Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Operasi Tangkap Tangan dan Superiornya Komisi Pemberantasan Korupsi

28 Desember 2022   03:11 Diperbarui: 7 Juni 2024   22:07 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koorsinator Maritim dan Invesasi, Luhut Binsar Pandjaitan baru saja mengeluarkan statement yang kontroversial terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beliau mengatakan "Kita nggak usah bicara tinggi-tinggilah. OTT-OTT ini kan nggak bagus sebenarnya. Buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life, siapa yang mau melawan kita". Ucapan tersebut mendapat berbagai respon dari masyarakat, mayoritas bersikap kontra terhadap ucapan tersebut. Menurut mereka, operasi tangkap tangan (OTT) adalah cara paling efektif untuk memberantas korupsi. Pasalnya, OTT dinilai bisa mnimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan ada juga yang menilai penolakan OTT hanyalah cara bagi para koruptor untuk melindungi diri supaya tidak ditangkap. Namun, apakah benar seperti itu? Mari kita ulas.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi akan terjadi apabila seseorang memiliki kekuasaan, tetapi lemah dalam hal pengawasannya sehingga memungkinkan terjadinya monopoli, lalu ditopang oleh kurangnya pertanggungjawaban kepada publik

Korupsi bukanlah suatu kejahatan baru. Praktik korupsi selalu terjadi di setiap masa kepemerintahan meskipun jenis korupsi yang berjalan di era pra-reformasi berbeda dengan praktik korupsi yang ada pada era reformasi. Pada zaman pra-reformasi, praktik yang terjadi adalah korupsi tersenteralisasi di mana praktik korupsi menumpuk pada Soeharto dan kroni-kroninya. Sedangkan pada zaman reformasi, korupsi mengakar hingga pejabat di tingkat desa sekalipun bisa melakukannya. .

Namun, sejatinya korupsi dapat terjadi karena beberapa hal utama, seperti kurangnya pembagian sistem kekuasaan yang demokratis, lemahnya check and balances, dan juga kurangnya transparansi dari institusi publik. Seharusnya, dalam negara demokrasi, tidak boleh ada hal yang ditutup-tutupi oleh pejabat suatu lembaga kepada publik.

Pada saat atmosfer peralihan sistem kekuasaan pada tahun 1998 masih menggebu-gebu, rakyat menginginkan adanya suatu lembaga yang dapat "menghabiskan" para koruptor. Seharusnya, peran tersebut dijalankan oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian, tetapi pada saat itu legitimasi terhadap kedua lembaga tersebut sangatlah rendah sehingga perlu adanya lembaga baru yang bisa memebersihkan korupsi dari Indonesia.

Oleh karena itu, lahirlah KPK sebagai solusi dan menjadi lembaga yang sangat-sangat kuat yang memiliki fungsi untuk supervisi, koordinasi, dan monitoring terhadap lembaga penegak hukum lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Selain itu juga KPK memiliki kewenangan untuk menyelidik, meyidik, dan juga menuntut. Jadi, KPK ditugaskan untuk merancang bagaimana cara pencegahan korupsi yang efektif, lalu menugaskan penegak hukum lain untuk menjalankannya sembari mengawasi pelaksanaannya. Dalam sejarah dunia, tidak ada suatu lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan yang sebesar itu. Itu cukup untuk menjelaskan betapa powerfull-nya lembaga ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, KPK malah melenceng dari peran awalnya. KPK yang ditugaskan untuk mencegah korupsi, hanya berperan menangkap orang-prang yang dicurigai terlibat korupsi. Kekuatan besar yang dimiliki KPK bukannya digunakan untuk membuat sistem pencegahan korupsi, tetapi malah digunakan untuk "menghabisi" lembaga-lembaga lain

Dengan dalih pemberantasan korupsi, KPK menangkap banyak orang dengan cara operasi tangkap tangan. Tentu, orang yang ditangkap berasal dari bermacam-macam lembaga bahkan hingga ke tingkat desa. Hal itu membuat rakyat berpikir bahwa lembaga-lembaga negara tersebut bobrok karena ada korupsi di dalamnya dan hanya KPK yang dapat dipercaya atas banyaknya orang-orang yang ditangkap karena dicurigai korupsi.

Rakyat senang dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani KPK. KPK pun menjadi lembaga yang paling disayangi oleh rakyat. Ia seolah-olah menjadi Tuhan dalam berjalannya Negara Indonesia. Semakin hari, KPK semakin jemawa karena pujian itu, hingga bersikap seolah-olah ada atau tidaknya negara tergantung ada atau tidaknya KPK. Padahal, jika kita renungi lebih jauh, seharusnya kita kembali berpikir "setelah 20 tahun KPK terbentuk, kenapa masih banyak saja orang yang ditangkap karena korupsi? Bukankah jika ada 'pemberantasan' seharusnya korupsi lenyap dari negeri ini?".

Selain itu, dengan maraknya OTT, maka artinya koruptor di Indonesia masih banyak. Bisa jadi para investor bukan menyimpulkan bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan baik, tetapi malah menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang "kotor", tidak stabil, dan tidak pandai mengelola uang sehingga mereka enggan untuk melakukan investasi di Indonesia. Hal inilah yang saya kira sebetulnya ingin disampaikan oleh Pak Luhut, bahwa OTT dapat memberi citra buruk terhadap Indonesia karena hal tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun