Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kegagalan Itu Bernama Bung Sjahrir

8 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 8 Juni 2024   05:39 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sutan Sjahrir (Pinterest/Apriliani)

Sebagai seorang diplomat, diplomasi Sjahrir yang banyak sekali menimbulkan kontroversi adalah perundingan Linggarjati. Sjahrir dianggap mengalah pada Belanda dengan meminta kedaulatan di sebagian Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, dan Madura. Tan Malaka menjadi salah satu yang mengkritik secara keras hasil perundingan ini karena ingin pengakuan kedaulatan Indonesia adalah 100% dan Linggarjati dianggap terlalu menguntungkan Belanda, Tan memang orang yang tak percaya terhadap jalan-jalan diplomasi.

Salah satu isi perjanjian Linggarjati juga adalah gencatan senjata. Namun, setahun kemudian Belanda menyatakan tak lagi terikat perjanjian itu dan melakukan agresi militer. Dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), Sjahrir mulai mengutarakan pandangannya dengan tenang.

Kendati pihak belanda provokatif dan banyak menuduh tanpa dasar, Sjahrir tetap dokus pada argumennya mengenai Belanda telah meningkari perjanjian Linggarjati. Ia mengatakan “Saya yakin anggota dewan dapat menilai, apakah tuduhan Belanda tersebut benar atau salah. Namun ada satu fakta yang hendak saya tekankan, pihak Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap pada pernyataan terakhir saya,”. Pidato Sjahrir dalam sidang tersebut disebut sebagai salah satu pidato paling menggetrkan di PBB. Setelah itu, dukungan internasional mengalir pada Indonesia.

Namun, perjuangannya dalam diplomasi tak pernah menjadi sorotan dalam sejarah kemerdekaan. Yang sebagian besar kita tahu, kemerdekaan direbut hanya dengan mengacungkan bambu runcing, memberontak kepada penjajah, dan cara-cara semacamnya. Kita lupa bahwa di dalam sejarah kemerdekaan ada kecerdasan diplomasi di baliknya, juga ada kelihaian strategi di dalamnya, bukan hanya perjuangan bersenjata.

Sjahrir dan Banda Neira

Sjahrir bersama kawan-kawan dan anak-anak angkatnya di atas kole-kole (sulisrahmawati.medium.com)
Sjahrir bersama kawan-kawan dan anak-anak angkatnya di atas kole-kole (sulisrahmawati.medium.com)

Berbicara tentang Sjahrir tidak harus melulu berbicara mengenai ideologi dan perjuangan bangsa, tetapi ada sisi kehidupan pribadi yang tak lengkap jika tidak dibicarakan, terutama saat ia berada di Banda Neira. Tempat Ia diasingkan setelah sebelumnya dipenjara di Cipinang, Jakarta serta diasingkan di Boven Digul, Papua. Di tengah pengasingannya, justru Sjahrir menemukan sisi kerekatan yang baru dengan negerinya, tentu tak lepas dari misinya mencerdaskan masyarakat Indonesia dan memanusiakan manusia.

Di Banda, Ia membuka kelas bagi anak-anak yang merasa kurang paham dengan pelajaran di sekolahnya. Bersama Bung Hatta, ia memberikan sekolah sore untuk anak-anak Banda. Anak-anak pun antusias mendatangi rumah kedua tokoh tersebut untuk memperoleh ilmu yang baru tanpa peduli status tokoh tersebut sebagai buangan politik. Ia dan Hatta berbagi bagian untuk mengajari anak-anak Banda, Sjahrir mengajari anak-anak kecil sedangkan Hatta mengajari remaja yang lebih besar.

Dalam kegiatannya sehari-hari juga Sjahrir terlihat sangat mencintai orang-orang Banda, terutama kepada anak-anak. Ia dan Hatta menyukai berlayar di Banda, Hatta membeli orambai (perahu kecil) sedangkan Sjahrir membeli kole-kole (perahu dayung kecil yang terbuat dari sebatang kayu yang dicoak bagian tengahnya) yang biasa digunakan untuk bermain anak-anak dan mereka bermain bersamanya. Beberapa waktu kemudian, Sjahrir membeli kole-kole yang jauh lebih besar kemudian memodifikasinya menjadi perahu layar untuk menjelajahi kepulauan Banda.

Sjahrir sangat menikmati waktu-waktu pembuangan di Banda Neira ini, Ia terpesona dengan keindahan alam terutama lautnya serta penduduknya. Ia bahkan mengeluarkan sebuah ungkapan yang masih sering kita dengar sampai sekarang tanpa tahu siapa yang mengucapkannya, ungkapan itu berbunyi “jangan mati sebelum ke Banda Neira”.

Sjahrir dan Mieske

“Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu.” Tulis Sjahrir dalam sebuah surat untuk istrinya, Mieske (Maria Dutchateau). Dalam pengasingannya, Sjahrir mengirim banyak surat kepada Mieske sebagai bentuk komunikasi dan tempat mencurahkan isi pikiran dan hati. Kumpulan surat tersebut kemudian dibukukan yang berjudul Renungan Indonesia.

Sjahrir mengenal Mieske di Belanda saat sedang menempuh pendidikannya. Mieske adalah istri dari seorang kawan Sjahrir, Sal Tas. Sjahrir menumpang di tempat tinggal Sal di Belanda, hingga ketika hubungan Sal dengan Mieske mulai renggang, Sjahrir hadir di dalam diri Mieske. Mieske menyusul Sjahrir yang telah lebih dulu pulang ke Indonesia pada tahun 1932. Keduanya menikah di Medan pada 10 April 1932. Seiring berjalannya waktu, ternyata baru diketahui bahwa Mieske belum bercerai secara resmi dari Sal Tas. Karena hal itu, baru sebulan lebih mereka menikah, Mieske dipulangkan paksa ke Belanda. Setelah itu, keduanya hanya berkomunikasi lewat surat-surat sambil berharap dalam ketidakpastian bahwa suatu saat mereka bisa kembali bersama. Bahkan dalam kisah cintanya pun, Sjahrir masih menemui kegagalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun