Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kegagalan Itu Bernama Bung Sjahrir

8 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 8 Juni 2024   05:39 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sutan Sjahrir (Pinterest/Apriliani)

“Dalam arti yang sangat nyata saya sadar, bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...”. Kalimat yang diucapkan oleh Soedjatmoko beberapa jam setelah Sjahrir mengembuskan napas terakhirnya tersebut cukup untuk menggambarkan secara singkat mengenai perjalanan hidup sosok tersebut.

Sutan Sjahrir, tokoh yang lahir pada 05 Maret 1909 di Sumatera Barat tersebut merupakan salah satu tokoh revolusi bangsa Indonesia. Sosok yang biasa dijuluki “Bung Kecil” dikarenakan postur tubuhnya yang memang tidak tinggi dan tidak besar. Beliau juga merupakan satu dari tiga serangkai “Bung” yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia di samping Bung Karno dan Bung Hatta.

Sjahrir mengawali pendidikannya di tingkat dasar (ELS) dan tingkat menengah pertama (MULO) di Medan lalu dilanjutkan tingkat menengah atas (AMS) di Bandung pada tahun 1926. 

Setelah menyelesaikan pendidikannya di AMS, Sjahrir lalu menuju Belanda untuk menempuh pendidikan di universitas. Di negeri Belanda lah ia mendalami sosialisme dan humanisme, ideologi yang ia gunakan untuk membangun bangsanya sendiri, juga bertemu dengan Maria Dutchateau yang kelak menjadi tambatan hatinya.

Semasa saya sekolah hanya beberapa kali saya mendengar namanya disebut. Di antaranya adalah ketika ia mendengar kabar dari radio gelap pada masa itu bahwa Jepang telah mengalami kekalahan serta perannya saat menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Namun, tak pernah dijelaskan secara mendalam mengenai perannya dalam pembentukan negara Indonesia seperti kedua “Bung” lainnya.

Dalam tulisan ini, saya bermaksud untuk menceritakan potongan-potongan kisah Sjahrir sebagai seorang anak manusia yang gagal dan terlupakan, meskipun seluruh hidupnya dipersembahkan untuk negeri ini. Kendati namanya mulai hilang dan dilupakan dari sejarah bangsa Indonesia, tetapi buah pikirannya mengenai sosial, humanisme, dan negara masih dapat dinikmati sebagai mahakarya yang selalu relevan dengan kondisi negara hingga kini.

Humanisme Sjahrir

Sepulangnya ke Indonesia pada tahun 1931, di tengah kolonialisme Belanda, Sjahrir membawa narasi humanisme untuk rakyat Indonesia. Humanisme yang dibawanya bukan sekadar narasi anti kolonialisme, tetapi juga membawa nasionalisme. Nasionalisme yang dibawanya pun bukan nasionalisme buta yang berdasarkan gejolak amarah semacam “merdeka atau mati” dan “NKRI harga mati” dengan tujuan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Namun, nasionalisme yang berdasarkan kualitas orang bukan kuantitas massa.

Dalam pandangannya, nasionalisme buta tidak akan menjamin kehidupan bernegara yang baik karena rakyat bergerak hanya dengan amarah bukan dengan pikiran, karenanya Sjahrir menjunjung ideologi sosialisme kerakyatan yang menekankan persamaan derajat tiap manusia. Tujuannya, Sjahrir ingin bernegara dengan memanusiakan manusia.

“aku cinta pada negeri ini dan orang-orangnya. Kepada orang-orang Indonesia lebih-lebih lagi..., terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah” tulis Sjahrir dalam salah satu suratnya. Dari ungkapan tersebut dapat terlihat bahwa Sjahrir adalah seorang nasionalis yang damai dan tidak menggebu-gebu, juga ada kesan saling terikat antara Sjahrir dan rakyatnya sebagai pihak yang kalah.

Kebebasan Jiwa

Jika kita berkaca pada hari ini, penguasa senang memanjakan mata rakyat dengan pembangunan gedung mewah di Kalimantan, atau memanjakan kaki dengan jalan tol membentang dari ujung barat ke ujung timur pulau Jawa, atau memanjakan kuping rakyat dengan tipu daya perut kenyang secara cuma-cuma, tetapi lupa untuk apa sebenarnya semua itu dibuat, karena bukan hal-hal tersebutlah tujuan dari Indonesia merdeka.

Inti dari perjuangan kemerdekaan bukanlah proklamasi, sebab proklamasi hanyalah gerbang menuju kemerdekaan sesungguhnya, yaitu kebebasan jiwa tiap-tiap rakyat Indonesia. Dan untuk memperoleh itu, diperlukan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga semua rakyat dapat merasakan kebebasan berekspresi sebagai bentuk dari demokrasi yang nyata, bukan ilusi semata.

Dalam diri Sutan Sjahrir lah kita dapat menemukan kemanusiaan yang berbudaya, dengan menghargai manusia Indonesia sebagai pribadi, tetapi tidak lepas dari hakikat sosialnya. Sjahrir tidak ingin memangkas kebebasan manusia untuk memaksakan kehendak politiknya. Ia bukanlah seseorang yang individualis, dan Ia tidak ingin rakyat indonesia menjadi individualis.

Kemerdekaan yang dicita-citakan Sjahrir bukanlah proklamasi sebagai akhir tahap perjuangan. Proklamasi kemerdekaan itu adalah gerbang awal menuju kemerdekaan sesungguhnya, yaitu kemerdekaan di dalam jiwa tiap-tiap manusia. Sjahrir ingin setelah merdeka, negara dapat memenuhi hak-hak rakyatnya secara menyeluruh seperti kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan, dan berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Ia menuliskan hal-hal tersebut di dalam buku yang berjudul Perjuangan Kita. Hal-hal tersebutlah yang akan membawa kita ke dalam demokrasi yang sesungguhnya, bukan formalitas belaka. Namun, sepertinya hari ini sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga praktik politik murahan dapat merajalela di Indonesia.

Politik Pedagogis Sjahrir

Sebagai bagian dari langkahnya dalam mewujudkan cita-cita bagi bangsanya, Sjahrir mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia), sebuah partai kecil yang pada tahun 1955 hanya mengantongi 2% suara di parlemen. 

Partai ini memiliki prinsip mengedepankan proses pengaderan dibanding mengumpulkan massa sebagai “alat” politik untuk memperjuangkan cita-cita. Itu disebabkan karena Sjahrir ingin masyarakatnya dapat memperjuangkan bangsa melalui nalar dengan logis sebagai manusia, bukan memperjuangkan bangsa hanya dengan rasa nasionalisme buta. Hal itulah yang dinamakan politik pedagogis, yaitu mengajarkan rakyat berpikir merdeka supaya dapat menentukan pilihannya sendiri dengan bebas.

Cara cemerlang seperti itu sudah sangat jarang dapat ditemui dalam gelanggang politik sekarang. Kebanyakan partai politik bukannya melaksanakan politik pedagogis, justru sebaliknya, yaitu melakukan politik demagogis yang hanya mengandalkan popularitas, suku, serta agama seseorang untuk berlaga dengan dalih demokrasi tanpa tahu bagaimana kualitasnya dalam politik. 

Bahkan partai yang singkatannya sama dengan partai besutan Sjahrir (PSI) mengangkat seseorang yang baru 2 hari masuk ke dalam partai tersebut untuk menjadi ketua umum, lebih parahnya lagi, orang yang diangkat tersebut merupakan anak dari sang pemimpin negara.

Politik dalam benak Sjahrir adalah urusan publik yang harus dipertimbangkan dengan kematangan pikiran, bukan melalui doktrin-doktrin. Oleh sebab itu, sebagai tahap awal perjuangan politik, penanaman ideologi menjadi modal utama untuk mewujudkan tata cara bernegara yang berkualitas. Politik yang hanya bermodalkan suku, ras, agama, apalagi popularitas sangat jauh dari tujuan semacam ini. Namun lagi-lagi, banyak kejadian di negara kita hari ini yang justru mencerminkan sebaliknya, rakyat biasa dipolarisasi oleh kaum elit sehingga menimbulkan banyak konflik horizontal.

Meja Diplomasi

Delegasi Indonesia pada sidang DK-PBB (quora.com)
Delegasi Indonesia pada sidang DK-PBB (quora.com)

Politik pedagogi itu juga dapat dilihat dari caranya mempertahankan negara. Sebagai seorang politisi, Sjahrir lebih suka memperjuangkan cita-citanya di balik meja diplomasi, bukan mengerahkan massa di jalanan. Argumen-argumen Sjahrir dalam forum internasional merupakan hasil pemikiran yang matang dan tidak bersifat reaktif kendati sering dituduh hal yang tidak benar oleh lawan-lawannya.

Di sinilah kecerdasannya sangat menonjol, mislanya pada tahun 1946 Kabinet Sjahrir melakukan diplomasi beras terhadap India. Sjahrir yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri menawarkan 500.000 ton beras kepada India yang tengah dilanda kelaparan. Sebagai gantinya, Indonesia meminta bantuan tekstil dari India. Diplomasi itu sukses dilakukan dan mata dunia tertuju kepada keberadaan Indonesia sebagai negara baru yang membantu negara dengan krisis. India juga kemudian lantang mendukung Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya.

Sebagai seorang diplomat, diplomasi Sjahrir yang banyak sekali menimbulkan kontroversi adalah perundingan Linggarjati. Sjahrir dianggap mengalah pada Belanda dengan meminta kedaulatan di sebagian Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, dan Madura. Tan Malaka menjadi salah satu yang mengkritik secara keras hasil perundingan ini karena ingin pengakuan kedaulatan Indonesia adalah 100% dan Linggarjati dianggap terlalu menguntungkan Belanda, Tan memang orang yang tak percaya terhadap jalan-jalan diplomasi.

Salah satu isi perjanjian Linggarjati juga adalah gencatan senjata. Namun, setahun kemudian Belanda menyatakan tak lagi terikat perjanjian itu dan melakukan agresi militer. Dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), Sjahrir mulai mengutarakan pandangannya dengan tenang.

Kendati pihak belanda provokatif dan banyak menuduh tanpa dasar, Sjahrir tetap dokus pada argumennya mengenai Belanda telah meningkari perjanjian Linggarjati. Ia mengatakan “Saya yakin anggota dewan dapat menilai, apakah tuduhan Belanda tersebut benar atau salah. Namun ada satu fakta yang hendak saya tekankan, pihak Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap pada pernyataan terakhir saya,”. Pidato Sjahrir dalam sidang tersebut disebut sebagai salah satu pidato paling menggetrkan di PBB. Setelah itu, dukungan internasional mengalir pada Indonesia.

Namun, perjuangannya dalam diplomasi tak pernah menjadi sorotan dalam sejarah kemerdekaan. Yang sebagian besar kita tahu, kemerdekaan direbut hanya dengan mengacungkan bambu runcing, memberontak kepada penjajah, dan cara-cara semacamnya. Kita lupa bahwa di dalam sejarah kemerdekaan ada kecerdasan diplomasi di baliknya, juga ada kelihaian strategi di dalamnya, bukan hanya perjuangan bersenjata.

Sjahrir dan Banda Neira

Sjahrir bersama kawan-kawan dan anak-anak angkatnya di atas kole-kole (sulisrahmawati.medium.com)
Sjahrir bersama kawan-kawan dan anak-anak angkatnya di atas kole-kole (sulisrahmawati.medium.com)

Berbicara tentang Sjahrir tidak harus melulu berbicara mengenai ideologi dan perjuangan bangsa, tetapi ada sisi kehidupan pribadi yang tak lengkap jika tidak dibicarakan, terutama saat ia berada di Banda Neira. Tempat Ia diasingkan setelah sebelumnya dipenjara di Cipinang, Jakarta serta diasingkan di Boven Digul, Papua. Di tengah pengasingannya, justru Sjahrir menemukan sisi kerekatan yang baru dengan negerinya, tentu tak lepas dari misinya mencerdaskan masyarakat Indonesia dan memanusiakan manusia.

Di Banda, Ia membuka kelas bagi anak-anak yang merasa kurang paham dengan pelajaran di sekolahnya. Bersama Bung Hatta, ia memberikan sekolah sore untuk anak-anak Banda. Anak-anak pun antusias mendatangi rumah kedua tokoh tersebut untuk memperoleh ilmu yang baru tanpa peduli status tokoh tersebut sebagai buangan politik. Ia dan Hatta berbagi bagian untuk mengajari anak-anak Banda, Sjahrir mengajari anak-anak kecil sedangkan Hatta mengajari remaja yang lebih besar.

Dalam kegiatannya sehari-hari juga Sjahrir terlihat sangat mencintai orang-orang Banda, terutama kepada anak-anak. Ia dan Hatta menyukai berlayar di Banda, Hatta membeli orambai (perahu kecil) sedangkan Sjahrir membeli kole-kole (perahu dayung kecil yang terbuat dari sebatang kayu yang dicoak bagian tengahnya) yang biasa digunakan untuk bermain anak-anak dan mereka bermain bersamanya. Beberapa waktu kemudian, Sjahrir membeli kole-kole yang jauh lebih besar kemudian memodifikasinya menjadi perahu layar untuk menjelajahi kepulauan Banda.

Sjahrir sangat menikmati waktu-waktu pembuangan di Banda Neira ini, Ia terpesona dengan keindahan alam terutama lautnya serta penduduknya. Ia bahkan mengeluarkan sebuah ungkapan yang masih sering kita dengar sampai sekarang tanpa tahu siapa yang mengucapkannya, ungkapan itu berbunyi “jangan mati sebelum ke Banda Neira”.

Sjahrir dan Mieske

“Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu.” Tulis Sjahrir dalam sebuah surat untuk istrinya, Mieske (Maria Dutchateau). Dalam pengasingannya, Sjahrir mengirim banyak surat kepada Mieske sebagai bentuk komunikasi dan tempat mencurahkan isi pikiran dan hati. Kumpulan surat tersebut kemudian dibukukan yang berjudul Renungan Indonesia.

Sjahrir mengenal Mieske di Belanda saat sedang menempuh pendidikannya. Mieske adalah istri dari seorang kawan Sjahrir, Sal Tas. Sjahrir menumpang di tempat tinggal Sal di Belanda, hingga ketika hubungan Sal dengan Mieske mulai renggang, Sjahrir hadir di dalam diri Mieske. Mieske menyusul Sjahrir yang telah lebih dulu pulang ke Indonesia pada tahun 1932. Keduanya menikah di Medan pada 10 April 1932. Seiring berjalannya waktu, ternyata baru diketahui bahwa Mieske belum bercerai secara resmi dari Sal Tas. Karena hal itu, baru sebulan lebih mereka menikah, Mieske dipulangkan paksa ke Belanda. Setelah itu, keduanya hanya berkomunikasi lewat surat-surat sambil berharap dalam ketidakpastian bahwa suatu saat mereka bisa kembali bersama. Bahkan dalam kisah cintanya pun, Sjahrir masih menemui kegagalan.

15 tahun kemudian, Sjahrir dan Mieske kembali bertemu di India. Pertemuan setelah belasan tahun itu juga sekaligus perpisahan karena pada 1948 mereka memutuskan bercerai. Kemudian, Sjahrir menikah dengan sekretarisnya yaitu Siti Wahyunah Saleh yang dinikahinya pada tahun 1951. Pernikahan keduanya dikaruniai dua orang anak, mereka hidup bersama sampai akhir hayat Sjahrir.

Akhir Hayat

Sutan Sjahrir saat sedang sakit di Swiss (Tempo)
Sutan Sjahrir saat sedang sakit di Swiss (Tempo)

Sjahrir ditangkap dan dipenjara oleh kawan lamanya yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno pada tahun 1962. Ia dikenai tuduhan tanpa bukti bahwa Ia telah merencanakan pembunuhan Soekarno, suatu hal yang tak mungkin dilakukan oleh seorang intelektual yang memperjuangkan kemanusiaan sekelas Sjahrir.

Meskipun itu bukan kali pertamanya menghirup debu di balik jeruji besi, tetapi hal tersebut tetap membuat Sjahrir stres. Bahkan pada suatu ketika, ia pingsan, tetapi tak ada yang menolongnya karena petugas harus memerlukan izin dari jaksa agung untuk menolongnya. Barulah pada pagi harinya Ia diberi pertolongan, tetapi Ia tak lagi dapat berbicara.

Pada bulan Juli 1965, Sjahrir dibawa ke Swiss untuk diberikan pengobatan lebih lanjut. Soekarno yang pada awalnya menolak hal tersebut, akhirnya mengizinkan Sjahrir pergi dalam status tetap sebagai tahanan politik. Betapa kejamnya orang yang sudah tak dapat berbicara, tak dapat bergerak, masih dijadikan tahanan politik oleh kawan lamanya.

Sjahrir mengembuskan napas terakhirnya di samping istri dan kedua anaknya pada 9 April 1966 di Swiss. Beberapa jam setelah kepergiannya itu pula, ia diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno yang telah memenjarakannya. Sosok yang memiliki perjuangan besar untuk kemerdekaan bangsanya serta berkontribusi besar untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya, berakir meninggal dengan status tahanan politik yang diberikan pemimpin bangsanya tanpa pernah meraih cita-citanya.

Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 19 April 1966. Tumpah ruah rakyat Indonesia mengiringi pemakamannya, iring-iringan itu bahkan memenuhi jalan dari TMP Kalibata hingga Bundarah HI yang jaraknya sekitar 10 Km.

“Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu, Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia.” Ujar Bung Hatta dalam pidatonya di pemakaman Sjahrir.

Hilang dari Sejarah

Kegagalan demi kegagalan terus menghampiri Sjahrir semasa hidupnya, bahkan tak hanya di hidupnya, ketika namanya telah terukir di batu nisan TPU Kalibata pun kegagalan dan kekalahan masih menghampiri dirinya. Pergantian kekuasaan tidak membuat namanya menjadi lebih dikenal, justru sebaliknya Ia malah semakin dihapuskan dan berusaha dilupakan.

Hari ini, berapa banyak orang yang mendalami pikiran-pikiran Sjahrir? Atau berapa banyak anak sekolah dasar yang mengetahui tentang sosok tersebut?. Nampaknya, negara ini justru semakin berjalan berseberangan dengan pemikiran Sjahrir. Sjahrir menjadi semacam sejarah yang tak tercatat oleh bangsa Indonesia, kendati ia memberikan yang terbaik untuk bangsanya. Namun, seperti ungkapannya yang populer “hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan” dan Sjahrir telah mempertaruhkan segalanya.

Apa yang terjadi jika Sjahrir menjadi pemenangnya

Banyak pertanyaan tersisa dari pemikiran Sutan Sjahrir. Menurut saya, pertanyaan terbesar adalah bagaimana jika Sjahrir hidup di zaman sekarang? Atau bagaimana jika pikiran-pikirannya berhasil diterapkan pada seluruh lini bangsa?.

Jika sutan Sjahrir berhasil, maka akankah kita menemui selebritis yang tiba-tiba mencalonkan diri sebagai wakil rakyat? Akankah kita menemui anak penguasa yang tiba-tiba bebas melenggang menuju kontestasi politik tertinggi di negeri ini? Akankah pendidikan dikategorikan sebagai industri? Dan akankah kontribusi politik rakyat hanya dihargai dengan lelucon, joget, dan omong kosong soal makan siang gratis?.

Semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab apabila pikiran Sjahrir diasosiasikan dalam kondisi negeri hari ini. Oleh karena itu, meskipun namanya berulang kali berusaha dilenyapkan, tetapi pikirannya tidak boleh hilang sebagai salah satu pedoman bangsa Indonesia. Pikiran Sjahrir harus selalu menjadi catatan bagi rakyat maupun penguasa sebagai senyawa yang utuh.

Referensi:

Alwi, D. (2002). Bersama Hatta, Syahrir dr. Tjipto dan Iwa K. Soemantri di Banda Naira. Dian Rakyat.

Anwar, R. (2010). Mengenang Sjahrir: seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang tersisihkan dan terlupakan. Gramedia.

Indriyanto. (n.d.). Sutan Sjahrir. Diambil 5 Juni 2024, dari https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Sutan_Sjahrir

Santosa, & O, K. (2010). Mengenang sang legenda: Tan Malaka dan Sjahrir. Sega Arsy.

Sjahrir, S., & H, J. (2020). Sutan Syahrir: renungan dan perjuangan. Bakung Putih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun