, moriendum est

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gen-Z Fomo Politik di Pemilu 2024: Pilih Leader atau Dancer? (B) awaslu Orde Baru

1 Februari 2024   14:06 Diperbarui: 3 Februari 2024   01:29 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hak cipta: Panggungharjo


Pemilu 2024 menjadi ajang politik yang sangat dinantikan oleh Generasi Z, kelompok yang dikenal sebagai kaum muda yang penuh semangat dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial, hal ini juga menjadi ajang pesta demokrasi dengan diadakannya pemilihan umum lima 5 tahun sekali untuk memilih pemimpin yang mewakili rakyat secara Lamgsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (LUBERJURDIL) serta demi kedaulatan bangsa Indonesi di masa depan. 

Kemudian dengan adanya kampanye pemilu 2024 pun sangat menarik perhatian publik, karena telah bertransformasi untuk lebih mencerdaskan, meningkatkan daya kritis dan kreatif masyarakat melalui diskusi dan kampanye digitalisasi di berbagai platform media sosial. 

Namun, dibalik antusiasme mereka, muncul fenomena FOMO politik yang dapat mempengaruhi keputusan dalam memilih pemimpin masa depan. Pertanyaan pun muncul, apakah Generasi Z akan memilih pemimpin yang berkualitas atau hanya sekadar penari politik?

FOMO, atau "Fear of Missing Out", tidak hanya berlaku untuk tren dan acara sosial, tetapi juga merampah ke dunia politik. Dalam konteks pemilihan umum,  FOMO politik mengacu pada kekhawatiran bahwa keputusan politik yang diambil akan membawa dampak besar pada hiduo kita dan ketakutan untuk ketinggalan informasi atau tidak ikut serta dalam proses demokratisasi. 

Pilihan antara "Leader" atau "Dancer" mencerminkan dilema yang dihadapi Generasi  Z. "Leader" mencakup calom pemimpin yang memiliki visi, komitmen terhadap nilai-nilai demokratis dan keberanian untuk membuat keputusan sulit demi kesejahteraan bangsa. Sementara itu, "Dancer" mewakili figur politik yang lebih mahir dalam tarian retorika, tampilan publik dan popularitas tanpa dukungan substansial.

Generasi Z, sebagai pemilih yang cerdas dan kritis, perlu mempertimbangkan lebih dari sekadar popularitas calon. Mereka harus melihat visi jangka panjang, rencana konkrit dan komitmen nyata terhadap isu-isu yang mereka pedulikan, seperti lingkungan, pendidikan dan kesetaraan.

Dalam menghadapi FOMO politik, penting bagi Generasi Z untuk tidak  hanya terpaku pada popularitas dan citra. Mereka perlu menggali lebih dalam untuk memahami latar belakang, pengalaman dan integritas calon pemimpin. Disisi lain, masyarakat tengah disuguhkan oleh berbagai janji politik, visi-misi kandidat dan tawaran perubahan yang menarik. Namun, di tengah gejolak ini, muncul pertanyaan apakah kita mungkin akan melangkah mundur ke masa lalu atau menuju era Orde Baru yang penuh dengan keterbatasan kebebasan dan demokrasi.

Beberapa ciri Orde Baru yang mungkin menjadi fokus perhatian dalam sejarah politik Indonesia yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998 meliputi:

1. Sentralisasi Kekuasaan;

Pemerintahan Orde Baru ditandai denga kuatnya sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto. Kekuatan eksekutif sangat dominan dan keputusan pemerintah bersifat otoriter.

2. Pembatasan Kebebasan Sipil dan Politik;

Adanya pembatasan terhadap kebebasan berbendapat, berkumpul dan berorganisasi. Media dikendalikan dengan ketat dan kritik terhadap pemerintah sering kali ditekan.

3. Operasi Militer dan Keamanan;

Penggunaan militer untuk menekan dan mengatasi pemberontakan atau gerakan yang dianggap mengancam kestabilan politik. Operasi militer seperti Operasi Trisula dan Operasi Serija menjadi kontroversial.

4. Pengendalian Terhadap Partai Politik;

Partai politik diarahkan untuk mendukung pemerintah dan memiliki ketergantungan pada kebijakan pemerintah.

5. Pengembangan Ekonomi;

Meskipun dikritik karena terjadi ketidaksetaraan ekonomi, Orde Baru berhasil menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan yang signifikan. Namun, keuntungan ekonomi tidak merata dan banyak dihentikan oleh kelompok elit.

6. Proyek Pembangunan Besar-Besaran;

Fokus pada proyek-proyek infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol, bendungan dan proyek megah lainnya sebagai bagian dari pembangunan nasional.

7. Ketidaksetaraan Sosial;

Munculnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelompok elit dan masyarakat umum, beberapa kelompok masyarakat merasa diabaikan dan tidak merasakan dampak positif dari pertumbuhan ekonomi.

8. Pengaruh Militer dalam Pemerintahan;

Posisi militer sangat kuat dalam pemerintahan, dengan banyak pejabat militer yang menempati posisi strategis di pemerintahan maupun di badan-badan usaha.

9. Sistem Kepemimpinan Otokratis;

Pemimpin Orde Baru, Soeharto, dikenal dengan kepemimpinan otokratisnya. Kepemimpinan yang kuat dan kebijakan yang otoriter seringkali diambiltanpa melibatkan partisipasi publik secara luas.

Penting bagi masyarakat untuk tetap waspada terhadap tanda-tanda potensial dari perubahan arah politik yang tidak diinginkan dan menjadi catatan bahwa Orde Baru juga meninggalkan berbagai dampak sosial dan politik yang kontroversial, termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan terhadap oposisi politik yang tidak boleh diabaikan.

Namun, optimisme tetap menjadi kunci. Masyarakat harus aktif mengawasi perkembangan politik dan memastikan bahwa pemilu 2024 tidak hanya menghasilkan pemenang secara teknis, tetapi juga memastikan bahwa demokrasi dan hak asasi manusia tetap menjadi pijakan etika utama.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilu 2024 mencapai 204.807.222 pemilih.  sebanyak 66.822.389 atau 33,60% persen pemilih dari generasi Milenial. Sedangkan pemilih dari Generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% persen. Kedua generasi ini mendominasi pemilihan Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% persen dari total keseluruhan pemilih. Angka tersebut menunjukan Gen Z dan Milenial memeiliki potensi dan kontribusi positif dalam pengambilan keputusan.

Tahun inilah peluang bagi Generasi Z untuk menunjukkan bahwa mereka mampu membuat keputusan politik yang cerdas dan berdampak positif untuk lima 5 tahun kedepan. Pilihannya bukan hanya tentang mengikuti tren atau melibatkan diri dalam FOMO politik, tetapi tentang memilih pemimpin yang akan membawa perubahan positif dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Hal tersebut penting bagi setiap individu untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan mendalam. Tidak hanya bergantung pada tren atau isu-isu yang sedang populer, tetapi juga menggali lebih dalam untuk memahami rencana dan pandangan calon pemimpin.

Oleh karena itu, Generasi z perlu memilih antara "Leader" yang memiliki visi dan integritas untuk membawa perubahan, atau "Dancer" yang mungkin hanya menari di atas panggung tanpa memberikan kontribusi pikiran substansial bagi kemajuan bangsa. Moment berharga inilah Generasi Z dapat menunjukkan kebijaksanaan mereka dalam memilih pemimpin yang mampu memimpin suatu bangsa.

Semoga Bermanfaat!

Komentar dibawah untuk berdiskusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun