Kartini tidak hanya diasuh oleh ibunya, Ngasirah, tetapi juga oleh Mbok Emban Lawiyah. Dalam urusan pergaulan, Kartini juga tidak pernah membeda-bedakan antara teman dan teman lainnya. Pada tahun 1881, ayah Kartini diangkat menjadi Bupati Jepara.
Perjuangan emansipasi Kartini sudah terlihat sejak usia enam setengah tahun. Kartini ingin bersekolah.
Pendidikan formal anak perempuan Jawa dianggap tabu. Namun Kartini kecil memberontak terhadap tradisi diskriminatif itu. Usaha Kartini kecil tidak sia sia. Akhirnya ia mendapat izin dari ayahnya untuk bersekolah. Di sekolah, ia berinteraksi dengan anak anak keturunan Indo-Belanda. Hampir tidak ada anak anak Jawa. Sebab hanya putra Bupati (bangsawan) saja yang diperbolehkan di sekolah Belanda.
Tahun ajaran terakhir, Kartini menyelesaikan dengan torehan terbaiknya. Betapapun majunya pemikiran Ario Sosroningrat, ia mempunyai keterbatasan sebagai Bupati dan pemimpin adat serta harus menghormati adat istiadat masyarakatnya.
Termasuk dalam menangani permasalahan anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kisah Kartini mulai terkuak selama masa pingitan. Dikutip dari Panggil Aku Kartini karya Pramoedya Ananta Toer, di "penjara" inilah Kartini merenung.Â
Di masa mudanya, ia dipaksa untuk memahamu hal-hal yang tidak pantas untuk diperhatikannya.
Tentang kehidupan, kebebasan mandiri sang anak menjadi hukuman dengan aturan yang mengekang dan memaksanya tumbuh sebelum waktunya.
Namun, Kartini tidak menyerah begitu saja, ia belajar sendirian, tanpa guru. Sejak Kartini menguasai bahasa Belanda, ia mulai belajar sendirian di rumah dan menulis suratkepada sahabat penanya dari Belanda.
Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku, surat kabar, dan majalah Eropa, Kartini mulai tertarik dengan kemajuan pemikiran permpuan Eropa, Kartini mulai tertarik dengan kemajuan pemikiran perempuan Eropa. Adanya keinginan untuk memajukan perempuan adat, karena menurutnya perempuan adat memiliki status sosial yang rendah.Â
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief uang dikelola oleh Pieter Brooshooft dan juga menerima leestrommel (paket surat kabar ). Diantaranya adalah majalah budaya dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.Â