Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koorsinator Maritim dan Invesasi, Luhut Binsar Pandjaitan baru saja mengeluarkan statement yang kontroversial terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beliau mengatakan "Kita nggak usah bicara tinggi-tinggilah. OTT-OTT ini kan nggak bagus sebenarnya. Buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life, siapa yang mau melawan kita". Ucapan tersebut mendapat berbagai respon dari masyarakat, mayoritas bersikap kontra terhadap ucapan tersebut. Menurut mereka, operasi tangkap tangan (OTT) adalah cara paling efektif untuk memberantas korupsi. Pasalnya, OTT dinilai bisa mnimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan ada juga yang menilai penolakan OTT hanyalah cara bagi para koruptor untuk melindungi diri supaya tidak ditangkap. Namun, apakah benar seperti itu? Mari kita ulas.
Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi akan terjadi apabila seseorang memiliki kekuasaan, tetapi lemah dalam hal pengawasannya sehingga memungkinkan terjadinya monopoli, lalu ditopang oleh kurangnya pertanggungjawaban kepada publik
Korupsi bukanlah suatu kejahatan baru. Praktik korupsi selalu terjadi di setiap masa kepemerintahan meskipun jenis korupsi yang berjalan di era pra-reformasi berbeda dengan praktik korupsi yang ada pada era reformasi. Pada zaman pra-reformasi, praktik yang terjadi adalah korupsi tersenteralisasi di mana praktik korupsi menumpuk pada Soeharto dan kroni-kroninya. Sedangkan pada zaman reformasi, korupsi mengakar hingga pejabat di tingkat desa sekalipun bisa melakukannya. .
Namun, sejatinya korupsi dapat terjadi karena beberapa hal utama, seperti kurangnya pembagian sistem kekuasaan yang demokratis, lemahnya check and balances, dan juga kurangnya transparansi dari institusi publik. Seharusnya, dalam negara demokrasi, tidak boleh ada hal yang ditutup-tutupi oleh pejabat suatu lembaga kepada publik.
Pada saat atmosfer peralihan sistem kekuasaan pada tahun 1998 masih menggebu-gebu, rakyat menginginkan adanya suatu lembaga yang dapat "menghabiskan" para koruptor. Seharusnya, peran tersebut dijalankan oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian, tetapi pada saat itu legitimasi terhadap kedua lembaga tersebut sangatlah rendah sehingga perlu adanya lembaga baru yang bisa memebersihkan korupsi dari Indonesia.
Oleh karena itu, lahirlah KPK sebagai solusi dan menjadi lembaga yang sangat-sangat kuat yang memiliki fungsi untuk supervisi, koordinasi, dan monitoring terhadap lembaga penegak hukum lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Selain itu juga KPK memiliki kewenangan untuk menyelidik, meyidik, dan juga menuntut. Jadi, KPK ditugaskan untuk merancang bagaimana cara pencegahan korupsi yang efektif, lalu menugaskan penegak hukum lain untuk menjalankannya sembari mengawasi pelaksanaannya. Dalam sejarah dunia, tidak ada suatu lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan yang sebesar itu. Itu cukup untuk menjelaskan betapa powerfull-nya lembaga ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, KPK malah melenceng dari peran awalnya. KPK yang ditugaskan untuk mencegah korupsi, hanya berperan menangkap orang-prang yang dicurigai terlibat korupsi. Kekuatan besar yang dimiliki KPK bukannya digunakan untuk membuat sistem pencegahan korupsi, tetapi malah digunakan untuk "menghabisi" lembaga-lembaga lain
Dengan dalih pemberantasan korupsi, KPK menangkap banyak orang dengan cara operasi tangkap tangan. Tentu, orang yang ditangkap berasal dari bermacam-macam lembaga bahkan hingga ke tingkat desa. Hal itu membuat rakyat berpikir bahwa lembaga-lembaga negara tersebut bobrok karena ada korupsi di dalamnya dan hanya KPK yang dapat dipercaya atas banyaknya orang-orang yang ditangkap karena dicurigai korupsi.
Rakyat senang dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani KPK. KPK pun menjadi lembaga yang paling disayangi oleh rakyat. Ia seolah-olah menjadi Tuhan dalam berjalannya Negara Indonesia. Semakin hari, KPK semakin jemawa karena pujian itu, hingga bersikap seolah-olah ada atau tidaknya negara tergantung ada atau tidaknya KPK. Padahal, jika kita renungi lebih jauh, seharusnya kita kembali berpikir "setelah 20 tahun KPK terbentuk, kenapa masih banyak saja orang yang ditangkap karena korupsi? Bukankah jika ada 'pemberantasan' seharusnya korupsi lenyap dari negeri ini?".
Selain itu, dengan maraknya OTT, maka artinya koruptor di Indonesia masih banyak. Bisa jadi para investor bukan menyimpulkan bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan baik, tetapi malah menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang "kotor", tidak stabil, dan tidak pandai mengelola uang sehingga mereka enggan untuk melakukan investasi di Indonesia. Hal inilah yang saya kira sebetulnya ingin disampaikan oleh Pak Luhut, bahwa OTT dapat memberi citra buruk terhadap Indonesia karena hal tersebut.
      Hal itulah yang menurut saya menjadi kekeliruan publik selama ini. Publik selalu senang dengan berita yang "heboh" hingga lupa untuk memikirkan gambaran besar dari suatu hal. Padahal, terlihat sibuk bukan berarti sukses. Publik teralu senang memberi penilaian seseorang atau lembaga terhadap akhlak seseorang atau akhlak orang-orang dalam suatu lembaga. Sebagai contoh, publik dengan mudah menilai bahwa KPK adalah lembaga yang sangat baik karena ada orang yang sampai dilukai saat menjalankan tugas, sebaliknya, DPR dianggap lembaga yang sangat buruk karena ada beberapa orang yang tidak becus dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah terdapat bias di masyarakat. Apakah tidak ada ada anggota KPK yang tidak becus dalam menjalankan tugas dan apakah tidak ada anggota DPR yang lantang membela masyarakat? Jawaban untuk keduanya sama, tentu saja ada.
Lantas, kenapa jarang atau bahkan hampir tidak ada pegawai KPK yang terjerat suatu kasus? Seperti yang telah saya jelaskan di atas, KPK menanamkan pikiran bahwa korupsi harus diberantas bagaimanapun caranya. Di sinilah KPK berdalih menjalankan tugasnya dengan asas kerahasiaan. Mereka menjalankan tugasnya secara senyap dan rahasia, lalu tiba-tiba muncullah tersangka. Padahal, dalam negara demokrasi tidak boleh ada lembaga yang tertutup dan diistimewakan. Seharusnya, semua lembaga sama, harus terbuka kepada publik agar bisa dikontrol. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkata, "power must not go unchecked" pada suatu kala. Dan memang begitulah segarusnya, setiap kekuatan harus dapat dikontrol dengan sama.
Selama ini, KPK dapat mengintip dan menyadap lembaga lain, tetapi lembaga lain tidak bisa mengintip KPK dengan dalih kerahasiaan tersebut. Jadi, KPK bukanlah lembaga bersih, namun KPK adalah lembaga yang tertutup sehingga tidak dapat diperiksa oleh publik. Apabila kita dapat melihat isi dari KPK, saya yakin terdapat banyak sekali pelanggaran yang terjadi di sana.
      Inilah yang perlu disadari oleh publik. Bahwa di dalam setiap lembaga pasti ada orang yang berhati baik seperti malaikat, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Juga ada orang yang berhati buruk seperti iblis, tetapi jumlahnya sedikit pula. Mayoritas adalah mereka yang memiliki sisi baik dan buruk atau dengan kata lain seimbang sehingga setiap lembaga sebetulnya sama dari segi "akhlak". Sehingga, tidak perlu menaruh cap baik atau buruk kepada suatu lembaga. Yang perlu kita lakukan adalah mencari tahu apa yang dapat diperbaiki dari lembaga tersebut.
Dari uraian di atas, kita bisa mendapatkan satu kata kunci yang menjadi akar masalah korupsi, yaitu sistem. Sistem yang tidak baik itulah yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia. Maka kita tak selayaknya bangga atas kinerja KPK yang berahsil meng-OTT orang, karena hal itu bukan merupakan tindak pencegahan korupsi dan malah memperburuk citra Indonesia di mata investor asing. Oleh karena itu, kita harus mendorong supaya KPK kembali ke fitrahnya.
Kita harus mendorong supaya KPK fokus membenahi sistem, bukan orang-perorang. KPK perlu merancang sistem baru untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di pemerintahan. Tentu saja, hal ini perlu dilakukan dengan koordinasi bersama Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
Dalam era digital seperti sekarang, segala hal dapat dilakukan melalui internet termasuk pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang dilakukan secara digital dapat menjadi solusi untuk pencegahan korupsi. Sebab, dengan adanya digitalisasi, maka segala transaksi dapat dengan mudah diawasi dan dengan cara ini maka potensi untuk melakukan manipulasi data semakin rendah, sehingga celah untuk melakukan korupsi semakin sempit pula. Inilah salah satu cara untuk melakukan pencegahan korupsi yang efektif, mengutamakan esensi bukan sensasi.
Penulis: Rafi Setyadi
Penyunting: Rafi Setyadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H