Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Operasi Tangkap Tangan dan Superiornya Komisi Pemberantasan Korupsi

28 Desember 2022   03:11 Diperbarui: 7 Juni 2024   22:07 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Hal itulah yang menurut saya menjadi kekeliruan publik selama ini. Publik selalu senang dengan berita yang "heboh" hingga lupa untuk memikirkan gambaran besar dari suatu hal. Padahal, terlihat sibuk bukan berarti sukses. Publik teralu senang memberi penilaian seseorang atau lembaga terhadap akhlak seseorang atau akhlak orang-orang dalam suatu lembaga. Sebagai contoh, publik dengan mudah menilai bahwa KPK adalah lembaga yang sangat baik karena ada orang yang sampai dilukai saat menjalankan tugas, sebaliknya, DPR dianggap lembaga yang sangat buruk karena ada beberapa orang yang tidak becus dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah terdapat bias di masyarakat. Apakah tidak ada ada anggota KPK yang tidak becus dalam menjalankan tugas dan apakah tidak ada anggota DPR yang lantang membela masyarakat? Jawaban untuk keduanya sama, tentu saja ada.

Lantas, kenapa jarang atau bahkan hampir tidak ada pegawai KPK yang terjerat suatu kasus? Seperti yang telah saya jelaskan di atas, KPK menanamkan pikiran bahwa korupsi harus diberantas bagaimanapun caranya. Di sinilah KPK berdalih menjalankan tugasnya dengan asas kerahasiaan. Mereka menjalankan tugasnya secara senyap dan rahasia, lalu tiba-tiba muncullah tersangka. Padahal, dalam negara demokrasi tidak boleh ada lembaga yang tertutup dan diistimewakan. Seharusnya, semua lembaga sama, harus terbuka kepada publik agar bisa dikontrol. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkata, "power must not go unchecked" pada suatu kala. Dan memang begitulah segarusnya, setiap kekuatan harus dapat dikontrol dengan sama.

Selama ini, KPK dapat mengintip dan menyadap lembaga lain, tetapi lembaga lain tidak bisa mengintip KPK dengan dalih kerahasiaan tersebut. Jadi, KPK bukanlah lembaga bersih, namun KPK adalah lembaga yang tertutup sehingga tidak dapat diperiksa oleh publik. Apabila kita dapat melihat isi dari KPK, saya yakin terdapat banyak sekali pelanggaran yang terjadi di sana.

            Inilah yang perlu disadari oleh publik. Bahwa di dalam setiap lembaga pasti ada orang yang berhati baik seperti malaikat, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Juga ada orang yang berhati buruk seperti iblis, tetapi jumlahnya sedikit pula. Mayoritas adalah mereka yang memiliki sisi baik dan buruk atau dengan kata lain seimbang sehingga setiap lembaga sebetulnya sama dari segi "akhlak". Sehingga, tidak perlu menaruh cap baik atau buruk kepada suatu lembaga. Yang perlu kita lakukan adalah mencari tahu apa yang dapat diperbaiki dari lembaga tersebut.

Dari uraian di atas, kita bisa mendapatkan satu kata kunci yang menjadi akar masalah korupsi, yaitu sistem. Sistem yang tidak baik itulah yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia. Maka kita tak selayaknya bangga atas kinerja KPK yang berahsil meng-OTT orang, karena hal itu bukan merupakan tindak pencegahan korupsi dan malah memperburuk citra Indonesia di mata investor asing. Oleh karena itu, kita harus mendorong supaya KPK kembali ke fitrahnya.

Kita harus mendorong supaya KPK fokus membenahi sistem, bukan orang-perorang. KPK perlu merancang sistem baru untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di pemerintahan. Tentu saja, hal ini perlu dilakukan dengan koordinasi bersama Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Dalam era digital seperti sekarang, segala hal dapat dilakukan melalui internet termasuk pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang dilakukan secara digital dapat menjadi solusi untuk pencegahan korupsi. Sebab, dengan adanya digitalisasi, maka segala transaksi dapat dengan mudah diawasi dan dengan cara ini maka potensi untuk melakukan manipulasi data semakin rendah, sehingga celah untuk melakukan korupsi semakin sempit pula. Inilah salah satu cara untuk melakukan pencegahan korupsi yang efektif, mengutamakan esensi bukan sensasi.

Penulis: Rafi Setyadi

Penyunting: Rafi Setyadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun